Membongkar Jejaring Mafia Hukum

id Membongkar Jejaring Mafia Hukum

Musuh utama negara ini sejak reformasi adalah petualangan para mafia di berbagai birokrasi. Kekuatan para mafia saat ini telah sampai ke titik klimaks. Akibatnya, kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan semakin sirna, bahkan punah sama sekali. Tidak dapat disangkal lagi, tiga institusi ini menjadi makanan empuk jaringan mafia negeri ini. Mulai dari kasus suap, korupsi, hingga perbuatan melanggar hukum yang justru merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Tindakan terhadapnya harus luar biasa, dan tidak bisa lagi dengan pendekatan sederhana dan lunak. Kasus Gayus telah menampar wajah penegakan hukum republic ini, kepolisian dan kejaksaan, institusi penegak hukum yang paling diharapkan masyarakat untuk menyeret para pelaku ke penjara, ternyata belum mampu menegakkan hukum dalam kasus Gayus. Adanya dugaan institusi kepolisian dan kejaksaan ikut bermain dengan uang haram Gayus semakin sulit untuk ditepis. Gayus dengan mudahnya keluar dari rumah tahanan Mako Brimob di Kelapa Dua Depok- Jabar, menuju Bali, diduga kuat atas pemberian suap pada penjaga rutan, dan sembilan polisi lain yang telah dijadikan tersangka . Kejanggalan Berbagai kejanggalan ditemukan dalam penanganan perkara Gayus, berdasarkan pendapat Kordinator Bidang Hukum International Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Metro Hari Ini, Senin, (22/11), sedikitnya dua kasus besar belum ditangani oleh aparat kepolisian pada kasus Gayus, Pertama, aparat kepolisian belum menangani dana Gayus sebanyak Rp 28 miliar yang tersimpang di 24 rekening milik Gayus, Kedua, dana simpanan Gayus sebanyak 75 miliar di save deposit belum disentuh hingga saat ini. Dua kasus besar inilah sebetulnya yang musti dijadikan prioritas oleh penyidik kepolisian karena jumlah uangnya sangat besar. Jika ini dibuka, maka akan membuka kran untuk membongkar aliran-aliran dana dari sumber lain ke Gayus. Namun aparat kepolisian seolah-olah membongsai kasus ini dengan mengarahkan untuk focus pada satu perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan kasus Gayus, nilai kerugian negara tidak ada pada perusahaan tersebut, public ditarik ke wilayah yang bukan substansi dalam kasus Gayus, agar kehilangan focus, termasuk rekayasa dan permainan Gayus dengan penegak hukum di Rutan Mako Brimob untuk plesiran ke Bali. Dalam perjalanan Gayus ke Bali, pasti ada tujuan yang lebih besar dari pada menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010, dengan siapa dia bertemu, dan apa yang dibicarakan hingga kini belum berhasil diungkap oleh aparat kepolisian, sehingga sampai saat ini perdebatan masih berada di sekitar pesawat yang ditumpangi Gayus ke Bali, apakah carteran dan komersial. Seharusnya, hal itu tidak terlalu penting, dan bukan hal yang pokok. Namun yang paling signifikan adalah mengungkap tujuan Gayus ke Bali dan apa deal-deal politik yang mereka ciptakan dan sepakati di pantai Kuta tersebut. Jajaran kepolisian dan kejaksaan seolah-olah kehilangan nyali mengungkap jejaring mafia yang berada di belakang Gayus. Atasan-atasan Gayus baik di institusi pajak maupun di perusahaan perusahaan yang menyuap Gayus hingga saat ini belum tersentuh oleh proses hukum, hal ini membuktikan satu hal bahwa, dua lembaga tersebut dikeroyok oleh kepentingan politik para elit, sehingga lambannya penyelesaian kasus ini, membuat public menjadi ragu mengenai kemampuan kepolisian dan kejaksaan untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas, dan orang yang berada di belakang Gayus dapat segera ditangkap untuk dimintai tanggung jawab atas perbuatannya. Sapu yang kotor, tidak akan mampu membersihkan lantai yang kotor. Kendati pun dipaksakan juga maka akan menambah buram wajah penegakan hukum republic ini. Tanda-tanda ke arah itu, sudah mulai tercium, yakni dengan berubahnya status hukum jaksa Cyrus Sinaga yang diduga ikut menikmati aliran dana Gayus, pertama sekali aparat kepolisian menetapkan sebagai tersangka, tapi entah kenapa dirubah statusnya menjadi saksi. Fakta ini semakin menunjukkan adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus Gayus, dan semakin sulit dipatahkan ketika Gayus bernyanyi dalam kepergian ke Bali atas bantuan pihak penjaga rutan yang disuap untuk bisa keluar dari tahanan. Maka atas kondisi itu maka saat ini muncul desakan public agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengambil langsung kasus- kasus Gayus yang belum diproses oleh pihak kepolisian, terutama kasus dana 28 miliar yang masih tersimpan di 24 rekening milik Gayus, dan dana save deposit sebanyak 75 miliar. Sebagai coordinator pemberantasan korupsi, KPK tidak perlu koordinasi dengan kepolisian untuk mengambil langsung dua kasus ini karena memang belum ditangani oleh aparat kepolisian, (Moh. Mahfud MD, Metro Hari Ini, Senin, (22/11). Desakan public agar KPK mengambil langsung kasus ini, karena di dasarkan atas beberapa pertimbangan, Pertama, KPK tidak tersandera oleh kepentingan politik yang membelenggu mereka, sehingga diharapkan penyelesaian kasus ini dapat berlangsung dengan fair dan professional. Kedua, KPK telah berpengalaman dalam menangani kasus kelas kakap, yang paling fenomenal adalah KPK menetapkan 26 anggota DPR periode 2004-2009 sebagai tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Gultom, Ketiga, Presiden Susilo Bambang Yudyoyono selaku kepala negara dapat memerintahkan kejaksaan dan kepolisian untuk menyerahkan penyelesaian kasus ini pada KPK karena dua institusi penegak hukum berada langsung di bawah kewenangan Presiden. Dukungan KPK sebagai institusi yang paling diharapkan dalam mengambil langsung kasus ini masih kelihatan gamang dan sangat berhati-hati. Empat orang pimpinan KPK belum satu suara untuk menangani kasus ini, sehingga public harus menunggu keputusan satu orang pimpinannya, yakni Hayono yang belum menyatakan sikapnya untuk membongkar jejaring mafia pajak dan mafia hukum ini. Sebetulnya, KPK tidak terpengaruh dengan kekurangan satu orang pimpinan di tubuh KPK, meskipun kekurangan, KPK masih tetap bekerja dalam memberantas korupsi, walaupun sempat kosong sekitar satu bulan sejak dua pimpinannya Bibit- Chandra terjebak dalam kriminalisasi Cicak versus Buaya. Pimpinan di lembaga pemberantas korupsi ini bersifat kolektif-kolegial, kekosongan pimpinan tidak menyurutkan langkah mereka dalam memberantas korupsi. Namun, dalam mengambil langsung kasus Gayus, KPK butuh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tanpa itu tidak mungkin dilakukan oleh KPK. Walau pun amunisi, dan peluru ada jika tidak ada dukungan untuk memuntahkan peluru tersebut maka mustahil juga KPK bisa mengambil langsung kasus yang belum ditangani oleh aparat kepolisian. Sejauh ini, dukungan tersebut belum ada kelihatan, saat ini tinggal lagi keberanian KPK untuk membongkas lorong gelap dibalik kasus Gayus ini, sehingga KPK jangan patah arang, apalagi KPK yang menjadi tumpuan harapan public yang masih bisa diharapkan kredibilitasnya untuk memberantas korupsi. Satuan Tugas Anti Mafia Hukum yang memulai kasus ini semenjak membawa pulang Gayus dari Singapura ke Tanah Air, harus selalu berkoordinasi dan mendorong KPK, agar serius dan focus dalam menuntaskan kasus ini, tanpa ada komitmen kuat Satgas, maka mustahil KPK dapat membuat terang kasus mafia pajak dan mafia hukum ini serta memuaskan public. Setidaknya, titik kunci penyelesaian kasus mafia pajak dan mafia hukum yang bermain dengan Gayus, terletak pada keberanian KPK, dan dukungan Satgas Anti Mafia Hukum, tanpa itu mustahil jejaring mafia itu dapat dibongkar.

* Penulis adalah Wartawan Perum LKBN Sumbar Perwakilan Pasaman