MSF Kecam Aksi Kekerasan di Afrika Tengah

id MSF Kecam Aksi Kekerasan di Afrika Tengah

Paris, (Antara/AFP) - Doctors Without Borders ( MSF ), Rabu mencela aksi kekerasan di Republik Afrika Tengah seraya mendesak semua pihak untuk menghormati keselamatan warga sipil dan menyerukan bantuan internasional segera. "Puluhan ribu warga desa telah melarikan diri dari gelombang baru serangan, yang dilakukan baik oleh kelompok bersenjata ataupun pasukan pemerintah di barat laut negara itu," kata para penggiat itu. Orang-orang mengungsi di semak-semak, tanpa perlindungan dan terutama rentan terhadap bahaya malaria, penyebab kematian terbesar di negara itu, kata MSF dalam laporannya . Masalah kebersihan menjadi bencana dengan begitu banyak keluarga yang tinggal bersama-sama, kata Ellen Van der Velden, kepala misi MSF di Republik Afrika Tengah itu dalam suatu pernyataan. "MSF saat ini adalah satu-satunya LSM yang bekerja di daerah konflik. MSF memberikan bantuan kesehatan dan bedah, akses terhadap air minum dan kebersihan serta bantuan gizi. Tapi bantuan yang lebih besar masih dibutuhkan," kata kelompok yang berbasis di Jenewa itu. Kelompok-kelompok kemanusiaan lainnya telah meninggalkan negara itu atau dirampok sehingga sekarang perlu untuk "kembali melengkapi peralatan mereka dan mencari dana yang cukup," kata pejabat MSF Andre Munger. Bulan lalu Badan PBB untuk Anak-Anak mengecam kondisi tanpa hukum di negara itu, yang telah "menyebabkan bencana bagi anak-anak". CAR masuk ke dalam kekacauan pada Maret ketika Presiden Francois Bozize digulingkan oleh pemberontak . Sejak saat itu sejumlah luas daerah di negara itu telah jatuh ke tangan kelompok-kelompok bersenjata dan tentara bayaran asing, dengan ancaman kerusuhan meledak menjadi konflik antara warga mayoritas Kristen dan Muslim. Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius pada Minggu berjanji untuk mengirim lebih banyak prajurit ke negara itu tetapi juga memperingatkan pemimpin kudeta di sana untuk tetap memegang janjinya guna menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas pada awal 2015. Negara-negara Barat telah enggan mengakui Presiden Michel Djotodia, yang memimpin kelompok pemberontak yang sekarang telah dibubarkan, Seleka, yang menggulingkan Bozize sebagai Presiden Muslim pertama negara itu . Sebagai gantinya, Djotodia telah membentuk pemerintahan inklusif dan berjanji untuk tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan umum guna menandai akhir dari periode kepemimpinan sementaranya yang telah berlangsung 18 bulan pada awal 2015. Negara daratan miskin tanpa laut itu memiliki ukuran sedikit lebih luas dari Perancis tetapi sangat jarang penduduknya dan Djotodia menghadapi kesulitan yang sama sebagaimana pendahulunya dalam memperluas kekuasaannya di luar ibukota . Kekacauan terjadi pasca penggulingan Bozize dan meluasnya eksekusi, penjarahan dan pelanggaran terhadap warga sipil yang memicu aksi masyarakat internasional. Para mantan komandan Seleka kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil di seluruh penjuru negara dan menyebarkan teror. Di beberapa daerah , warga desa telah merespon aksi teror itu dengan membentuk kelompok perlawanan warga, beberapa diantaranya secara khusus menyasar Muslim. (*/jno)