Ancaman stunting dibalik manisnya gambir Langgai
Padang (ANTARA) - Awan gelap mulai menyelimuti sebagian langit sore saat rombongan motor trail melewati jembatan di perbatasan Nagari Ampalu dengan Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Kabupen Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Pada beberapa titik, cahaya matahari tidak bisa menembus pekatnya awan, sehingga membentuk gradasi gelap-terang di punggung perbukitan yang mengelilingi daerah itu.
Agak jauh di belakang motor-motor itu, iringan mobil plat merah yang dikawal Voorijder itu meliuk-liuk lambat menyusuri jalan batu koral yang semakin lama kondisinya makin buruk. Bergelombang. Berlubang-lubang.
Di Kampung Batu Bala, kampung pertama di Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, jalanan buruk bukan menjadi satu-satunya kendala. Sapi menjadi kendala lain yang membuat rombongan itu berkali-kali harus berhenti.
Puluhan ekor sapi pesisir, jenis sapi plasma nutfah Sumatera Barat, berkumpul berombongan di tengah jalan. Sapi-sapi itu tidak takut pada kendaraan yang melintas.
Bahkan lengking suara klakson mobil tidak sanggup memaksa sapi-sapi itu untuk minggir dari tengah jalan. Masyarakat setempat terpaksa harus turun tangan menghalaunya ke tepi. Kejadian itu tidak hanya sekali atau dua kali. Sepertinya sapi yang memenuhi jalan sudah menjadi keseharian masyarakat di Kampung Batu Bala.
Perekonomian Kampung Batu Bala sudah agak maju. Di samping rumah semi permanen dan rumah kayu, banyak juga rumah permanen yang telah disolek megah. Toko-toko juga banyak di pinggiran jalan. Pada beberapa rumah terlihat kendaraan roda empat terparkir.
Kondisi itu agak berbeda ketika memasuki sepuluh kilometer menjelang Kampung Langgai. Tidak ada lagi rumah di pinggir jalan. Hanya ada pepohonan dan semak belukar.
Jalan mulai memasuki jalur perbukitan yang ekstrem. Ada beberapa tanjakan dan turunan yang lumayan tajam. Sisi kiri-kanannya diapit tebing dan jurang sedalam puluhan meter.
Mobil-mobil yang sebagian besar adalah jenis double gardan itu terpaksa harus bersabar, melaju lambat satu persatu. Pengendara harus ekstra hati-hati karena kalau salah mengambil jalur, kendaraan bisa terguling ke dalam jurang. Nyawa taruhannya.
Namun jalan ekstrem itu sepadan dengan pemandangannya yang luar biasa. Perbukitan hijau yang sebagian ditumbuhi tanaman gambir terlihat samar berlapis-lapis, tersuruk di balik selimut kabut. Di bagian bawah, hulu Sungai Batang Surantiah terlihat meliuk dengan gemericik air yang mengalun lembut. Aroma tanah yang basah mengambang bersama semilir angin yang mulai membawa gerimis.
Hamparan alam Langgai seperti puisi rindu yang mengetuk-ngetuk dinding kalbu.
Hujan lebat turun saat rombongan itu sampai di Kampung Langgai. Kampung paling ujung dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesisir Selatan. Kampung itu berbatasan degan hutan yang masih asri. Konon ada jalan setapak membelah hutan itu yang bisa menghubungkannya dengan daerah Surian, Kabupaten Solok.
Seratusan orang warga Kampung Langgai sudah menunggu di pelataran ruang serba guna Masjid Darul Ihsan, tempat yang disiapkan untuk menyambut tamu istimewa, Gubernur Sumbar dan rombongan.
Hujan tidak menyurutkan semangat warga Langgai menyambut tamu istimewa itu. Bahkan, kata Wali Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Zulhadi, masyarakat sudah terbiasa dengan hujan saat ada tamu dari luar datang.
Konon, menurut mitos yang masih hidup di tengah masyarakat Langgai, saat ada tamu dari luar (orang asing) yang masuk ke kampung itu, akan selalu diiringi oleh hujan.
Kedatangan Gubernur Sumbar, Mahyeldi dan rombongan ke Langgai adalah untuk menyebar hewan kurban. Ada 64 ekor sapi dan tiga kambing yang terkumpul dari ASN Pemprov Sumbar. Sapi dan kambing itu didistribusikan ke daerah 3 T.
Tahun ini, Pemprov Sumbar mengirimkan dua ekor sapi dan tiga ekor kambing untuk masyarakat Langgai.
Namun bagi masyarakat Langgai, arti kedatangan orang nomor satu di Sumbar itu bukan sebatas mengantarkan hewan kurban. Bagi mereka kedatangan gubernur adalah kesempatan untuk mencurahkan harapan.
Kampung itu meskipun masuk wilayah administrasi Kabupaten Pesisir Selatan, tetapi akses jalannya hingga ke nagari tetangga sepanjang 12 kilometer adalah kewenangan provinsi.
Akses jalan adalah satu persoalan utama di Langgai. Kondisi jalan yang masih sangat buruk berupa jalan tanah dan batu koral membuat perekonomian daerah itu sulit untuk benar-benar berkembang. Hasil ladang seperti gambir, nilam, durian dan hasil pertanian seperti padi sulit diangkut keluar.
Kalaupun ada kendaraan yang bersedia menjemput hasil pertanian itu, biaya angkutnya relatif mahal.
Maka kedatangan gubernur ke kampung itu menjadi secercah harapan bagi masyarakat Langgai yang tidak pernah bisa merasakan mulusnya jalan aspal sejak Indonesia merdeka.
Wali Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Zulhadi menyebut jalan di kampung mereka yang berupa jalan tanah dan batu koral, masih sama sejak dibuka pertama kali sekitar 20 tahun lalu.
Padahal Sebagai daerah sentra gambir di Pesisir Selatan, akses jalan menjadi kebutuhan utama warga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
Langgai merupakan satu dari dua kampung dalam Kenagarian Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. Jaraknya sekitar 145 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Kota Padang dan 68 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten, Painan.
Terdapat 466 Kepala Keluarga (KK) di kampung itu dengan jumlah penduduk sekitar 1.878 jiwa. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dengan gambir sebagai komoditas unggulan.
Gambir dari Langgai itu menyumbang angka produksi gambir dari Kabupaten Pesisir Selatan yang mencapai 451 ton per tahun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ladang gambir milik masyarakat, rata-rata terletak di perbukitan yang mengelilingi kampung itu. Berjarak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Hal itu menyebabkan masyarakat Langgai tidak bisa bolak-balik dari rumah ke ladang setiap hari.
Mereka harus mendirikan pondok darurat di ladang dan tinggal empat hingga lima hari dalam seminggu di lokasi itu untuk memetik dan mangampo (memeras) gambir. Rata-rata masyarakat berangkat ke ladang pada hari Senin dan baru pulang pada hari Jumat.
Sesampai di rumah, saripati gambir dijemur lalu dijual ke pasar pada hari Minggu.
Salah seorang tokoh masyarakat, Darusman menyebut kadar air gambir yang dijemur selama dua hari dalam cuaca panas bisa berkurang hingga tinggal 16 persen. Gambir dengan kualitas itu, saat ini laku dijual dengan harga Rp45 ribu per kilogram.
Harga itu termasuk bagus. Namun bila ingin harga lebih bagus, petani harus lebih sabar menjemur gambir hingga kadar airnya menyusut lebih banyak. Makin kering gambir, makin mahal harganya. Gambir kering bahkan bisa dijual dengan harga Rp90 ribu per kilogram.
Harga gambir yang bagus sejak enam bulan terakhir membuat perekonomian masyarakat Langgai terdongkrak. Tidak jarang ditemukan motor-motor baru di rumah masyarakat Langgai. Bahkan ada yang membeli mobil meski kondisi jalan masih jelek.
Namun perekonomian masyarakat yang mulai membaik itu menyimpan ancaman yang serius terutama bagi tumbuh kembang anak di Langgai.
Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebut masyarakat Langgai ikut membawa anak balitanya saat tinggal hingga lima hari di pondok-pondok di perbukitan untuk memanen gambir. Hal itu disebabkan tidak ada orang yang bisa menjaga anak mereka saat bekerja di ladang.
Asupan gizi anak-anak selama tiggal di pondok-pondok itu bisa menjadi persoalan serius. Anak dengan gizi buruk memiliki risiko lebih besar terkena stunting.
Stunting menjadi ancaman besar bagi generasi penerus di Langgai. Jika masyarakat tidak dibekali dengan pemahaman tentang stunting maka makin lama kualitas SDM masyarakat kampung itu akan semakin menurun.
Melihat Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka prevalensi kasus stunting di Kabupaten Pesisir Selatan masih cukup tinggi, bahkan meningkat dari tahun sebelumnya.
Angka prevalensi stunting Kabupaten Pesisir Selatan pada 2022 meningkat dari 25,2 persen menjadi 29,8 persen atau naik sebesar 4,7 persen dari tahun 2021.
Apalagi saat ini petugas kesehatan di kampung Langgai masih terbatas. Berdasarkan hasil kunjungan gubernur ke Puskesri (Puskesmas Nagari) Langgai hanya ada satu tenaga bidan desa yang saat ini juga masih honor.
Persoalan serius itu harus disikapi secara bersama-sama sejak dini. Ada beberapa instrumen yang bisa dimaksimalkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya asupan gizi bagi balita saat berada di pondok perbukitan seperti PKK dan kader Posyandu.
Memperkuat peran PKK, kader Posyandu dan tenaga kesehatan di Langgai bisa menjadi salah satu solusi. Setidaknya untuk mendorong agar masyarakat saat pergi ke ladang tetap membawa bekal makanan bergizi untuk anak-anak mereka.
Memperbaiki Infrastruktur
Harapan masyarakat Langgai untuk memiliki akses jalan yang mulus mendapat tanggapan positif dari Gubernur Sumbar, Mahyeldi. Meskipun tidak bisa diselesaikan secara sekaligus karena keterbatasan anggaran, infrastruktur jalan mulai diperbaiki.
Pada 2023, Pemprov Sumbar mengalokasikan Rp1 miliar untuk perbaikan jalan berupa rabat beton. Pembangunannya difokuskan pada titik-titik yang dinilai rawan atau telah mengalami kerusakan parah.
Anggaran perbaikan infrastruktur itu akan dialokasikan kembali pada 2024 sekaligus untuk membuat Rancang Bangun Rinci (Detail Engineering Design) jembatan yang menghubungkan Langgai dengan daerah luar. Saat ini jembatan itu masih berupa jembatan gantung.
Dengan infrastruktur yang memadai diharapkan pembangunan dan perkonomian di Langgai bisa terus ditingkatkan.
Selain itu, Pemprov Sumbar juga tengah mengupayakan lembaga berbadan hukum untuk menampung hasil panen gambir petani guna menjaga kestabilan harga. Lembaga itu kemungkinan berbentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Secara berlahan-lahan juga akan dikembangkan hilirasasi dari produk gambir di Sumbar agar harga gambir petani bisa terus menguntungkan.*
Pada beberapa titik, cahaya matahari tidak bisa menembus pekatnya awan, sehingga membentuk gradasi gelap-terang di punggung perbukitan yang mengelilingi daerah itu.
Agak jauh di belakang motor-motor itu, iringan mobil plat merah yang dikawal Voorijder itu meliuk-liuk lambat menyusuri jalan batu koral yang semakin lama kondisinya makin buruk. Bergelombang. Berlubang-lubang.
Di Kampung Batu Bala, kampung pertama di Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, jalanan buruk bukan menjadi satu-satunya kendala. Sapi menjadi kendala lain yang membuat rombongan itu berkali-kali harus berhenti.
Puluhan ekor sapi pesisir, jenis sapi plasma nutfah Sumatera Barat, berkumpul berombongan di tengah jalan. Sapi-sapi itu tidak takut pada kendaraan yang melintas.
Bahkan lengking suara klakson mobil tidak sanggup memaksa sapi-sapi itu untuk minggir dari tengah jalan. Masyarakat setempat terpaksa harus turun tangan menghalaunya ke tepi. Kejadian itu tidak hanya sekali atau dua kali. Sepertinya sapi yang memenuhi jalan sudah menjadi keseharian masyarakat di Kampung Batu Bala.
Perekonomian Kampung Batu Bala sudah agak maju. Di samping rumah semi permanen dan rumah kayu, banyak juga rumah permanen yang telah disolek megah. Toko-toko juga banyak di pinggiran jalan. Pada beberapa rumah terlihat kendaraan roda empat terparkir.
Kondisi itu agak berbeda ketika memasuki sepuluh kilometer menjelang Kampung Langgai. Tidak ada lagi rumah di pinggir jalan. Hanya ada pepohonan dan semak belukar.
Jalan mulai memasuki jalur perbukitan yang ekstrem. Ada beberapa tanjakan dan turunan yang lumayan tajam. Sisi kiri-kanannya diapit tebing dan jurang sedalam puluhan meter.
Mobil-mobil yang sebagian besar adalah jenis double gardan itu terpaksa harus bersabar, melaju lambat satu persatu. Pengendara harus ekstra hati-hati karena kalau salah mengambil jalur, kendaraan bisa terguling ke dalam jurang. Nyawa taruhannya.
Namun jalan ekstrem itu sepadan dengan pemandangannya yang luar biasa. Perbukitan hijau yang sebagian ditumbuhi tanaman gambir terlihat samar berlapis-lapis, tersuruk di balik selimut kabut. Di bagian bawah, hulu Sungai Batang Surantiah terlihat meliuk dengan gemericik air yang mengalun lembut. Aroma tanah yang basah mengambang bersama semilir angin yang mulai membawa gerimis.
Hamparan alam Langgai seperti puisi rindu yang mengetuk-ngetuk dinding kalbu.
Hujan lebat turun saat rombongan itu sampai di Kampung Langgai. Kampung paling ujung dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesisir Selatan. Kampung itu berbatasan degan hutan yang masih asri. Konon ada jalan setapak membelah hutan itu yang bisa menghubungkannya dengan daerah Surian, Kabupaten Solok.
Seratusan orang warga Kampung Langgai sudah menunggu di pelataran ruang serba guna Masjid Darul Ihsan, tempat yang disiapkan untuk menyambut tamu istimewa, Gubernur Sumbar dan rombongan.
Hujan tidak menyurutkan semangat warga Langgai menyambut tamu istimewa itu. Bahkan, kata Wali Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Zulhadi, masyarakat sudah terbiasa dengan hujan saat ada tamu dari luar datang.
Konon, menurut mitos yang masih hidup di tengah masyarakat Langgai, saat ada tamu dari luar (orang asing) yang masuk ke kampung itu, akan selalu diiringi oleh hujan.
Kedatangan Gubernur Sumbar, Mahyeldi dan rombongan ke Langgai adalah untuk menyebar hewan kurban. Ada 64 ekor sapi dan tiga kambing yang terkumpul dari ASN Pemprov Sumbar. Sapi dan kambing itu didistribusikan ke daerah 3 T.
Tahun ini, Pemprov Sumbar mengirimkan dua ekor sapi dan tiga ekor kambing untuk masyarakat Langgai.
Namun bagi masyarakat Langgai, arti kedatangan orang nomor satu di Sumbar itu bukan sebatas mengantarkan hewan kurban. Bagi mereka kedatangan gubernur adalah kesempatan untuk mencurahkan harapan.
Kampung itu meskipun masuk wilayah administrasi Kabupaten Pesisir Selatan, tetapi akses jalannya hingga ke nagari tetangga sepanjang 12 kilometer adalah kewenangan provinsi.
Akses jalan adalah satu persoalan utama di Langgai. Kondisi jalan yang masih sangat buruk berupa jalan tanah dan batu koral membuat perekonomian daerah itu sulit untuk benar-benar berkembang. Hasil ladang seperti gambir, nilam, durian dan hasil pertanian seperti padi sulit diangkut keluar.
Kalaupun ada kendaraan yang bersedia menjemput hasil pertanian itu, biaya angkutnya relatif mahal.
Maka kedatangan gubernur ke kampung itu menjadi secercah harapan bagi masyarakat Langgai yang tidak pernah bisa merasakan mulusnya jalan aspal sejak Indonesia merdeka.
Wali Nagari Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Zulhadi menyebut jalan di kampung mereka yang berupa jalan tanah dan batu koral, masih sama sejak dibuka pertama kali sekitar 20 tahun lalu.
Padahal Sebagai daerah sentra gambir di Pesisir Selatan, akses jalan menjadi kebutuhan utama warga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
Langgai merupakan satu dari dua kampung dalam Kenagarian Gantiang Mudiak Utara Surantiah, Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. Jaraknya sekitar 145 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Kota Padang dan 68 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten, Painan.
Terdapat 466 Kepala Keluarga (KK) di kampung itu dengan jumlah penduduk sekitar 1.878 jiwa. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dengan gambir sebagai komoditas unggulan.
Gambir dari Langgai itu menyumbang angka produksi gambir dari Kabupaten Pesisir Selatan yang mencapai 451 ton per tahun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ladang gambir milik masyarakat, rata-rata terletak di perbukitan yang mengelilingi kampung itu. Berjarak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Hal itu menyebabkan masyarakat Langgai tidak bisa bolak-balik dari rumah ke ladang setiap hari.
Mereka harus mendirikan pondok darurat di ladang dan tinggal empat hingga lima hari dalam seminggu di lokasi itu untuk memetik dan mangampo (memeras) gambir. Rata-rata masyarakat berangkat ke ladang pada hari Senin dan baru pulang pada hari Jumat.
Sesampai di rumah, saripati gambir dijemur lalu dijual ke pasar pada hari Minggu.
Salah seorang tokoh masyarakat, Darusman menyebut kadar air gambir yang dijemur selama dua hari dalam cuaca panas bisa berkurang hingga tinggal 16 persen. Gambir dengan kualitas itu, saat ini laku dijual dengan harga Rp45 ribu per kilogram.
Harga itu termasuk bagus. Namun bila ingin harga lebih bagus, petani harus lebih sabar menjemur gambir hingga kadar airnya menyusut lebih banyak. Makin kering gambir, makin mahal harganya. Gambir kering bahkan bisa dijual dengan harga Rp90 ribu per kilogram.
Harga gambir yang bagus sejak enam bulan terakhir membuat perekonomian masyarakat Langgai terdongkrak. Tidak jarang ditemukan motor-motor baru di rumah masyarakat Langgai. Bahkan ada yang membeli mobil meski kondisi jalan masih jelek.
Namun perekonomian masyarakat yang mulai membaik itu menyimpan ancaman yang serius terutama bagi tumbuh kembang anak di Langgai.
Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebut masyarakat Langgai ikut membawa anak balitanya saat tinggal hingga lima hari di pondok-pondok di perbukitan untuk memanen gambir. Hal itu disebabkan tidak ada orang yang bisa menjaga anak mereka saat bekerja di ladang.
Asupan gizi anak-anak selama tiggal di pondok-pondok itu bisa menjadi persoalan serius. Anak dengan gizi buruk memiliki risiko lebih besar terkena stunting.
Stunting menjadi ancaman besar bagi generasi penerus di Langgai. Jika masyarakat tidak dibekali dengan pemahaman tentang stunting maka makin lama kualitas SDM masyarakat kampung itu akan semakin menurun.
Melihat Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka prevalensi kasus stunting di Kabupaten Pesisir Selatan masih cukup tinggi, bahkan meningkat dari tahun sebelumnya.
Angka prevalensi stunting Kabupaten Pesisir Selatan pada 2022 meningkat dari 25,2 persen menjadi 29,8 persen atau naik sebesar 4,7 persen dari tahun 2021.
Apalagi saat ini petugas kesehatan di kampung Langgai masih terbatas. Berdasarkan hasil kunjungan gubernur ke Puskesri (Puskesmas Nagari) Langgai hanya ada satu tenaga bidan desa yang saat ini juga masih honor.
Persoalan serius itu harus disikapi secara bersama-sama sejak dini. Ada beberapa instrumen yang bisa dimaksimalkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya asupan gizi bagi balita saat berada di pondok perbukitan seperti PKK dan kader Posyandu.
Memperkuat peran PKK, kader Posyandu dan tenaga kesehatan di Langgai bisa menjadi salah satu solusi. Setidaknya untuk mendorong agar masyarakat saat pergi ke ladang tetap membawa bekal makanan bergizi untuk anak-anak mereka.
Memperbaiki Infrastruktur
Harapan masyarakat Langgai untuk memiliki akses jalan yang mulus mendapat tanggapan positif dari Gubernur Sumbar, Mahyeldi. Meskipun tidak bisa diselesaikan secara sekaligus karena keterbatasan anggaran, infrastruktur jalan mulai diperbaiki.
Pada 2023, Pemprov Sumbar mengalokasikan Rp1 miliar untuk perbaikan jalan berupa rabat beton. Pembangunannya difokuskan pada titik-titik yang dinilai rawan atau telah mengalami kerusakan parah.
Anggaran perbaikan infrastruktur itu akan dialokasikan kembali pada 2024 sekaligus untuk membuat Rancang Bangun Rinci (Detail Engineering Design) jembatan yang menghubungkan Langgai dengan daerah luar. Saat ini jembatan itu masih berupa jembatan gantung.
Dengan infrastruktur yang memadai diharapkan pembangunan dan perkonomian di Langgai bisa terus ditingkatkan.
Selain itu, Pemprov Sumbar juga tengah mengupayakan lembaga berbadan hukum untuk menampung hasil panen gambir petani guna menjaga kestabilan harga. Lembaga itu kemungkinan berbentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Secara berlahan-lahan juga akan dikembangkan hilirasasi dari produk gambir di Sumbar agar harga gambir petani bisa terus menguntungkan.*