Pendemo Tunisia nyanyikan 'Arab Spring', rusuh berlanjut
Tunis (ANTARA) - Bentrokan keras meletus untuk malam kelima pada Selasa (19/1) antara polisi dan pengunjuk rasa di beberapa kota Tunisia, termasuk ibu kota Tunis dan Sidi Bouzid, tempat lahirnya pemberontakan Musim Semi Arab (Arab Spring), ketika kemarahan dan frustrasi meningkat atas kesulitan ekonomi. .
Sebelumnya pada hari itu, pendemo berunjuk rasa di Tunis, menghidupkan kembali nyanyian yang bergema satu dekade lalu dalam revolusi yang mengantarkan demokrasi: "Rakyat menginginkan rezim jatuh."
Di Sidi Bouzid, tempat revolusi 2011 dimulai, para saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa polisi menembakkan gas untuk membubarkan pengunjuk rasa yang mengangkat slogan-slogan menentang penguasa dan menuntut diakhirinya beberapa dekade marginalisasi (menjauhnya masyarakat dari elite).
Bentrokan juga terjadi di daerah miskin di Tunis, termasuk Ettadamen dan Sijoumi, saat ratusan pemuda yang marah membakar ban dan memblokir jalan.
Protes siang hari dalam beberapa hari terakhir yang menuntut pekerjaan, martabat, dan pembebasan tahanan telah diikuti oleh kekerasan malam hari, dengan pembatasan COVID-19 yang memperparah kemandekan ekonomi yang lebih luas.
"Seluruh sistem harus berjalan ... Kami akan kembali ke jalan dan kami akan mendapatkan kembali hak dan martabat kami yang direbut oleh elite korup setelah revolusi," kata Maher Abid, seorang pengunjuk rasa yang menganggur.
Sesaat sebelum peringatan 10 tahun revolusi minggu lalu, pemerintah Perdana Menteri Hichem Mechichi memerintahkan penguncian empat hari dan jam malam yang lebih ketat terhadap pandemi virus corona, serta larangan protes.
Namun, di kota-kota di seluruh negara Afrika Utara, para pemuda telah melemparkan batu dan bom bensin, membakar ban dan menjarah toko-toko sementara polisi telah mengerahkan gas air mata dan pentungan, menangkap ratusan orang.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Selasa, Mechichi mengatakan dia memahami kemarahan rakyat atas situasi ekonomi dan frustrasi kaum muda, tetapi kekerasan itu tidak dapat diterima.
"Suaramu didengar dan amarahmu sah ... Jangan biarkan penyabot di antara kamu," katanya, berbicara kepada pengunjuk rasa.
Penggulingan penguasa otokratis Tunisia yang sudah lama menjabat pada tahun 2011 menginspirasi pemberontakan serupa di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah yang dijuluki "Musim Semi Arab".
Pada Selasa, sekitar 250 orang berkumpul di Bourguiba Avenue di pusat kota Tunis, sementara demonstrasi lainnya berlangsung di kota-kota dekat Sidi Bouzid.
Para pedemo di ketiga aksi unjuk rasa meneriakkan "rakyat menginginkan rezim jatuh", serta tuntutan akan pekerjaan. Tunisia menderita secara ekonomi bahkan sebelum krisis COVID-19, dengan pengangguran yang tinggi dan layanan negara yang menurun.
Sebelumnya, serikat buruh yang kuat dan kelompok hak asasi lainnya menyuarakan dukungan untuk protes damai terhadap "kebijakan marginalisasi, pemiskinan dan kelaparan", menuduh negara menyia-nyiakan harapan revolusi. (*)
Sebelumnya pada hari itu, pendemo berunjuk rasa di Tunis, menghidupkan kembali nyanyian yang bergema satu dekade lalu dalam revolusi yang mengantarkan demokrasi: "Rakyat menginginkan rezim jatuh."
Di Sidi Bouzid, tempat revolusi 2011 dimulai, para saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa polisi menembakkan gas untuk membubarkan pengunjuk rasa yang mengangkat slogan-slogan menentang penguasa dan menuntut diakhirinya beberapa dekade marginalisasi (menjauhnya masyarakat dari elite).
Bentrokan juga terjadi di daerah miskin di Tunis, termasuk Ettadamen dan Sijoumi, saat ratusan pemuda yang marah membakar ban dan memblokir jalan.
Protes siang hari dalam beberapa hari terakhir yang menuntut pekerjaan, martabat, dan pembebasan tahanan telah diikuti oleh kekerasan malam hari, dengan pembatasan COVID-19 yang memperparah kemandekan ekonomi yang lebih luas.
"Seluruh sistem harus berjalan ... Kami akan kembali ke jalan dan kami akan mendapatkan kembali hak dan martabat kami yang direbut oleh elite korup setelah revolusi," kata Maher Abid, seorang pengunjuk rasa yang menganggur.
Sesaat sebelum peringatan 10 tahun revolusi minggu lalu, pemerintah Perdana Menteri Hichem Mechichi memerintahkan penguncian empat hari dan jam malam yang lebih ketat terhadap pandemi virus corona, serta larangan protes.
Namun, di kota-kota di seluruh negara Afrika Utara, para pemuda telah melemparkan batu dan bom bensin, membakar ban dan menjarah toko-toko sementara polisi telah mengerahkan gas air mata dan pentungan, menangkap ratusan orang.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Selasa, Mechichi mengatakan dia memahami kemarahan rakyat atas situasi ekonomi dan frustrasi kaum muda, tetapi kekerasan itu tidak dapat diterima.
"Suaramu didengar dan amarahmu sah ... Jangan biarkan penyabot di antara kamu," katanya, berbicara kepada pengunjuk rasa.
Penggulingan penguasa otokratis Tunisia yang sudah lama menjabat pada tahun 2011 menginspirasi pemberontakan serupa di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah yang dijuluki "Musim Semi Arab".
Pada Selasa, sekitar 250 orang berkumpul di Bourguiba Avenue di pusat kota Tunis, sementara demonstrasi lainnya berlangsung di kota-kota dekat Sidi Bouzid.
Para pedemo di ketiga aksi unjuk rasa meneriakkan "rakyat menginginkan rezim jatuh", serta tuntutan akan pekerjaan. Tunisia menderita secara ekonomi bahkan sebelum krisis COVID-19, dengan pengangguran yang tinggi dan layanan negara yang menurun.
Sebelumnya, serikat buruh yang kuat dan kelompok hak asasi lainnya menyuarakan dukungan untuk protes damai terhadap "kebijakan marginalisasi, pemiskinan dan kelaparan", menuduh negara menyia-nyiakan harapan revolusi. (*)