Harga daging mahal, CIPS: rantai distribusi panjang

id Harga Daging,Harga Daging Mahal,Center for Indonesian Policy Studies

Harga daging mahal, CIPS: rantai distribusi panjang

Salah seorang pedagang daging sapi sedang memotong pesanan pembeli di kawasan Kalumbuak, Padang. (Mario Sofia Nasution /Antara Sumbar)

Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa harga daging sapi lokal yang terdapat di berbagai daerah masih mahal karena panjangnya rantai distribusi nasional.

"Daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen," kata Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi di Jakarta, Senin.

Hizkia Respatiadi mengingatkan bahwa panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal mempengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran. Hal ini terjadi karena munculnya biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi.

Ia memaparkan, proses distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi mereka langsung kepada pedagang setempat yang berskala kecil atau melalui tempat penggemukan sapi (feedlot) yang memberi makan sapi secara intensif untuk meningkatkan bobot sapi dan nilai jualnya.

Setelah itu, sapi dijual lagi ke pedagang setempat berskala besar dengan menggunakan jasa informan untuk mendapatkan harga pasar yang paling aktual.

Kemudian, lanjut Hizkia, sapi dijual lagi ke pedagang regional, yang wilayah dagangnya meliputi beberapa kabupaten, provinsi dan sejumlah pulau kecil.

Lalu sapi kembali dijual ke pedagang yang ada di penampungan ternak, yang berfungsi sebagai area transit ketika mereka menunggu pedagang grosir dari Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memilih hewan ternak yang akan dibeli dan dipotong.

Selanjutnya, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu pedagang di RPH untuk mendapatkan pembeli.

"Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen," paparnya.

Menurut dia, bila pemerintah memandang solusi untuk memotong rantai distribusi adalah dengan menyerahkan prosesnya ke badan-badan pemerintah, maka seharusnya pemerintah juga harus siap menanggung seluruh biaya terkait transportasi tersebut.

Sebagaimana diwartakan, program peningkatan populasi sapi dan kerbau yang dilaksanakan pemerintah harus mampu meningkatkan kesejahteraan peternak lokal.

Ketua Pusat Kajian Pertanian, Pangan, dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika dalam lokakarya di Jakarta, Jumat (13/4), mengatakan peningkatan kesejahteraan peternak domestik merupakan hal lokal karena kondisi industri peternakan nasional saat ini relatif berada dalam kondisi stagnan.

"Program termasuk upaya khusus sapi indukan wajib bunting (Upsus Siwab) belum terasa dampaknya, mungkin baru sekitar setahun kemudian terasa dampaknya," kata Yeka Hendra Fatika.

Terkait program pengadaan sapi indukan sebesar 15.000 ekor, dia mengatakan bahwa hal tersebut adalah jumlah pengadaan yang terbesar setelah era reformasi di Republik Indonesia.

Untuk itu, ujar dia, pengadaan dengan jumlah yang besar ini sebenarnya merupakan pengembangan yang baik dan merupakan langkah nyata untuk peningkatan populasi sapi di Tanah Air. "Namun masih ada hal-hal yang harus ditingkatkan, kata kuncinya adalah sinergitas," katanya. (*)