Sebagai daerah bekas pusat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 1948, Kota Pariaman tentunya memiliki sejuta sejarah yang masih tersimpan rapi dan diyakini belum sempat diungkap secara mendalam oleh para sejarawan maupun ilmuan.
Untuk menggali sejarah dan kekayaan budaya masyarakat ranah pesisir itu, beragam kegiatan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Mulai dari kajian dan studi seperti seminar maupun sumber yang diperoleh langsung dari salah satu perpustaan di Negara Belanda seperti foto yang diabadikan pada waktu itu. Selain itu upaya yang cukup signifikan dilakukan yaitu mengenalkan dan mempromosikan budaya masyarakat Kota Pariaman ke tingkat nasional bahkan Internasional.
Salah satu kebudayaan yang paling menakjubkan dan menarik ribuan hingga ratusan ribu pasang mata wisatawan yaitu Festival Pesta Budaya Tabuik yang dihelat oleh pemerintah setempat setiap tahun tepatnya pada 1 Muharram hingga 10 Muharram (Tahun Baru Islam).
Festival budaya tabuik diyakini masyarakat dan pemerintah setempat sudah ada sejak abad 19 masehi, festival pariwisata itu merupakan kegiatan untuk memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad yang bernama Hussein Bin Ali. Beserta keluarganya, Hussein Bin Ali wafat dalam peperangan di Padang Karbala melawan pasukan tentara Yazid Bin Muawiyah.
Festival budaya tabuik pada dasarnya memiliki tujuan untuk merangkul para wisatawan lokal, domestik maupun internasional dalam mengenali dan menggali budaya itu sendiri. Tabuik sendiri merupakan sebuah ornamen yang dibuat oleh para 'Anak Tabuik' dari beragam bahan seperti kayu, bambu, kertas, tali dan sebagainya yang dihias seindah mungkin berbentuk patung kuda berkepala manusia dan memiliki sayap atau lebih dikenal sebagai 'Burak'.
Masyarakat Kota Pariaman menyakini festival budaya tabuik yang dihelat tersebut dapat menarik dan menjadikan kota itu sebagai salah satu destinasi tujuan wisata di Indonesia khususnya Sumatera Barat.
Pesta budaya tabuik sendiri memiliki beberapa rangkaian atau prosesi yang harus dilalui setiap pelaksanaannya. Setidaknya tercatat ada tujuh prosesi sakral yang harus dilangsungkan selama 1 hingga 10 Muharram tersebut.
Prosesi pertama dimulai dari 'Maambiak Batang Pisang' yang dilakukan oleh sekelompok orang atau anak tabuik. Prosesi maabiak tanah tersebut biasanya dilakukan menjelang masuknya waktu Sholat Magrib. Tidak diketahui pasti apa tujuan dari pelaksanaannya yang berdekatan dengan waktu Sholat Maghrib tersebut.
Namun sejak 2016 pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melakukan perubahan dengan mempercepat agenda atau waktu untuk menghindari benturan dengan waktu Sholat Magrib.
Ritual maambiak tanah ini memiliki makna bahwa asal usul manusia dari tanah. Biasanya tanah yang diambil tersebut berasal dari dasar sungai, karena tanah yang diambil pun tidak bisa sembarangan karena prosesi itu diangap sakral. Selain itu prosesi maambiak tanah juga bermakna dan berkaitan erat dengan pengambilan jasad Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Prosesi yang kedua yaitu 'Manabang Batang Pisang' memiliki makna kesadisan musuh atau tentara Yazid Bin Muawiyah saat membunuh Husein Bin Ali cucu Nabi Muhmamad SAW. Prosesi manabang pisang sendiri dilakukan oleh salah seorang Tuo Tabuik dengan menggunakan pedang Jernawi untuk memancung beberapa batang pohon pisang.
Selanjutnya prosesi 'Mataam' pada hari ke tujuh, dilanjutkan pada malam harinya yakni mangarak jari-jari, pada hari berikutnya ritual 'maaarak saroban', lalu ritual 'Tabuik Naiak Pangkek' dan ritual 'Hoyak Tabuik', acara puncak diadakan pembuangan tabuik ke laut lepas saat menjelang pergantian siang ke malam hari.
Sebagai daerah yang fokus dan serius dalam mengembangkan dunia pariwisata, pemerintah yang dipimpin oleh Mukhlis Rahman dan Genius Umar itu membawa dampak yang cukup signifikan. Hal itu dapat dilihat dari tingkat kunjungan pariwista setiap tahun ke daerah itu. Selain itu pembenahan, pengembangan dan penambahan sejumlah objek wisata terus dilakukan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pesta Budaya Tabuik yang dihelat sejak ratusan tahun itu sudah menjadi daya tarik dunia pariwisata oleh turis luar negeri. Bahkan saat ini agenda rutin yang sudah masuk ke dalam kalender
pariwisata itu menjadi salah satu daftar nominasi Anugrah Pesona Indonesia 2017 Provinsi Sumatera Barat kategori Atraksi Budaya Terpopuler.
Bahkan beberapa hasil dokumentasi foto Pesta Budaya Tabuik milik Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara turut dipamerkan di Kota Hamburg Jerman pada 2016 lalu sebagai ajang promosi internasional. Maka tidak heran jika kekayaan budaya yang dimiliki oleh kota berjuluk Tabuik ini merambah hingga ke tingkat Internasional. Selain itu pada 2005 tabuik juga sempat dipamerkan di negara Amerika Serikat sebagai salah satu upaya promosi internasional.
Meskipun dikenal sebagai agenda wisata yang populer serta memiliki nama besar, pesta Budaya Tabuik bukan berarti tidak mendapatkan kritikan oleh sejumlah lapisan masyarakat. Pertentangan atau pro dan kontra kerap terjadi setiap penyelenggaraan even ini. Namun pemerintah dan masyarakat sepakat menegaskan bahwa pesta budaya tabuik yang dihelat setiap tahun itu hanya untuk mendongkrak dunia pariwisata dan upaya memanggil para perantau kembali Kota Pariaman.
Terlepas dari sejumlah perdebatan pro dan kontra, tentunya setiap orang dan semua lapisan masyarakat memiliki pandangan dan dasar atas semua yang disampaikan. Namun secara pasti pesta budaya tabuik telah mengubah wajah Kota Pariaman menjadi daerah tujuan wisata hingga ke tingkat internasional.
Sebagai daerah yang cukup serius dalam memajukan dunia pariwisata, sudah seharusnya Kota Pariaman lebih meningkatkan berbagai upaya di sektor tersebut. Apalagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla saat ini cukup
fokus menggenjot bidang itu.
Pelaksanaan pesta budaya tabuik secara umum sejatinya masih memiliki sejumlah hal yang perlu diperbaiki agar betul-betul menjadi ikon budaya yang mendunia. Persoalan parkir, pungutan liar, penataan pedagang, dan polemik lainnya tentu suatu hal yang harus dituntaskan pemerintah dan masyarakat setempat. Jika tidak tentunya kekayaan budaya yang sudah lebih dari satu abad itu dapat tercoreng oleh hal yang sederhana namun berakibat fatal.
Kasus pungutan liar jika ditarik tahun sebelumnya masih suatu ancaman besar bagi sektor pariwisata di sejumlah objek wisata. Para oknum tertentu dengan sengaja mencari keuntungan pribadi dengan merugikan wisatawan yang datang, tentunya hal itu membawa kerugian besar bagi daerah yang sedang berusaha memajukan sektor tersebut.
Melihat persoalan itu, pemerintah memang sudah melakukan beberapa langkah dan evaluasi termasuk dengan pembentukan tim Satgas Saber Pungli atas intruksi Presiden RI dalam Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas (Satgas) saber Pungli untuk merespon keluhan wisatawan yang berkunjung.
Namun langkah itu pada dasarnya dinilai hanya berjalan efektif apa bila ada personel yang menggerakkannya. Persoalan pungli sejatinya tidak selamanya disusun secara sistematis, namun terkadang hal itu terjadi apabila ada celah oleh oknum tertentu. Penyakit ini tentunya tidak memandang siapa dan jabatan yang disandang, setiap individu berpotensi besar melakukannya terutama yang memiliki kekuatan di lingkaran tersebut.
Oleh sebab itu sudah seharusnya pemerintah melakukan perubahan sikap dan mental masyarakat yang sadar akan wisata. Tentunya bukan persoalan mudah untuk mengubah mental dan kebiasaan itu, perlu keseriusan dan komitmen tinggi semua pihak. Hal yang perlu dapat dilakukan pemerintah dalam memberantas penyakit sosial tersebut dapat melalui pendekatan seorang pemimpin kepada masyarakatnya. Karena dari sebagian besar kasus pungli yang terjadi di sektor pariwisata disebabkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang mapan dalam pekerjaan itu.
Pelaksanaan pesta budaya tabuik setiap tahunnya merupakan suatu keuntungan besar bagi pemerintah dan
masyarakat setempat, kenapa tidak, selain pendapatan atau perputaran ekonomi yang meningkat selama kegiatan, hal itu secara otomatis mendongkrak prestise Kota Pariaman di bidang pariwisata. Namun dibalik sisi positif tersebut masih terselip kelemahan di bidang komunikasi terutama saat puncak pelaksanaan kegiatan.
Bisa dibayangkan ribuan hingga ratusan ribu pengunjung yang datang dari berbagai daerah hingga pelancong luar negeri memadati Pantai Gandoriah sebagai pusat kegiatan prosesi akhir. Lautan manusia itu beramai-ramai melihat dan menyaksikan pesta budaya tabuik, namun dengan jumlah yang sangat besar itu membuat komunikasi yang menggunakan jaringan telepon seluler harus terganggu karena kelebihan kuota penggunaan.
Sebagai dampak buruk yang terjadi akibat persoalan itu, banyak anggota keluarga atau masyarakat pada
umumnya yang terpisah di tengah keramaian. Hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian khusus oleh pemerintah untuk mewaspadai agar kasus yang sama tidak kembali terulang. Selain itu pemerintah juga perlu menyiapkan sejumlah sarana pengeras suara dan papan informasi bagi masyarakat yang terpisah tersebut untuk memudahkannya dalam menemukan anggota keluarga yang terpisah.
Persoalan pedagang yang masih belum bisa ditata dengan rapi oleh pemerintah daerah merupakan momok yang masih terjadi hingga saat ini. Sejumlah pedagang yang seharusnya tidak diizinkan berjualan di tempat tertentu tetap memilih bertahan. Hal ini jelas mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keelokan objek wisata yang dikemas dengan baik.
Seperti jajaran pedagang makanan dan kaki lima saat pesta budaya tabuik berlangsung, puluhan hingga ratusan pedagang berbaris di tempat yang idealnya bukan tempat berjualan. Sudah sering dilakukan penataan, namun setiap itu pula kembali terjadi. Dalam polemik ini seharusnya pemerintah bertindak tegas namun kooperatif, persuasif dan mendidik kepada pedagang. Tidak harus pemaksaan dengan menggunakan otot para personel Satpol-PP karena hal itu dapat menimbulkan amarah bahkan konflik dengan pedagang.
Persoalan parkir sudah sangat umum terjadi di berbagai daerah terutama objek wisata, mulai dari parkir ilegal, areal parkir, retribusi bukan peruntukannya, hingga karakter dan watak petugas parkir menjadi kasus yang kerap terjadi dimana-mana. Tak jarang hal ini sering memicu konfik petugas parkir dengan wisatawan yang datang. Kota Pariaman merupakan salah satu daerah yang cukup serius memacu sektor pariwisata, namun terkadang lalai dalam mengatur persoalan parkir. Hal itu terlihat jelas di beberapa objek wisata pelaku atau oknum tertentu bahkan petuas resmi parkir pemerintah setempat di bawah Dinas Perhubungan kerap melakukan pelanggaran seperti memberikan karcis yang bukan peruntukannya dan perilaku atau watak yang masih kasar kepada pengunjung.
Persoalan ini tentunya tidak dapat dipandang enteng mengingat efek atau dampak buruk yang ditimbulkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Bahkan dinilai dapat merusak citra pariwisata yang sudah lama dibangun dengan biaya bombastis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam hal ini yaitu memberikan semacam pendidikan karakter, pelatihan dan pembinaan kepada petugas parkir agar memiliki bekal lengkap dalam melayani setiap wisatawan yang berkunjung.