Panas bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan yang menjadi solusi guna pemenuhan listrik nasional. Energi panas bumi bisa dijadikan solusi jangka panjang karena bisa dikatakan energi ini tidak akan pernah habis selama kelestarian lingkungan terjaga sehingga resapan air ke reservoir juga terjaga.
Hal ini jauh berbeda dengan energi fosil yang sewaktu-waktu akan habis bila diproduksi terus-menerus.
Energi panas bumi merupakan uap yang diambil dari dalam perut bumi melalui pengeboran. Selanjutnya uap dari panas tersebut disalurkan untuk memutar turbin sehingga menghasilkan energi listrik.
Sedangkan untuk air panas yang keluar dari perut bumi akan kembali diinjeksikan setelah melalui proses pendinginan sehingga ketersediaan uapnya tetap terjaga dalam waktu yang sangat lama.
Indonesia sendiri memiliki cadangan energi panas bumi yang cukup besar yaitu 29 ribu megawatt dan itu belum termanfaatkan secara maksimal.
Yang lebih luar biasa lagi, 40 persen cadangan potensi panas bumi dunia berada di bumi Indonesia.
Dengan potensi sumber energi panas bumi yang besar sekarang ini, Indonesia baru menempati urutan ketiga dalam pemanfaatannya yaitu baru 1.904 megawatt dan masih di bawah Amerika Serikat yang sudah menghadalkan 3.092 megawatt dan Filipina dengan 1.904 megawatt.
Sejak Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 disahkan, PT Supreme Energy merupakan perusahaan pertama yang berani melakukan eksplorasi potensi panas bumi.
Eksplorasi yang pertama dilakukan yaitu pada titik ML A1 dengan kapasitas yang sangat menjanjikan 20-25 megawaat.
Pengeboran eksplorasi oleh PT Supreme Energy melalui anak perusahaannya PT Supreme Energy Muara Laboh dengan Wilayah Kerja Pertambangan Liki-Pinang Awan dengan target 2x110 megawatt.
Akan tetapi untuk tahap pertama, PT Supreme Energy hanya akan memproduksi listrik 86 megawatt dimana 80 megawatt dijual pada Perusahaan Listrik Nasional (PLN) sedangkan enam megawatt lagi dipergunakan sendiri untuk operasional.
Senior Manager Bisnis Relations PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) Ismoyo Argo mengatakan pada tahap eksplorasi pihaknya melakukan enam pengeboran sumur dan hanya tiga yang mengeluarkan uap sedangkan tiga lagi tidak ada hasil dan hanya dijadikan sumur injeksi.
Setelah melakukan kajian yang cukup lama terhadap sumur eksplorasi yaitu sekitar dua tahun sekarang PT SEML sudah memasuki tahap produksi dan untuk mencapai target 86 megawatt, pihaknya akan melakukan pengeboran 13 sumur lagi yang terdiri atas delapan sumur produksi, tiga sumur injeksi serta dua cadangan.
"Untuk mendapatkan hasil maksimal semua data tentang hasil ekplorasi dibutuhkan untuk memasuki tahap produksi," kata dia.
Untuk commercial operation date (COD) PT SEML targetkan Agustus 2019 dengan kontrak 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi sesuai kesepakatan.
Listrik produksi SEML berkontribusi dalam pencapaian target 7.000 MW energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah hingga 2025.
"Untuk di Sumbar, kontribusi listrik SEML pada 2019 sebesar 10,58 persen dengan beban puncak 756 MW," ujarnya.
Setelah itu baru memasuki tahap dua guna mencapai target 2x110 megawatt dan potensi yang dilirik ke arah selatan, yakni Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah "merestui" pemanfaatan panas bumi atau geothermal untuk energi baru terbarukan (EBT) di kawasan konservasi sebagai bentuk dukungan terhadap ketahanan dan kedaulatan energi serta penurunan target emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Regulasi untuk pemanfaatan geothermal di kawasan konservasi, yakni Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dalam aturan baru ini memisahkan geotermal dari aktivitas-aktivitas pertambangan yang lain dan itu membuka jalan untuk eksplorasi geothermal di wilayah hutan lindung dan area konservasi.
Lalu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.46/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Ismoyo menyebutkan, potensi listrik yang berada di bagian selatan mencapai 140 MW.
"Dari enam sumur eksplorasi yang paling selatan memiliki temperatur paling tinggi yaitu 311 derajat celcius dan itu mengarah ke kawasan TNKS," katanya.
Dia menambahkan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kemungkinan seperti lumpur Lapindo terhadap pengeboran panas bumi.
Pengeboran panas bumi hanya mengeluarkan uap sedangkan pada minyak yang keluar gas.
Selain itu, katanya terkait ketersediaan air untuk masyarakat juga tidak akan terganggu sebab Supreme Energy tidak memanfaatkan air permukaan untuk dimasukkan ke dalam perut bumi.
"Kita memanfaatkan air yang keluar bersama uap untuk di suntikkan lagi kedalam perut bumi jadi tidak akan mengganggu pasokan air masyarakat," kata dia.
Risiko Tinggi
Proyek panas bumi memiliki resiko kegagalan tinggi yaitu 50 persen saat eksplorasi dan ini yang membuat investor takut berinvestasi.
Selain itu juga karena pembeli listrik di Indonesia hanya satu yaitu PLN jadi harus ada kesepakatan harga terlebih dahulu sebelum dilakukan eksplorasi.
Dengan pembeli tunggal harga jual bisa rendah sedangkan investasinya sangat besar dengan resiko gagal juga besar.
Direktur Utama PT Supreme Energy, Supramu Santosa menyebutkan sejak tahap survei awal pada 2008 hingga kini, pihaknya telah menggelontorkan lebih Rp2 tiliun dengan perkiraan total investasi mencapai Rp7,5 triliun.
Ia menjelaskan, untuk survei saja pihaknya sudah menghabiskan sekitar Rp26 miliar. Kemudian untuk pembangunan jalan setidaknya juga telah menghabiskan dana Rp390 miliar dan untuk pengeboran juga sudah menghabiskan Rp1,9 triliun.
"Untuk eksplorasi, kami menggunakan dana sendiri karena bank tidak ada yang percaya. Sementara pada tahap eksploitasi, kami mendapatkan pinjaman dari sejumlah bank luar negeri," ujarnya.
Dia menjelaskan, saat memasuki tahap eksploitasi tetap ada risiko gagal 20 persen.
"Setelah berhasil juga tetap ada risiko 20 persen serta seberapa besar tekanan sumur turun sehingga diperlukan sumur baru dengan biaya lebih besar," ujar.
Ia menjelaskan, dari segi ekonomi apa yang sudah ia lakukan tidak sebanding dengan hasil yang sekarang.
"Tapi saya tidak menyesal karena apa yang sudah saya lakukan sekarang setidaknya memberi gambaran terhadap investor," kata dia.
Untuk menarik minat investor di bidang panas bumi, Supramu menawarkan dua opsi yaitu pemerintah menaikkan harga jual listrik atau pemerintah yang melakukan eksplorasi.
Kalau harga jual listrik PLTP naik tentu akan menarik minat investor untuk melakukan pengeboran panas bumi karena sebanding dengan risikonya.
Sedangkan yang kedua, katanya pemerintah yang melakukan eksplorasi, sementara swasta masuk pada tahap eksploitasi maka investor tidak harus menanggung risiko kegagalan eksplorasi yang sangat tinggi.
"Jika pola ini diterapkan, bisa saja nilai jual listrik lebih murah karena investor tidak lagi menanggung risiko gagal yang tinggi," ujarnya.
Namun dengan kondisi keuangan negara saat ini mustahil eksplorasi panas bumi akan bisa dilakukan pemerintah karena pasti pemerintah akan mempertimbangkan, untuk kebutuhan lain, seperti membangun infrastruktur.
Asisten II bidang Ekonomi Pembangunan Setdakab Solok Selatan Epli Rahmat mengatakan, semakin banyak investasi maka akan lebih cepat juga peningkatan ekonomi masyarakat serta pembangunan daerah.
Solok Selatan sendiri, sebutnya selain memiliki potensi panas bumi juga banyak potensi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH).
Untuk PLTMH katanya, satu sudah beroperasi yang dikelola oleh PT Selo Kencana Energy di Taluak Aia Putiah Kecamatan Sangir.
Selain itu di Kubang Gajah juga sedang pembangunan PLTMH oleh PT Waskita Sangir Energy.
Dengan berbagai investasi tersebut kata dia, maka kemajuan serta pembangunan akan lebih cepat maju.
"Kita tidak hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan guna meningkatkan perekonomian masyarakat tetapi juga bisa melalui Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang berinvestasi dan sudah menghasilkan," katanya.
Supaya penyaluran CSR lebih tepat sasaran kata dia, maka pemerintah daerah akan segera memfasilitasi perusahaan untuk pembentukan forum CSR.
"Kita hanya memfasilitasi sedangkan pengurusnya tetap perwakilan perusahaan dengan tujuan penyalurannya lebih tepat sasaran," kata dia.
Untuk saat ini kata dia, proyek panas bumi masih menjadi investasi terbesar di Solok Selatan. Sedangkan forum CSR ini bukan hanya untuk panas bumi tetapi semua investasi di Solok Selatan. (*)