Kontroversi RPM Konten Multimedia

id Kontroversi RPM Konten Multimedia

Hampir semua media di negeri ini belakangan "heboh" dengan peluncuran uji publik atas Rancangan Peraturan Menteri (RPM) mengenai Konten Multimedia oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi. Melalui RPM tersebut, pemerintah akan memelototi setiap kontent informasi yang berseliweran di internet. Pemerintah berasumsi bahwa dengan adanya pengawasan terhadap informasi yang beredar, maka fitnah dan berbagai bentuk pelanggaran etika mengeluarkan pendapat akan dapat diatur. Berbagai komentar bernada kontroversi pun muncul ke permukaan. Betapa tidak, kita melihat itu seperti pekerjaan "menggantang angin". Kenapa? Bagaimana mungkin trilyunan informasi yang beredar di dunia maya bisa dipantau dan diawasi pemerintah. Dalam rancangan itu, RPM juga akan mengatur sebuah komite yang akan melakukan fungsi pengawasan. Hal ini terkesan dibuat-buat dan mengada-ada, karena pada kenyataannya nanti, anggota komite itu justru sebagian besar akan diisi oleh aparat pemerintah sendiri. Tak heran ketika diluncurkan, RPM tersebut langsung memancing kontroversi. Pihak-pihak yang selama ini berada di dunia maya, seperti para blogger dan pengguna internet mengecam keras aturan tersebut karena dianggap menakut-nakuti para penyedia dan pengguna informasi. Barangkali ada baiknya kita berkaca dan melihat bagaimana perkembangan multimedia di luar negeri. Di Cina misalnya, kebebasan memperoleh informasi memang pernah dikekang. Namun itu hanya terjadi di rezim yang otoriter. Sementara di negeri kita yang mengaku sebagai negara demokrasi, rasanya tidak pantas menyampaikan hal itu secara terang-terangan. Apalagi kalau pemerintah memang berencana mengekang kebebasan informasi masyarakat. Beruntunglah kita karena memiliki presiden yang cepat tanggap. Sehingga Presiden SBY langsung dengan cepat merespons atau menegur menterinya, dan Presiden menyatakan bahwa sepatutnya, segala bentuk rancangan aturan yang hendak dikeluarkan, diajukan terlebih dahulu kepada presiden melalui mekanisme Sekretaris Negara atau Sekretaris Kabinet. Kita patut menyampaikan apresiasi atas cepatnya tanggapan Presiden SBY atas masalah ini. Karena pemerintah memang tidak boleh menakut-nakuti rakyatnya sendiri. Kalau pemerintah ingin menghambat fitnah, bukankah lebih elegan, memberikan pendidikan yang baik bagi warga tentang bagaimana berinternet yang baik, dan ini bisa disosialisasikan, dan bila perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kita harus mendorong media supaya ikut berpartisipasi aktif, sehingga model-model pemberangusan informasi tidak menjadi trend. Pemerintah harusnya berterima kasih karena masih ada elemen yang mengisi informasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kebebasan informasi selalu dianggap paralel dengan demokrasi. Semakin terbuka informasi, semakin demokratislah negara tersebut. Adagium itulah yang dipegang oleh banyak negara maju, sehingga tak satu pun mereka yang berani mengutak-atik kebebasan memperoleh dan mendapatkan informasi warganya. Perkembangan pengguna facebook dan twitter, seharusnya disyukuri karena ini pertanda masyarakat sudah semakin melek informasi dan belajar bersentuhan dengan teknologi. Tentunya dengan perkembangan ini, lama kelamaan, dan melihat pengalaman negara lain, masyarakat akan terbiasa memisahkan mana gosip dan mana yang tidak. Mana yang baik dan mana yang buruk. Kita hanya perlu memberikan pendidikan dan contoh yang baik. Barangkali di sisi inilah yang perlu diatur oleh negara, bagaimana menyiapkan masyarakat supaya cukup dewasa dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini. (***)