Sumbar Revisi SE Percepatan Tanam Padi Kontroversial

id Padi, Sawah, Sumbar

Padang, (Antara Sumbar) - Pemerintah Provinsi Sumatera Barat merevisi Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi yang mengundang kontroversi.

"Surat Edaran itu direvisi dengan SE Nomor 521.1/2088/Distanhorbun/2017, " kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Sumbar Candra di Padang, Rabu.

Perbedaan SE yang baru tersebut dengan yang lama menurutnya adalah mempertegas lahan yang harus digarap paling lambat 30 hari setelah panen itu adalah lahan yang memiliki irigasi yang baik. Sementara lahan lain tidak termasuk.

"Sebelumnya tidak tegas disebutkan lahan irigasi. Sekarang ditegaskan," katanya.

Kemudian menurutnya kerja sama pengelolaan lahan yang sebelumnya diarahkan pada TNI, sekarang diarahkan pada pihak ketiga, terserah pada pemilik lahan.

Lalu pembagian keuntungan yang semula dipatok 20 persen untuk petani pemilik lahan dan 80 persen untuk pengelola ditiadakan.

"Pembagiannya diserahkan pada petani dan pengelola, tidak dipatok lagi," katanya.

Terkait surat edaran itu ia mengatakan semangatnya adalah pemaksimalan pemanfaatan lahan untuk memenuhi target swasembada pangan sehingga rakyat bisa makan dengan membeli murah dan pangan tersedia.

Lebih lanjut ia mengatakan surat edaran ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Program UPSUS untuk capaian swasembada beras secara nasional. UPSUS tersebut diperintahkan Presiden kepada Kementerian Pertanian dan TNI. Perintah oleh Presiden adalah dalam rangka ketahanan pangan nasional.

"Untuk tahun 2017 telah ditetapkan, bahwa Sumbar harus produksi padi sebanyak tiga juta ton. Untuk mencapai itu harus ada upaya percepatan tanam dan memanfaatkan lahan sawah yang ada semaksimal mungkin," ujarnya.

Ia menjelaskan areal persawahan Sumbar saat ini hanya 230 ribu hektare sementara target telah ditetapkan oleh pusat harus tanam seluas 600.000 hektare per tahun.

"Artinya Indek Pertanaman (IP) harus dicapai 2,6 kali setahun, agar target tercapai," katanya.

Menurutnya gerakan tanam tersebut telah dilaksanakan 9 Februari sampai 23 Februari 2017. Kenyataan di lapangan masih banyak sawah yg tidak digarap dengan berbagai alasan.

Alasan kadang tidak masuk akal karena kebiasaan. Malah ada yg menunggu masa tanam sesudah lebaran. Padahal kalau menunggu selesai lebaran, terdapat kekosongan selama dua hingga tiga bulan.

"Makanya kita desak agar selambat-lambatnya 15 hari setelah panen harus ditanami lagi," katanya.

Berdasarkan kondisi itu menurutnya Pemprov Sumbar melalui OPD terkait berinisiatif membuat surat edaran kepada bupati/Wali kota se sumbar, agar membantu program nasional ini dan agar ikut bertanggung jawab untuk capaian produksi tersebut.

"Biaya pemanfaatan lahan tersebut nanti bisa diambilkan dari dana PUAP dan atau Dana Nagari,"katanya.

Program itu menurut Candra sebenarnya menguntungkan pemilik lahan, karena tanpa modal, bisa mendapatkan keuntungan setelah dikeluarkan biaya produksi.

" Seandainya petani kita telah mengolah dan menanam sawahnya dengan baik dan sesuai harapan, maka edaran tersebut tidak diperlukan lagi," katanya.

Sebelumnya Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi mengundang kontroversi karena dinilai melakukan pemaksaan pada petani untuk mengolah lahan tanpa jeda.

Hal itu menurut salah seorang tokoh masyarakat Sumbar Hasril Chaniago dalam akun media sosialnya dipantau Rabu malam, tidak mempertimbangkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Sumbar sehingga menyebabkan keresahan.

Anggota Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) wilayah Sumbar Eka Kurniawan Sago Indra malah menilai surat edaran itu berpotensi merampas hak-hak petani.

Padahal menurutnya petani mendapatkan jaminan UU perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 tahun 2013.

Ia mengatakan SPI sedang rapat untuk mengambil tindakan selanjutnya terkait edaran gubernur tersebut. (*)