Padang (ANTARA) - Pakar hukum tata negara asal Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Margarito Kamis mendukung langkah DPRD Provinsi Sumatera Barat gandeng Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) melakukan audit investigasi pengelolaan Hotel Novotel yang berada di Kota Bukittinggi yang merupakan kerja sama Build Over Transfer (BOT) atau bangun serah guna.
“Pelibatan BPK malah jauh lebih bagus, semuanya jadi terukur dan semua pihak harus patuh atas hasil audit investigasi BPK nanti,” kata Margarito dalam keterangan tertulis di Padang, Selasa.
Menurut dia, Pemprov Sumatera Barat tidak perlu melanjutkan perpanjangan sisa kontrak dengan perusahaan swasta yang mengelola aset daerah. Apabila ada pembayaran yang tidak dipenuhi sesuai kesepakatan oleh pengelola Novotel tersebut
Diketahui, kontrak pengelolaan Hotel Novotel Bukittinggi ini akan berakhir pada tahun 2024 dan harusnya, kontrak pengelolaan tersebut habis pada Desember 2022 tapi diperpanjang lagi akibat pandemi COVID-19 pada 2020 sampai 2022. Maka, total pengelolaan jadi 32 tahun.
“Begini, kalau pembayarannya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka secara hukum ada alasan untuk, bukan menyelidiki tetapi dapat dibatalkan oleh pihak Pemda," kata dia.
Sebelumnya Komisi III DPRD Sumatera Barat menggandeng BPK melakukan audit investigasi pengelolaan Hotel Novotel yang merupakan kerja sama Build Over Transfer (BOT) dengan Pemerintah Daerah Sumatera Barat.
Ketua Komisi III DPRD Sumater Barat, Ali Tanjung mengatakan Direktur PT. Grahamas Citrawisata yakni Dedi Sjahrir Panigoro sudah dua kali dipanggil oleh Komisi III DPRD Sumatera Barat namun Dedi Panigoro tidak pernah kooperatif untuk memenuhi undangan DPRD Sumatera Barat.
“Dia sudah dua kali kita panggil. Dia ini kan sudah hampir 30 tahun kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membangun hotel menggunakan aset tanah Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Selama ini laporannya rugi terus, maka kita ingin dalami,” kata dia.
Menurut dia, DPRD Sumatera Barat memiliki tugas untuk mengawasi penggunaan aset milik Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Karena, kata dia, ada hal yang tidak masuk akal dalam kerja sama build over transfer (BOT) antara perusahaan yang dipimpin Dedi Panigoro dengan Pemerintah Daerah Sumatera Barat (Pemda Sumbar).
“Ini masalah besar karena aset yang dikelola itu besar, puluhan bahkan ratusan miliar. Sementara, selama ini kan kontribusi kepada Pemerintah Daerah menurut kita enggak masuk akal. Masa iya Rp200 juta setahun. Sementara neraca kasih ke kita omsetnya Rp30 miliar tahun 2020. Jadi itu yang kita ingin dalami, apa masalahnya omset Rp30 miliar kok keuntungan hanya dapat segitu,” kata dia.
Ali mengatakan DPRD Sumatera Barat mengalami kendala karena Dedi Panigoro sudah dua kali mangkir dan selalu mengutus perwakilan ketika rapat sehingga diduga ada informasi yang ditutup-tutupi.
“Panggilan pertama, dia tidak memberitahu tapi mengutus orang yaitu komisaris sama manajemen. Panggilan kedua kita sampaikan, tidak boleh diwakilkan karena manajemen lain tidak mempunyai kewenangan apa adanya. Berarti dia menutup-nutupi informasi namanya. Dia sebagai direktur harusnya mempunyai kewenangan segalanya memberikan informasi,” ungkapnya.
Ali mengatakan pihaknya akan meminta BPK RI turun tangan melakukan audit investigasi apabila Dedi Panigoro tidak hadir dalam pemanggilan ketiga. Sebab, kata dia, lahan yang digunakan Hotel Novotel merupakan aset Pemerintah Daerah Sumatera Barat.
“Nanti setelah panggilan ketiga baru bikin surat resmi ke BPK. Banyak aset di Sumatera Barat itu dikelola asal-asalan, sehingga tidak mendatangkan keuntungan bagi Pemerintah Daerah sebagai pemilik aset. Kita dalami itu kenapa dulu bisa terjadi? Apakah ada unsur-unsur lain, apakah ada permainan atau kesengajaan atau kelalaian. Itu yang ingin kita dalami,” kata dia.