Jakarta (ANTARA) - Kekayaan alam Sulawesi Utara, sang bumi "Nyiur Melambai", tidak hanya dari hasil laut dan hortikultura yang menjadi salah satu komoditas andalan, tapi juga mineral. Beberapa di antaranya masuk dalam salah satu jenis logam paling populer di dunia, yaitu emas.
Kisah emas di Sulawesi Utara tidak hanya diwarnai oleh usaha pertambangan yang dilakukan oleh korporasi besar, tapi juga aktivitas yang dilakukan masyarakat atau yang dikenal sebagai pertambangan emas skala kecil (PESK).
Adalah dua desa di Kabupaten Minahasa Utara yang menjadi bagian dari beberapa titik banyak lokasi PESK aktif di Sulawesi Utara, yakni Desa Talawaan dan Tatelu. Yang membedakan kedua desa itu dengan aktivitas PESK lain adalah, mereka sedang dalam perjalanan menuju pertambangan emas 100 persen bebas merkuri.
Kedua desa itu memiliki sejarah yang cukup lama bergelut di PESK. Dimulai dari 1996, ketika perusahaan asing yang melakukan eksplorasi di wilayah itu menemukan kandungan emas di tanah sekitar desa.
Charles Christian Umboh adalah salah satu pelaku pertama PESK di Desa Talawaan. Berawal dari menjadi salah satu petugas eksplorasi yang dipekerjakan perusahaan asing.
Setelah perusahaan asing hengkang akibat krisis moneter pada 1998, warga mulai secara besar-besaran melakukan penambangan emas. Hampir seluruh dari mereka masuk dalam kategori pertambangan emas tanpa izin (PETI).
"Pas 1998 mereka (perusahaan asing) meninggalkan area eksplorasi itu dan masuklah penambang liar semua, PETI semua. Tahun 2001, ada ribuan orang (penambang PETI) di Talawaan dan Tetelu," ujar Charles, ketika ditemui ANTARA di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (16/12).
Bagai semut yang mengerumuni gula, penambang liar tidak hanya berasal dari kedua desa itu. Bahkan banyak di antaranya datang dari kabupaten tetangga, seperti Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan.
Berkumpulnya ribuan orang dengan tujuan yang sama membuat konflik menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Korban akhirnya bermunculan, baik dari pihak kedua desa maupun penambang luar.
Beragam konflik, ujar pria berusia 46 tahun itu, akhirnya membuat masyarakat desa bertekad untuk mendapatkan izin resmi sebagai cara menghentikan konflik dan memastikan keamanan warga yang melakukan penambangan.
"Kani ini diberkati Tuhan dengan tambang emas yang ada di desa, baik Talawaan dan Tatelu, tapi kenapa malah bikin merugikan kami, karena ada korban jiwa. Kami kemudian sepakat membikin koperasi saja agar kami bisa urus izin resmi," ujar mantan Hukum Tua, sebutan untuk kepala desa di Minahasa, di Desa Talawaan itu.
Akhirnya, Koperasi Batu Api Talawaan resmi dibentuk pada 2011. Hal serupa juga dilakukan di Desa Tatelu untuk memastikan mereka mendapat legalitas melakukan penambangan di wilayahnya, yang beberapa di antaranya dilakukan di tanah pasini atau tanah adat.
Izin pertambangan rakyat (IPR) kemudian didapat dengan keluarnya keputusan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulut pada 2020 kepada KSU Batu Api Talawaan. Sebelumnya, penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) sudah didapat pada 2011.
Tidak hanya Desa Talawaan, Deicy Corry Lausan sebagai Ketua Koperasi Matuari Mandiri Tatelu, mengatakan perubahan gradual, termasuk proses legalisasi izin pertambangan memberikan dampak positif dalam kehidupan para keluarga yang mencari pendapatan dari PESK.
Mengingat kembali ketika para penambang, yang kala itu masih melakukannya tanpa izin, dia memilih kondisi saat ini ketika IPR sudah berada di depan mata dan para penambang memiliki kesadaran melakukan pengolahan emas tanpa merkuri.
Tidak hanya itu, telah terbentuk Koperasi Matuari Mandiri Tatelu yang sepenuhnya anggotanya terdiri dari para perempuan. Awal terbentuk koperasi itu sendiri dari para ibu-ibu yang merasa prihatin ketika tambang masuk ke Desa Tatelu.
Selain karena efeknya terhadap lingkungan, tapi juga kesenjangan sosial dan bias gender yang tercipta, mengingat sektor PESK masih didominasi oleh laki-laki.
"Tapi juga ada bahaya lain yang menyangkut kesehatan dan bahaya lingkungan lain. Itu yang mendorong kami mendirikan koperasi ini," ujarnya.
Koperasi itu sendiri didirikan pada 2019, terdiri dari para perempuan yang mayoritas memiliki keluarga yang bekerja di PESK.
Keberadaan koperasi memberikan makna baru dalam peran perempuan di dalam PESK, meski kebanyakan dari mereka berperan sebagai pihak pendukung aktivitas pertambangan.
Deicy sendiri pernah beberapa kali masuk ke lubang tambang, untuk memastikan para pekerja yang berada di bawah tanah melakukannya sesuai dengan kesepakatan kerja dan target yang ditetapkan.
Keberadaan koperasi itu diharapkan dapat mendukung IPR mereka, untuk memberikan perubahan dibandingkan ketika masih bekerja sebagai PETI.
"Dulu sering dikejar-kejar keamanan. Sedih sekali memang di awal-awal itu," katanya.
Alih teknologi juga dinikmati oleh koperasi itu. Berkat dukungan dari Proyek Global Opportunities for Long-term Development-Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small-scale Gold Mining (GOLD-ISMIA) pada 2019 sebagai bagian dari upaya penghapusan merkuri, mereka memiliki alat yang dibutuhkan melakukan ekstraksi emas.
Menurut Deicy, yang keluarganya bergantung dari hasil tani, sebelum PESK masuk ke desanya, awalnya banyak pihak yang menyangsikan para perempuan berkumpul untuk mendirikan koperasi mereka sendiri.
Kini dengan dukungan dana hibah GOLD-ISMIA, koperasi itu bisa memiliki penghasilan sendiri yang didapat berkat pengolahan emas tanpa merkuri.
"Dari dana itu koperasi bisa melakukan pengadaan kantor, pelatihan-pelatihan dan regulasinya. Juga kami bisa membangun fasilitas pengolahan emas tidak pakai merkuri," katanya.
Dampaknya, kata Deicy, adalah peningkatan kesejahteraan, tidak hanya untuk anggota koperasi dan keluarga mereka, tapi juga PESK yang dilakukan di sekitar desa.
Legalitas PESK
Pendirian koperasi menjadi salah satu langkah untuk mencapai PESK yang legal dan memenuhi berbagai syarat keamanan, termasuk tidak menggunakan merkuri dalam pengolahan emas.
Hal itu mengingat paparan merkuri secara konsisten kepada manusia dan lingkungan dapat menimbulkan dampak berkepanjangan akibat akumulasi dalam periode yang lama. Salah satu dampak dari paparan merkuri secara terus menerus dapat menyebabkan penyakit Minamata atau sindrom kelainan fungsi saraf.
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) sebagai bentuk implementasi Konvensi Minamata yang diratifikasi pada 2017. Di dalamnya terdapat target menghapus penggunaan merkuri 100 persen di sektor PESK pada 2025.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kemudian bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan United Nations Development Programme (UNDP) mendorong pengurangan dan pemusnahan merkuri dan turunannya, secara khusus di sektor PESK.
Upaya penghapusan merkuri di PESK itu kemudian diwujudkan melalui Proyek GOLD-ISMIA yang bekerja di enam titik dalam durasi 2018-2023.
Titik lokasi aktivitas proyek itu adalah Kabupaten Kulon Progo di D.I. Yogyakarta, Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat, Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Halmahera Selatan di Maluku Selatan, Gorontalo Utara di Gorontalo dan Kuantan Singingi di Riau.
Selama 2019-2022, proyek itu berkontribusi terhadap penurunan 23 ton penggunaan merkuri di PESK di enam lokasi. Sebanyak 13,4 ton atau 58 persen di antaranya merupakan kontribusi Desa Talawaan dan Desa Tatelu.
Berkolaborasi dengan GOLD-ISMIA, Koperasi Batu Api menerima dana hibah yang digunakan untuk memenuhi lima output, yaitu peningkatan kapasitas sekretariat koperasi, pengembangan kapasitas SDM, kelembagaan, kapasitas permodalan dan advokasi.
Dampak penguatan kelembagaan itu membantu koperasi melakukan manajemen organisasi dengan lebih baik dan koperasi memiliki sumber pendapatan rutin dari usaha pengolahan emas tanpa merkuri.
Bahkan kini koperasi di desa itu telah masuk dalam kategori bankable dengan bank daerah memberikan kesempatan bagi koperasi untuk melakukan kredit pembayaran koperasi.
Keberadaan izin legal dan koperasi, memberikan dampak yang positif secara keseluruhan.
"Begitu kami mengantongi izin, pertambangan yang ada di lokasi Talawaaan mereka melakukan pertambangan dengan aman dan nyaman," katanya.
Direktur Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yulia Suryanti mengatakan alih teknologi yang didorong oleh GOLD-ISMIA dilakukan dengan pendekatan teknologi adaptif yang menyesuaikan dengan kondisi lokal di masing-masing titik.
"Kondisi lokal yang dimaksud adalah jenis batuannya maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. GOLD-ISMIA juga memfasilitasi proses formalisasi perizinan dari PESK ini," katanya.
Hal itu menjadi alasan mengapa mereka mendorong pendekatan koperasi, karena sebagian besar dari penambang sebelumnya tidak memiliki badan usaha. Keberadaan koperasi kemudian akan mempermudah pengawasan dan evaluasi dari kegiatan PESK tanpa merkuri yang didorong proyek itu.
Mereka juga mendorong pembelajaran untuk masyarakat dan peningkatan kapasitas penambang untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya merkuri.
Harapannya, meski proyek itu akan berakhir pada 2023, tapi kegiatan PESK tanpa merkuri yang sudah berizin dapat terus dilanjutkan dan dapat menjadi contoh bagi pertambangan lain untuk lingkungan hidup yang lebih sehat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Transformasi dua desa, dulu PETI ke penambangan emas legal dan lestari