Rustam Pakaya Dituntut Lima Tahun Penjara

id Rustam Pakaya Dituntut Lima Tahun Penjara

Jakarta, (ANTARA) - Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan, Rustam Syarifuddin Pakaya, dituntut lima tahun penjara dan membayar uang pengganti RP2,47 miliar karena dianggap melakukan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) 1 tahun anggaran 2007. "Meminta majelis hakim memutuskan agar terdakwa Rustam Syarifuddin Pakaya terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana berupa penjara selama 5 tahun dan membayar uang pengganti Rp2,47 miliar yang harus dibayar selambat-lambatnya 1 bulan dan bila tidak dibayar maka mendapat pidana penjara 3 tahun," kata jaksa penuntut umum Iskandar Marwanto di sidang pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa. Jaksa menganggap Rustam terbukti dalam dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindakan memperkaya diri dan merugikan keuangan negara. "Terdakwa sebagai Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes dan kuasa pengguna anggaran (KPA) merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) telah merugikan keuangan negara Rp22,05 miliar karena ada proses pengadaan Alkes 1 dilakukan dengan penuh rekayasa," ungkap jaksa. Sejumlah tindakan Rustam yang menurut jaksa melawan hukum dimulai saat menjabat sebagai PPK mengetahui dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2007, ada kegiatan pengadaan Alkes senilai Rp109 miliar, salah satunya adalah pengadaan alat medis dan submedis di Pusat Penanggulangan Krisis senilai Rp30 miliar. "Namun terdakwa tidak langsung menetapkan panitia pengadaan tapi malah melakukan revisi hingga 5 kali mengenai nilai pengadaan tersebut sehingga waktu pengajuan anggaran menjadi sempit yang membuat pengadaan tidak efektif dan efisien, bahkan terdakwa membagi dua anggaran Alkes menjadi masing-masing Rp40 miliar agar pengajuan anggaran tidak perlu mendapat persetujuan menteri," ungkap jaksa. Selanjutnya Rustam pada September 2007 bertemu dengan Masrizal selaku Dirut PT Graha Ismaya (GI) yang menyerahkan profil perusahaan katalog alat kesehatan, daftar harga serta spesifikasi alat dan meminta pengadaan Alkes 1 menggunakan produk PT GI. "Padahal hal itu bertentangan dengan aturan karena seharusnya spesifikas teknis tidak boleh mengarah pada merek tertentu," jelas jaksa. Rustam pun meminta ketua tim teknis pengadaan, Yus Rizal, untuk menyusun spesifikasi alat kesehatan dengan uraian yang sama dengan spesfikasi yang tercantum di brosur PT GI tanpa menggunakan sumber data lain. Selanjutnya pada 8 Oktober 2007 meminta Ketua Panitia pengadaan, Rochman Arif, untuk segera melaksanakan proses lelang dengan menyiapkan harga perkiraan sendiri tanpa melakukan survei pasar yaitu Rp39,89 miliar dengan pagu Rp40 miliar. "Terdakwa memberikan spesifikasi yang sudah ditandatangani dan hanya memberikan pengumuman pengadaan di papan pengumuman Departemen Kesehatan dan Bappenas, sedangkan di media cetak tidak diumumkan secara khusus, meski terdakwa mengatakan sudah membuat pengumuman di koran Media Indonesia, namun pengumuman itu hanya mengenai Alkes untuk pulau-pulau terluar, bukan Alkes 1 dan 2," tambah jaksa. Hal tersebut jelas melawan hukum karena pelelangan umum harus dilakukan secara terbuka di media massa dan papan pengumuman resmi. "Ketua panitia pengadaan Rochman Arif atas permintaan terdakwa juga langsung melaksanakan proses lelang dengan menyiapkan harga perkiraan sendiri tanpa melakukan survei pasar dan hanya menggunakan buku daftar harga perkiraan sendiri sebesar Rp39,89 miliar," tambah jaksa. PT GI juga sudah membeli dulu alkes dari perusahaan Rudolf Medical Jerman padahal belum ada pengumuman lelang Alkes 1, pemenang lelang Alkes 1 yaitu PT Indofarma Global Medika melakukan penawaran harga sebesar Rp38,8 miliar dan terdakwa langsung menandatangani kontrak jual beli. PT Indofarma selanjutnya melakukan perjanjian jual beli alat kesehatan sebanyak 35 jenis dengan PT GI dengan nilai Rp33,51 miliar, bahkan terdakwa tetap menandatangani berita acara penerimaan barang dan uji coba fungsi yang menyatakan bahwa barang tersebut dalam keadaan baik padahal kenyataannya belum lengkap. "Terdakwa tahu bahwa pengadaan tidak dilakukan oleh PT Indofarma tapi PT GI, padahal seharusnya bila diketahui hal tersebut tidak boleh dibayar, ditambah terdakwa tetap menandatangani berita acara penerimaan barang meski barang belum lengkap," jelas jaksa. PT Indofarma punmendapatkan keuntungan sebesar Rp1,76 miliar yang berasal dari selisih pembayaran Depkes sebesar Rp35,27 miliar setelah dikurangi nilai pembayaran PT Indofarma kepada PT GI sebesar Rp33,51 miliar, sedangkan PT GI mendapat keuntungan sebesar Rp15,22 miliar. Artinya, menurut jaksa, unsur memperkaya diri sendiri yaitu mengarahkan spesifikasi teknis, tidak mengumumkan pengadaan lelang, mengesahkan harga spesifikasi sendiri, menandatangani kontrak tidak sebagaimana mestinya sehingga membuat terdakwa, orang lain dan korporasi bertambah kekayaannya terbukti dan merugikan keuangan negara sebesar Rp22,05 miliar. Terdakwa kemudian meminta Masrizal Rp3,5 miliar dalam bentuk Mandiri Travellers Cheque (MTC) sebagai imbalan karena mengarahkan proses pengadaan alat kesehatan, Masrizal memberikan MTC sebesar Rp4,97 miliar kepada Rustam, dari jumlah tersebut uang sebesar Rp2,47 miliar digunakan untuk pelunasan rumah dan sisanya dibagikan ke sejumlah pihak. Pihak yang menerima yaitu mantan Menkes Siti Fadilah Supari (Rp1,27 miliar), Pejabat Penguji Surat Perindah Membayar (SPM) Departemen Kesehatan Els Mangundap (Rp850 miliar), Amir Syarifudiin Ishak (Rp100 juta), Yayasan Orbit yang diwakili oleh Mediana Hutomo dan Gunadi Soekimi (Rp100 juta), Tan Suhartono (Rp150 juta), Tengku Luckman Sinar (Rp25 juta), PT Indofarma Global Medika (Rp1,76 miliar) dan PT Graha Ismaya (Rp15,22 miliar). (*/jno)