Keoptimisan Sang Guru Bangsa

id Guru bangsa, syafii maarif, buya syafii, putri andam dewi

Keoptimisan Sang Guru Bangsa

Penulis-Putri Andam Dewi, M.Pd (Antara/doc.pribadi)

Padang (ANTARA) - Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Buya Ahmad Syafii Maarif ke-86 tahun pada tanggal 31 Mei 2021, MAARIF Institute mengadakan serial diskusi tentang pemikiran dan Sosok Buya Syafii, Sang Guru Bangsa.

Serial diskusi yang dilaksanakan via zoom, pada Senin, 31 Mei 2021, pukul 19.30-selesai dengan tema “Buya Syafii BENTENG MORAL BANGSA: KEISLAMAN KEMANUSIAAN DAN KEINDONESIAAN,” menghadirkan para narasumber Prof. Dr. Romo Frans Magnis Suseno, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. Dr. Najib Burhani, Dr. Haryatmoko, Dr. Desvian Bandarsyah, Herry Johannes sangat bernas dan cerdas menyampaikan pemikiran dan kegelisahan Buya terhadap Indonesia.

Menurut para tokoh tersebut Buya Syafii yang merupakan anak bangsa sekaligus guru bangsa yang akan selalu dibutuhkan pemikiran dan solusi cerdasnya demi kedamaian dan persatuan republik Indonesia ini.

Isi diskusi ini lebih banyak membedah pemikiran Buya Syafii yang tetuang dalam bukunya yang berjudul “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah.” Buku yang diluncurkan saat milad 80 tahun Buya Syafii tahun 2015 silam.

Filosofi garam dan gincu yang dibahas dalam dimensi sosiologis oleh Buya dalam bukunya juga menjadi perhatian oleh para narasumber karena memang begitulah nyatanya sebagian umat islam saat ini lebih terpaku oleh bentuk dengan mengabaikan isi (hal 251).

Kualitas lahir batin tentu sangat menentukan kejayaan dan kemenangan sebuah komunitas, tidak terkecuali komunitas muslim di Indonesia

Penulis mengansumsikan bentuk yang dimaksud Buya adalah simbol-simbol keislaman yang lebih mencolok digaungkan, sedangkan isi dari ajaran islam itu tidak diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Para narasumber sepakat dengan pemikiran Buya bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan, tetapi kita harus mengembangkan sikap tawadhu (rendah hati).

Sikap orang yang merasa paling benar adalah sebuah keangkuhan yang tidak dapat dimaafkan dipandang dari sisi syari’ah. Keangkuhan bukanlah sifat orang yang beriman secara autentik, melainkan mewarisi sifat iblis yang bangga dengan asal-usulnya (hal 206).

Menurut Buya “Kebudayaan sebuah bangsa akan jatuh menjadi “kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau,” jika pasukan pemikirnya tidak cukup tersedia untuk menjawab beraneka tantangan yang datang silih berganti.

Kebudayaan hanyalah mungkin bergerak maju, jika selalu dikawal oleh kekuatan intelektual yang kreatif (hal 210).”

Buya Syafii pun tokoh yang sangat perhatian terhadap peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Musdah Mulia, bahwa Buya Syafii mendudukkan perempuan pada tempat yang benar dan bermartabat sesuai dengan ajaran islam yang dipahami secara adil.

Buya Syafii yang lebih kurang telah berkecimpung 11 tahun terakhir dengan berbagai tokoh lintas agama, lintas kultural, lintas etnis, berkesimpulan bahwa bangsa ini masih bisa diperbaiki.

Stok orang jujur dan tulus yang sepenuh hati mencintai bangsa ini masih cukup banyak tersedia untuk dapat diajak berbicara secara terbuka tentang reka bentuk Indonesia masa depan.

Menyelamatkan bangsa adalah tugas dan kewajiban kolektif semua warga, tanpa terkecuali. Jika kita berbicara tentang Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan, berarti kita telah memasuki ranah yang dalam dan luas.

Siapapun yang hidup di Nusantara ini benar-benar merasakan kenyamanan dan keamanan, karena prinsip keadilan berlaku untuk semua, tidak ada diskriminasi dengan pertimbangan dan alasan apa pun.

Dengan demikian, penulis sedikit berbeda memaknai kegelisahan yang dibicarakan dalam diskusi ini, “Buya Guru Bangsa yang Selalu Gelisah.”

Menurut penulis “kegelisahan” yang dialami Buya sebenarnya adalah keoptimisan Buya terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, asal kita mau mengubah kelakuan buruk dan busuk dan semua egoisme sub-kultural, saya yakin, masa depan bangsa Indoenesia yang cemerlang dan progresif akan kita jelang. Semoga!***