Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menyatakan, kebijakan Kartu Tani perlu dipastikan tersebar ke mereka yang berhak sehingga jangan sampai ada pihak yang mempersulit kepemilikan Kartu Tani oleh petani.
"Jadi harus dipastikan Kartu Tani tersebar ke semua petani yang memiliki kriteria layak dan berhak mendapatkan Kartu Tani," kata Andi Akmal Pasluddin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan agar kehadiran Kartu Tani juga jangan membuat petani menjadi susah, sehingga untuk sementara Kartu Tani juga tidak menjadi persyaratan menerima pupuk subsidi.
Akmal mendorong agar pemerintah pusat bersiap mengalokasikan anggaran yang berkesesuaian untuk kebutuhan petani, apalagi sektor pertanian ini relatif tidak terdampak pandemi.
"Kita tidak boleh main-main soal anggaran sektor pertanian ini. Terutama pemegang kebijakan anggaran negara. Semua sangat bergantung para pengelola uang negara ini," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta menyatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan subsidi pertanian yang dinilai belum terlalu efektif mendongkrak kinerja sektor pertanian nasional.
"Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai kebijakan subsidi pertanian. Berdasarkan penelitian CIPS di 2017 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp52,2 triliun untuk subsidi pertanian. Jumlah ini merupakan 2,5 persen dari total nilai APBN. Sayangnya subsidi dengan nilai fantastis ini juga dinilai tidak efektif oleh petani," kata Felippa Amanta.
Felippa mencontohkan subsidi pupuk, yang dinilai lebih banyak dinikmati oleh petani kaya yang memiliki memiliki lahan antara 0,75 sampai 2 hektare, padahal sasaran utama dari subsidi pertanian adalah para petani miskin.
Ia berpendapat bahwa subsidi yang berlebihan tanpa melihat kondisi pasar justru rawan disalahgunakan karena mengundang penggunaan pupuk berlebihan yang dapat mengakibatkan pencemaran. Selain itu, hal ini juga dinilai membebani anggaran negara.
Menurut dia, fokus yang begitu besar pada subsidi telah mengesampingkan pengeluaran publik yang sangat dibutuhkan yang merupakan pendorong pertumbuhan kritis seperti penciptaan dan adopsi teknologi-teknologi baru, penyuluhan, pemrosesan dan pemasaran.
Akibatnya, kebijakan sisi penawaran yang ditempuh sejauh ini belum menghasilkan peningkatan produktivitas pertanian, diversifikasi dan daya saing yang merupakan pendorong utama ketahanan pangan jangka panjang. (*)