Bersepeda itu bukan sekadar olah raga

id Balap sepeda,Tour de Indonesia,Tour de France

Bersepeda itu bukan sekadar olah raga

Peserta Gowes 2020 Jakarta-Papua tiba di Mataram Nusa Tenggara Barat, 15 November 2020. HO/PB ISSI

Jakarta (ANTARA) - Pandemi virus corona telah menciptakan banyak kebiasaan yang dahulu sudah ada tetapi menjadi luar biasa dan kian massal serta makin populer saat ini. Salah satu yang bisa disebut adalah bersepeda.

Faktanya, dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia, di kota-kota besar seluruh dunia, termasuk Jeddah di Arab Saudi, gairah bersepeda memuncak pada level yang tak pernah terlihat pada masa sebelum pandemi.

Di Indonesia, bersepeda massal yang kadang menempuh rute sejauh yang biasa dilakukan orang saat berkendara mobil atau motor, tak lagi cuma dilakukan pada akhir pekan, melainkan juga setiap hari.

Pantaslah jika World Economic Forum pada Mei 2020 menyebutkan pandemi COVID-19 telah mengubah secara radikal kebiasaan bepergian manusia dalam hitungan pekan, khususnya jalan kaki dan bersepeda.

Sepeda juga kian populer dipakai ke tempat kerja yang menurut World Economic Forum, frekuensinya naik 200 persen karena orang kini menghindari berkerumun dalam angkutan umum.

Yang tak kalah pentingnya adalah kaitan bersepeda dengan kesehatan dan kegembiraan di tengah udara yang mendadak bersih selama pandemi.

Polusi udara di seluruh dunia memang turun drastis yang sebagian terjadi karena udara tak lagi diterobos pesawat dan jalan-jalan tak lagi diinvasi kendaraan yang semuanya menggunakan bahan bakar fosil menyusul keluarnya larangan berkerumun dan lockdown, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB di Indonesia, guna menangkal penyebaran virus corona.

Akibatnya, kota-kota menjadi bersih. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa menyebut polusi udara di kota-kota di Eropa turun 50-70 persen selama pandemi.

Di Indonesia, Jakarta yang dikenal sebagai kota yang polusi udaranya sangat tinggi mendadak membaik kualitas udaranya. September lalu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut polusi udara di ibu kota Indonesia ini turun sampai 50 persen.

Trend itu terjadi di seluruh dunia sampai-sampai penduduk New Delhi di India kini bisa melihat Pegunungan Himalaya dengan jelas dari kejauhan, bagaikan penduduk Jakarta yang bisa menyaksikan jelas Gunung Salak di Bogor sepanjang hari, tak cuma pagi hari.

Udara bersih ini sendiri mendorong manusia menikmati kemewahan suasana di era yang sebelumnya dibalut polusi.

Salah satu cara untuk menikmati udara bersih itu adalah dengan bersepeda.

Luas sekali manfaatnya

Kebiasaan bersepeda juga bisa menjadi ajang menumbuhkan kesadaran untuk lepas dari ketergantungan kepada bahan bakar fosil, apalagi jika dibarengi dengan usaha negara memasifkan angkutan umum bebas polusi seperti kereta api yang umum terjadi di negara-negara maju.

Ketika kebiasaan bersepeda umum di seluruh kota dan desa Indonesia, maka tak mustahil ketergantungan kepada wahana-wahana transportasi berbahan bakar fosil pun berkurang. Jika ini terjadi, berapa juta barel minyak dan berapa triliun rupiah yang bisa dihemat negara.

Lain hal, bersepeda juga bisa mendorong pemerintah pusat dan daerah membangun jalan yang lebih baik, apalagi event-event balap sepeda seperti Tour de Indonesia digelar lebih kerap dari yang saat ini diadakan.

Namun pembahasan bersepeda tidak dimulai dari udara bersih dan event balap sepeda, melainkan dimukadimahi oleh kepentingan membuat tubuh manusia sehat agar produktif berkegiatan.

Sejak kecil, rakyat Indonesia sudah dikenalkan dengan semboyan men sana in corpore sano atau "dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat". Dalam kata lain, kesehatan mental berkaitan dengan kesehatan fisik.

Dan pada zaman ketika orang kian mudah terserang penyakit-penyakit kronis seperti stroke, menjaga badan tetap sehat kian disadari penuh oleh masyarakat.

Rekomendasi ilmiah dan praktis sendiri mensyaratkan bahwa agar bugar dan sehat, manusia perlu aktif secara fisik. Dan bersepeda adalah salah satunya.

Bersepeda bisa membantu manusia menghindari penyakit-penyakit serius seperti obesitas, jantung, kanker, penyakit mental, sampai diabetes.

Sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal Circulation pada 2016 menyimpulkan orang yang rutin bersepeda punya kemungkinan lebih kecil terserang penyakit jantung ketimbang mereka yang tak bersepeda.

Selain, mudah dan murah dilakukan siapa pun serta di mana pun tanpa perlu lapangan khusus, bersepeda juga bisa jauh lebih menyenangkan ketimbang olah raga apa pun.

Manfaatnya pun melampaui kemanfaatan keolahragaannya yang berlainan dengan jenis olah raga mana pun. Alhasil, efek multidimensinya lebih kentara terlihat dan terasakan.

Itu tak cuma berkaitan dengan olah raga dan kesehatan, karena bersepeda juga berkaitan wisata yang kemudian bertaut dengan roda perekonomian.

Bersepeda juga memicu tumbuhnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan bersih dan energi ramah lingkungan.

Lebih jauh lagi, bersepeda bisa merangsang pemerintah pusat dan daerah menyempurnakan fasilitas dan infrastruktur di daerahnya, khususnya jalan raya dan taman-tamannya.

Contoh terbaik untuk menguatkan pandangan itu adalah dampak ajang-ajang balap sepeda kelas dunia seperti Tour de France di Prancis terhadap aspek di luar olah raga itu sendiri.

Demi olah raga prestasi

Tour de France sendiri bukan sekadar ajang pebalap sepeda profesional beradu menorehkan prestasi tertinggi yang manfaatnya bisa mendorong prestasi dalam turnamen-turnamen balap sepeda lainnya, termasuk Olimpiade.

Event ini juga berkaitan dengan kian populernya gaya hidup sehat dan bagaimana Prancis mempromosikan pariwisata yang jelas bertaut langsung dengan pengembangan kota dan daerah serta perekonomiannya, bahkan keunikan dan kebudayaannya.

Ketika manusia seluruh dunia tumplek ke Prancis untuk mengikuti dari dekat Tour de France, maka itu artinya kota-kota dan desa-desa yang menjadi rute Tour de France, dipaksa bersolek demi membuat nyaman dan betah orang seluruh dunia menikmati event balap sepeda paling bergengsi di dunia itu.

Hotel-hotel pun menjamur, pemerintahan kota dan desa berlomba mempermak wilayahnya. Dan pada akhirnya itu turut menduniakan desa dan kota di Prancis sehingga menarik devisa dari luar masuk ke dalam negeri untuk kemudian membantu mensejahterakan penduduk desa dan kota itu.

Skenario sama bisa terjadi pada Tour de Indonesia, Tour de Singkarak, dan sejenisnya, termasuk gerakan-gerakan gowes yang menjamur di seluruh Nusantara, salah satunya Gowes Jakarta-Papua yang digagas PB ISSI.

Event-event bersepeda seperti itu, entah demi prestasi atau sekadar mempromosikan gaya hidup sehat, bisa menjadi ajang promosi daerah, selain juga menjadi media bangsa ini dalam mengenali budaya, keunikan dan geografinya yang bukan mustahil menguatkan kecintaan kepada bangsa sehingga nasionalisme pun tumbuh.

Lain dari itu, tour-tour seperti itu, selain habit bersepeda, bisa menjadi katalis untuk hadirnya pebalap-pebalap profesional yang bisa bertarung di kancah dunia, termasuk Olimpiade.

Salah satu negara yang berhasil dengan formula ini adalah Kolombia.

Beriklim tropis dan bergeografi mirip dengan Indonesia, Kolombia menjadi kawah candradimuka untuk atlet-atlet balap sepeda tangguh yang rutin mengikuti ajang-ajang kelas dunia seperti Tour de France.

Egan Bernal yang malang melintang di Tour de France, Nairo Quintana yang pernah menjuarai Vuelta e Espana dan Giro d'Italia atau Rigoberto Uran si jago road race yang menggondol medali perak Olimpiade 2012, adalah produk tradisi bersepeda di Kolombia.

Indonesia sangat punya modal untuk mengikuti apa yang sudah dijejak Kolombia itu.

Untuk itu, Indonesia sangat pantas memajukan event-event seperti Tour de Banyuwangi Ijen, Tour de Singkarak atau Tour de Indonesia, dan lainnya.

Kalau perlu, semua ajang multievent seperti PON semestinya juga tidak menghilangkan cabang olah raga yang manfaat dan lingkup dampaknya demikian luas ini.

Karena bersepeda itu bukan sekadar olah raga.