Merawat aset sejarah, Dharmasraya menuju destinasi unggulan

id festival pamalayu, dharmasraya, potensi wisata, candi padang roco,padang sawah, sumatera barat, padang

Merawat aset sejarah, Dharmasraya menuju destinasi unggulan

Lokasi kawasan Candi Padang Roco, di Jorong Sungai Lansat, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Luas kompleks Candi Padang Roco yang sudah dipagar mencapai 4.475 meter persegi, terdapat tiga situs. (Antara/Siri Antoni)

Padang (ANTARA) - Aset sejarah peninggalan kerajaan masa lampau merupakan modal bagi suatu daerah. Aset yang sarat nilai peradaban itu menjadi daya dorong daerah untuk berkembang dan maju. Aset yang ada manakala tetap dirawat secara tepat, sangat mungkin mengantarkan daerah menjadi destinasi wisata sejarah andalan di masa mendatang.

Hal itu pulalah yang kini mulai digarap Dharmasraya, sebagai salah satu daerah otonom di Sumatera Barat, yang dibelah aliran sungai Batanghari. Keseriusan dalam merawat atau pelestarian aset sejarah masa kerajaan Dharmasraya tempo dulu dalam bentuk candi makin diperlihatkan. Begitu juga upaya menelusuri dan menyibak alur sejarah pra kolonial Belanda tersebut.

Pintu masuk untuk mengekspor melalui Festival Pamalayu yang telah ditabuh pada 22 Agustus 2019 di museum nasional. Beragam rangkaian kegiatan budaya ditampilkan dalam even itu, termasuk mengilustrasikan Ekspedisi Arung Pamalayu dengan karnaval perahu yang penuh hiasan di aliran sungai Batanghari pada momentum peringatan Hari Kemaritiman.

Aset yang bernilai tinggi itu, punya korelasi dengan Batanghari sebagai jalur perdagangan masa lalu. Namun, belum terungkap dan masih kurang diketahui oleh publik secara luas dewasa ini.

Sementara aset potensial yang titik hamparannya di kawasan pinggiran aliran sungai Batanghari ini, cukup menjanjikan dan harapan baru bagi Dharmasraya menjadi menjadi destinasi pada masa mendatang.

Kini serpihan situs-situs dan tapak-tapak candi yang masih ada terdapat di tiga kawasan, yakni situs candi Padang Roco, Situs Candi Pulau Sawah dan Awang Maombiak. Sedangkan catatan sejarah masa kejayaan tempo dulu juga mulai disibak oleh sejarawan.
Pengunjung terlihat dengan di kawasan Rumah Gadang Raja Pulau Punjung, yang merupakan salah satu kerajaan yang ada di Kabupaten Dharmasaya, Provinsi Sumatera Barat. (Antara/Siri Antoni)
Daerah yang berpendudukan sekitar 240 ribu jiwa itu, juga ada peninggalan kerajaan-kerajaan yang masih memiliki generasi penerus dan sejumlah peninggalan serta rumah gadangnya. Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Padang Laweh dan Kerajaan Koto Besar. Akses cukup lancar karena infrastruktur jalan sudah beraspal.

Tentu bukan suatu mimpi, Dharmasraya ingin menuju tumpuan wisata sejarah dan budaya di wilayah Sumatra. Meskipun sebagai daerah diketahui daerah otonom baru berusia 16 tahun tepat pada 7 Januari 2020, sejak dimekarkan dari Kabupaten Sijunjung.

Pemekaran Kabupaten Dharmasraya berdasar UU No.38 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar atas nama Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004.

Kendati sangat mungkin menjadi destinasi andalan karena modal sudah ada. Apabila pelestarian dilakukan secara maksimal maka dapat menjadi kenyataan dan mendorong daerah itu berkembang dan maju. Hanya menunggu waktu.

Peneliti atau arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Riau dan Kepri Teguh Hidayat pada workshop Heritage Dharmasraya mengatakan, selama puluhan tahun BPCB bekerja sendiri dalam pelestarian peninggalan masa lalu, khususnya konsentrasi terhadap peninggalan sejarah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari.

"Setidaknya lima tahun belakangan difokuskan penggalian kembali Pulau Sawah, karena potensinya kalau dilihat sangat tinggi sekali untuk dikembangkan," ungkapnya.

Menurut dia, kawasan situs Pulau Sawah, Padang Roco dan Awang Maombiek bisa jadi satu kawasan dan dikembangkan menjadi destinasi wisata Dharmasraya. Jadi, bukan tak mungkin Dharmasraya akan menjadi destinasi unggulan dan tumpuan wisata sejarah dan budaya khususnya di Sumatra. Tentu kembali kepada kemauan pemerintah daerah berserta dukungan elemen masyarakat, apakah akan dikembangkan dan kemudian dimanfaatkan untuk berbagai hal.

Sebab, dari sisi ekonomi tentu dengan mengoptimalkan pengembangan sektor pariwisata sejarah ini. Masyarakat juga mesti didorong untuk menangkap peluang itu. Aspek akademik sangat mungkin, karena bila aset sejarah baik dalam bentuk benda maupun non benda dapat menjadi kajian bagi para sejarawan atau ilmuan.

Ia mengatakan, seperti di kawasan Awang Maombiak masih terus dilakukan penggalian karena masih dideteksi masih banyak candi-candi. Kondisinya hanya dalam bentuk tumpukan bata, tapi bagi orang biasa tentu tidak menarik. Namun, bagi kalangan ilmuwan tentulah sesuatu hal menarik kawasan candi tersebut sebagai obyek penelitian.

Sedangakan di sisi sosial budaya juga dapat dikembangkan banyak nilai-nilai dalam peradaban masa lalu itu, sehingga tinggal bagaimana sekarang keinginan bersama.

Menurut dia, sejak beberapa tahun belakang, kepedulian Pemerintah Kabupaten Dharmasraya makin terlihat dan turut terlibat dalam merawat dan pelestarian aset sejarah tersebut. Justru itu, pihaknya berupaya kembali untuk menemukenali peninggalan nenek moyang yang sekian ratusan tahun terlupakan. Kini dilakukan untuk meluruskan sebagai bukti. Disamping itu, bagian dari upaya mata rantai sejarah Sumatera Barat yang hilang.

Kerajaan Dharmasraya itu muncul pertama kali, kata Teguh, dapat dilihat pada peninggalan berupa prasasti Arca Amogaphasa pada 1208 Saka atau pada 1286 Masehi. Prasasti ini sebagai salah satu bukti autentik ditemukan Pamalayu Dharmasraya. Patung Amogaphasa merupakan hadiah dari raja Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya ketika itu.

Jadi, dari sudut arkeologi, kata Teguh, sesuatu yang disebut dengan cagar budaya setelah melalui proses, termasuk di kawasan DAS Batanghari.

"Keinginan kita untuk mengembangkan yang di Dharmasraya, terutama fokus pada peninggalan-peninggalan kepurbakalaan di kawasan DAS Batanghari berupa candi," ujarnya.
Situs Candi Padang Roco, di Jorong Sungai Lansat, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Luas kompleks Candi Padang Roco yang sudah dipagar mencapai 4.475 meter persegi, terdapat tiga situs. (Antara/Siri Antoni)
Tentu bukan sekadar menemukan, lalu dibiarkan dan hancur, hendaknya jangan terjadi seperti itu. Karena yang ditemukan sekarang hanya serpihan-serpihan atau runtuhan-runtuhan. "Kalau bukan kita siapa lagi sekarang. Kita ingin merangkai puncak Pamalayu di Sumatera Barat,"katanya.

Sebab, sejarah kerajaan Dharmasraya kalau dirangkai dalam satu kesatuan sejarah bukan konteks lokal saja tetapi nasional. Maka hal ini sangat potensial untuk dikembangkan dan semoga menjadi kebanggaan bersama nantinya.

Membangun Museum

Selama ini banyak orang mengenal Dharmasraya daerah pemekaran yang kaya potensinya di sektor pertanian dan perkebunan. Ada pula yang beranggapan jauh dari ibukota provinsi (Kota Padang, red). Pandangan itu dulunya memang tak bisa pula disangkal, kenyataan memang demikian. Jalur darat Padang-Dharmasraya bisa ditempuh 5-6 jam dalam kecepatan kendaraan normal. Tapi kalau pakai mobil Patwal atau vorider bisa sekitar 3,5 hingga 4 jam.

Namun, kini dan ke depan akan berbeda persepsi. Dharmasraya sudah dekat jarak transportasi dari ibukota negara (Jakarta, red). Bagitu juga dengan kota-kota besar di Sumatra. Jika ke Jakarta, situasi hanya dalam tempo waktu sekitar 3 jam dari Dharmasraya- Bandara Soetta via Bandara Muaro Bungo, Provinsi Jambi, sudah sampai. Setidaknya hal ini makin membuka jalan Dharmasraya sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya masa depan. Keseriusan dan kemauan politik kepala daerah kian terlihat.
Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan sedang memberi sambutan pada peluncuran Festival Pamalayu di Museum, di Jakarta, Kamis. (Ist)
Bupati Sutan Riska Tuanku Kerajaan menyatakan, sudah menyiapkan grand design pembangunan museum di kawasan situs peninggalan sejarah itu.

"Insyaallah, kita sudah membuat perencanaan untuk bangun museum kerajaan Dharmasraya yang refresentatif, semoga pada 2020 sudah bisa dimulai," kata bupati muda itu.

Jadi, setelah adanya museum nantinya, bisa menjadi tempat untuk peninggalan sejarah baik dalam bentuk benda maupun non benda. Selain itu, replika peninggalan-peninggalan arkeologi jelaslah, termasuk replik Arca Amogaphasa.

"Setelah ada museum sehingga masyarakat Dharmasraya khususnya dan Sumbar secara umum serta pengunjung makin mengenal tentang sejarah peradaban yang sarat dengan nilai-nilai tersebut," ujarnya.

Selain itu, tentu dapat menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung datang ke kawasan candi yang berada di pinggiran aliran Batanghari itu.

Sutan Riska mengatakan, penggalian sejarah Dharmasraya masa lampau melalui even Festival Pamalayu, guna menjadikan penyemangat mendorong daerah bisa lebih maju di masa mendatang. Sebab, ratusan tahun silam nama Dharmasraya sudah ada dalam berbagai catatan sejarah. Memiliki peradaban dan masa kejayaan ketika itu.

Orang nomor satu di daerah yang memakai motto "Tau jo Nan Ampek" itu mengatakan, melalui Festival Pamalayu ingin mengembangkan nilai-nilai persatuan dan persahabatan.

Justru itu, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya terus bersemangat memajukan daerah, dengan membangun infrastruktur ke obyek-obyek sejarah dan jalur penghubung antar pemukiman penduduk. Bersamaan dengan itu, pembangunan kebudayaan dan bidang lainnya di daerah yang heterogen itu.

Ke depan, kata kepala daerah berdarah biru itu, melalui upaya ini tentu Dharmasraya bisa menjadi daerah yang cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah dulu berkembang.

Arkeolog dari BPCB Batusangkar Teguh Hidayat berpandangan, kalau prasasti dapat dipamerkan di museum Dharmasraya tentu akan menjadi daya tarik tersendiri. Semoga terwujud apa yang direncanakan oleh bupati bersama Pemkab dan masyarakat Dharmasraya.

"Kerajaan begitu besar tetapi sekarang belum punya museum yang refresentatif. Kalau ingin dengan bangunan sudah ada, bisa dimanfaatkan yang di Siguntur," kata Teguh.

Namun, apabila sudah direncanakan membangun yang baru dan refresentatif, sangatlah baik dan upaya ini semoga terwujud, tambahnya.

Jadi, bagi pengunjung baik wisatawan maupun pejabat nasional dan provinsi lainnya tak memakan waktu lama bisa sampai ke Dharmasraya. Setelah mendarat di Bandara Muaro Bungo, sekitar 1 jam lebih kurang jalur darat sudah tiba di Dharmasraya. Jika hendak langsung menengok peninggalan sejarah Koto Besar hanya tinggal driver kelokan mobil ke kiri dari Jalinsumteng itu, tak berapa lama akan sampai.
Wali Nagari Koto Besar Eko Noris (kanan) bersama Tuanku Manaro saat memandu rombongan jurnalis ke dalam kawasan hutan adat Rimbo Tolang. Hutan adat sudah dilestarikan secara turun temurun di wilayah Kerajaan Koto Besar, Dharmasraya. (Antara/Siri Antoni)
Banyak peninggalan kerajaannya dalam bentuk benda, termasuk punya hutan adat di dua lokasi (Rimbo Tolang 18 ha, Rimbo Ubau 17 ha) seluas 35 hektare yang dilestarikan sejak ratusan tahun. Banyak ceritanya disana, kayu pun sudah diberi nama oleh ahli dendrologi.

Begitu dilanjutkan perjalanan sekitar satu jam, bisa singgah ke rumah gadang Kerajaan Padang Lawas, masih ada peninggalan dan terjaga saat ini.

Perjalanan dilanjutkan sekitar 1,5 jam sudah sampai ke Kerajaan Siguntur, juga punya banyak peninggalan. Jika pengunjung ingin menyeberang dengan masin tempel ke kawasan situs candi Padang Sawah dan Padang Roco, bisa dari sana.

Namun, bila ingin jalur darat dari Kerajaan Siguntur, melaju ke Kerajaan Pulau Punjung, hanya butuh waktu sekitar 35 menit. Tak jauh dari pusat pemerintahan Dharmasraya. Sedangkan kalau ingin langsung ke kawasan candi, berjarak sekitar 10 kilometer, tapi jalannya sudah mulus yang dapat dilalui semua kendaraan.

Dharmasraya memiliki multi potensi wisata, baik untuk minat khusus, wisata alam dan agrowisata serta banyak kearifan lokal daerah yang berada yang berbatasan dengan Provinsi Riau ini, di antaranya budidaya ikan dengan sistem Lubuk Larangan. Hanya saja, belum menjadi nadi ekonomi dan menunggu pada waktunya. (*)