Presiden Jokowi telepon Kapolri soal kekerasan terhadap mahasiswa saat demonstrasi

id presiden jokowi,demonstrasi mahasiswa

Presiden Jokowi telepon Kapolri soal kekerasan terhadap mahasiswa saat demonstrasi

Presiden Joko Widodo bertemu sejumlah tokoh nasional di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (26/9) (Desca Lidya Natalia)

Jakarta, (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mengaku akan menelepon Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk membahas tindakan kekerasan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi.

"Tadi kami sudah dapat masukan, nanti saya akan telepon langsung kepada Kapolri agar dalam menangani setiap demonstrasi itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak represif, yang terukur tapi kalau sudah anarkis seperti tadi malam ya memang harus tindakan tegas," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Kamis.

Presiden Jokowi menyampaikan hal itu seusai bertemu sejumlah tokoh-tokoh nasional di lokasi yang sama untuk membicarakan persoalan terkini bangsa seperti kebakaran hutan, RUU KUHP, UU KPK dan demonstrasi mahasiswa.

"Tadi bapak Presiden di depan kami sangat menghargai aspirasi yang disampaikan mahasiswa di seluruh Indonesia dalam bentuk unjuk rasa 2-3 hari berturut-turut karena itu adalah hak yang dijamin konstitusi," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang juga hadir dalam pertemuan tersebut.

Mahfud mengaku bahwa dia juga menghargai mahasiswa yang melaksanakan demonstrasi di berbagai kota tersebut.

"Kami juga menghargai mahasiswa karena kami juga ikut demo-demo seperti itu, bahwa ada penumpang dan sebagainya itu bukan jadi arus utama, bahwa ada yang menyelundup ikut masuk tidak bisa dihindari tapi tidak ada pengaruh terhadap aspirasi utama," ungkap Mahfud.

Unjuk rasa besar dimulai pada Senin (23/9), terutama di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta hingga Selasa (24/9). Orasi-orasi mereka menekan DPR yang dinilai tidak mendengarkan aspirasi rakyat.

Sasaran demo mahasiswa di berbagai kota adalah gedung parlemen di daerah masing-masing. Khusus di Jakarta aksi digelar di depan Gedung DPR dengan protes terutama dipicu pengesahan revisi UU KPK dan substansi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pelemahan pemberantasan korupsi serta sejumlah substansi RKUHP yang dinilai mengintervensi wilayah privat disoroti dan selanjutnya adalah RUU Pemasyarakatan yang mempermudah syarat remisi dan pembebasan bersyarat narapidana kejahatan luar biasa, termasuk korupsi dan teroris.

Namun aparat melakukan tindakan kekerasan dan represif dalam menghadapi para demonstran misalnya Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) mengonfirmasi salah satu mahasiswanya menjadi korban saat berdemo di kawasan gedung DPR/MPR.

Mahasiswa angkatan 2016 itu diketahui ditemukan terkapar di kawasan DPR dengan luka kepala yang cukup serius. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat empat jurnalis mengalami luka dan trauma pascaunjuk rasa di kawasan DPR/MPR.

Kericuhan saat demonstrasi pada Selasa (24/9) terjadi saat mahasiswa berusaha masuk ke dalam Gedung DPR namun polisi mulai menembakkan air dari mobil water cannon ke arah mahasiswa untuk menghalau mereka. Keriuhan pun pecah. Mahasiswa melawan. Mereka melempar polisi dengan botol, bambu, dan bebatuan.

Polisi pun menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa. Kerumunan mahasiswa mulai terpencar. Mereka melarikan diri ke sejumlah titik seperti Stasiun Palmerah, lampu merah Slipi, Semanggi, hingga Jakarta Convention Center.

Sejauh ini kepolisian telah menangkap 94 orang dalam demonstrasi di sekitar Gedung DPR/MPR pada Selasa (24/09).

Terbaru, akibat aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa di kantor DPRD Sulawesi Tenggara, salah satu mahasiswa yang menjadi peserta massa aksi meninggal dunia.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, mahasiswa tersebut bernama Randi (21) mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo, asal Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.

Mahasiswa tersebut dibawa ke Rumah Sakit TNI AD dr. Ismoyo pada pukul 16.18 Wita, dan setelah menjalani perawatan kurang lebih lima menit, mahasiswa tersebut meninggal dunia. (*)