Kawa Daun, Kopi Khas Tanah Datar sejak Zaman Belanda

id kawa daun

Kawa Daun, Kopi Khas Tanah Datar sejak Zaman Belanda

Kawa Daun menjadi minuman khas Tanah Datar sejak zaman Belanda. (ANTARA SUMBAR/ Etri Saputra)

Batusangkar (ANTARA) - Minuman kopi kawa daun sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sumatera Barat, terutama warga Tabek Patah, Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar karena di sanalah pusat pembuatan kawa daun itu.

Di sana kawa daun diproses secara tradisional dengan berbagai aneka rasa, proses itu diwariskan secara turun temurun hingga kini sudah menjadi industri kecil-kecilan di daerah itu.

Menariknya penyajian kawa daun bukan dengan menggunakan gelas atau cangkir seperti di kafe, melainkan dengan batok kelapa yang sudah dibersihkan serabutnya. Sementara untuk kedudukannya, batok kelapa itu diletakkan di atas potongan bambu agar tidak goyang.

Biasanya kopi kawa daun paling enak ditemani dengan gorengan. Itu mengapa hampir setiap pondok gorengan di daerah itu menyediakan minuman tradisional tersebut.

Jika dilihat warna dan rasanya, kopi kawa daun lebih menyerupai teh, karena memang kopi itu dibuat dari daun kopi, bukan dari bijinya. Namun mampu memberikan aroma yang berbeda dengan cita rasa yang khas.

Sekarang kopi kawa daun bisa dinikmati dengan aneka rasa, seperti dicampur dengan telor, rasa jahe, rasa lemon, rasa susu, atau hanya dicampur dengan gula. Boleh disesuaikan dengan selera penikmat kopi.

Bagi yang ingin memesan untuk dinikmati di rumah juga bisa, sekarang kopi kawa daun sudah ada dalam bentuk kemasan, kopi kawa daun celup namanya. Bisa dibeli di tempat pengolah kopi itu sendiri di Nagari Tabek Patah, satu packnya hanya dihargai Rp10.000 saja.

Penasaran dengan proses pembuatan kopi itu, saya mendatangi tempat pembuatannya lebih kurang 20 kilometer dari Kota Batusangkar atau sekitar 30 menit perjalanan dengan sepeda motor.

Di sana saya berjumpa dengan Salfanizar salah seorang petani kopi, dan Kamsia seorang pengusaha kopi yang sedang sibuk membungkus daun kopi itu menjadi kemasan, di sebuah pondok berukuran 4x6.

Di dalam pondok itu kami bercerita awal terciptanya minuman kopi kawa daun itu. Sambil berbincang, Salfanizar membalikkan daun kopi yang tengah disangrainya di atas tungku konvensional yang terbuat dari semen.

Di sebelah tungku berukuran besar itu, tampak tungku berukuran kecil tempat memanaskan kawa daun di dalam periuk. Kopi itu menjadi hidangan di tengah pembicaraan kami, dengan sedikit ditambahkan gula luar biasa rasanya yang khas itu.

"Kawa daun adalah minuman warisan sejak kolonial Belanda. Seiring berjalan waktu minuman kawa daun makin dikenal orang hingga menjadi salah satu minuman tradisional favorit di Sumatera Barat," kata Salfanizar.

Proses Pembuatan Kopi Kawa Daun

Salfanizar menceritakan, minuman kopi kawa daun adalah salah satu minuman tradisional yang masih lestari di Kabupaten Tanah Datar, bahkan minuman itu semakin populer semenjak 10 tahun belakangan.

Kata Salfanizar, awal mulanya minuman itu ada diperkirakan pada tahun 1835, waktu kolonial Belanda mulai melakukan penanaman kopi di Indonesia, termasuk Kabupaten Tanah Datar. Waktu itu warga Indonesia yang bekerja sebagai petani tidak boleh menikmati hasil dari susah pahanya sebagai petani kopi.

Semua hasil kopi yang ditanam semuanya dikirim ke negara asal mereka. Namun dengan segala keterbatasan waktu itu membuat otak masyarakat di Tanah Datar membuat tidak mungkin menjadi mungkin.

Masyarakat Tanah Datar mencoba bereksperimen, yakni mengganti biji kopi dengan daun kopi sebagai ganti jerih payah mereka. Minuman itu dikenal hingga kini dengan sebutan kopi kawa daun.

Ia mengatakan untuk pengolahan kopi kawa daun itu sendiri diproses secara tradisional. Berikut beberapa proses pengolahannya hingga menjadi minuman siap saji.

Pertama harus mengumpulkan daun kopi untuk di sangrai. Daun kopi yang akan diproses menjadi minuman tersebut bukan sembarangan daun. Melainkan daun muda yang berkualitas bagus.

Kalau Salfanizar menyebutnya adalah daun tunas air, atau dahan kopi yang baru tumbuh dengan kualitas daun yang bagus tapi tidak lagi berbuah. Itu juga salah satu cara menjaga batang kopi agar buahnya tetap bisa dipetik.

Untuk pengambilannya harus menggunakan pisau atau parang agar tidak merusak pada dahan. Sebab kata dia, setelah tunas air pada batang kopi itu diambil, butuh waktu dua bulan lebih untuk tunas baru bisa tumbuh kembali. Untuk itu perlu perawatan pada pokok kopi.

Kedua, penyangraian atau pengasapan. Setelah daun kopi itu selesai dipetik, akan dibawa ke tungku penyangraian untuk diasapi. Prosesnya tidak jauh beda dengan penyangraian pada umumnya, tetapi jarak bara dengan daun kopi harus tinggi. Berjarak sekitar 90-100 sentimeter.

Jarak itu bertujuan agar daun yang disangrai itu memiliki kualitas terbaik dan juga jika sesekali api tungku itu menyala maka daun tidak akan terbakar. Lamanya penyangraian menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih kurang.

"Untuk penyangraian asapnya tidak boleh terlalu banyak dan api tidak boleh menyala, karena tidak bagus untuk hasil daun," kata Salfanizar.

Sementara kayu yang digunakan untuk menyangrai tidak ditentukan, terkecuali kayu yang memiliki asap terlalu banyak, seumpama kayu pinus.

Terakhir tahap penguraian. Daun kopi yang sudah selesai disangrai itu akan dipisahkan dari dahannya, diurai namanya. Itu tandanya daun kopi sudah bisa dijadikan minuman atau dimasukan kedalam karung untuk dijual ke konsumen.

Salah seorang pengusaha kopi kawa daun di daerah itu, Kamsia mencoba mengolah kawa daun kedalam bentuk kemasan menyerupai teh celup untuk menjangkau pasaran lebih luas lagi.

Daun kopi yang telah disangrai itu dihancurkan dengan menggunakan mesin blender menyerupai serbuk teh dan dimasukkan kedalam kemasan. Satu kemasan itu berisi sebanyak 10 buah kopi celup dengan harga jual Rp10.000 per packnya.

Dihancurkan menggunakan mesin blender karena Kamsia belum memiliki mesin khusus untuk pembuatannya. Sementara untuk mencetak kotak kemasan itu masih menggunakan mesin printer biasa, itu pun bukan miliknya dia.

Kopi Kawa Daun Menjelma Sebagai Ekonomi Kreatif Keluarga

Selain sebagai minuman tradisional, kopi kawa daun telah menjelma menjadi salah satu ekonomi kreatif dalam meningkatkan pendapaan ekonomi keluarga.

Semenjak menggeluti kopi kawa daun pada tahun 2008, Kamsia mengatakan kawa daun telah menambah penghasilan keluarga. Dengan usaha itu mampu menyekolahkan tiga orang anaknya, bahkan satu orang sudah tamat bangku kuliah.

Hasil kawa daun yang ia kelola bersama kelompok tani setempat tersebut telah dikenal orang, terutama warga Tanah Datar. Tidak jarang banyak konsumen datang membeli daun kopi siap disangrai ketempatnya. Satu kilo daun kopi siap disangrai dijual seharga Rp40 ribu.

"Dengan usaha ini saya membantu suami menyekolahkan anak-anak dan kebutuhan keluarga," kata Kamsia.

Ia berharap, usaha yang ia geluti sekarang mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat, seperti bantuan mesin penggiling daun kopi, alat cetak kemasan produk, dan dijadikan produk andalan pemerintah daerah.

Sekarang kopi kawa daun sudah banyak dijual di wilayah Kota Payakumbuh dan Kota Bukittinggi, Padang Panjang, bahkan di Kota Padang. Minuman kopi daun itu sudah dibuat dengan berbagai rasa.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Sumbar Zirma Yusri mengapresiasi inovasi pelaku usaha kawa daun yang bisa meramu produknya dengan berbagai rasa. Bahkan produk itu telah dikemas dalam bungkus yang menarik.

Selama ini, kemasan menjadi salah satu kendala dalam pengembangan UMKM di Sumbar, namun secara berangsur-angsur pelaku usaha mulai memahami pentingnya kemasan.(*)