Bagi yang hendak berwisata religi ke Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat jangan lupa singgah ke Masjid Rao Rao di Kecamatan Sungai Tarab, lebih kurang 115 kilometer dari Kota Padang.
Tepat di sebelah kiri jalan dari arah Batusangkar, masjid kuno yang dibangun dengan material beton berdiri megah dengan berbagai ornamen khas Timur Tengah dan Eropa.
Masjid Rao Rao yang telah berumur lebih dari 100 tahun ini penamaannya sesuai dengan tempat masjid tersebut didirikan, yakni Nagari Rao Rao.
Memasuki pekarangan masjid, seakan membawa setiap pengunjungnya ke masa masjid ini dibangun, yakni awal abad 20.
Berdasarkan data Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar, masjid ini mulai difungsikan pada 1916, sebab arsitektur bangunannya identik dengan gaya Eropa yang dipadukan dengan gaya Timur Tengah.
Terkait dengan keunikan masjid ini, sejarawan Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Dr Sudarman pernah menuangkannya dalam buku berjudul "Arsitektur Masjid di Minangkabau dari Masa ke Masa".
Dalam buku tersebut dia menjelaskan Masjid Rao Rao dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat atas prakarsa dari salah seorang pemuka masyarakat saat itu, yakni Abdurrahman Datuak Maharajo Indo.
Selain itu, ia menyebutkan, seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke pedalaman Minangkabau maka sedikit banyaknya berpengaruh pada bentuk arsitektur bangunan masa itu.
Salah satu bentuk pengaruh tersebut ialah Masjid Rao Rao mulai dibangun dengan menggunakan semen atau beton. Padahal, lazimnya ketika itu masjid kuno Minangkabau dibangun dengan material kayu.
Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa masjid ini memiliki 24 tiang. Semua tiang merupakan sumbangan dari masing-masing penghulu yang ada di daerah tersebut sebagai wujud partisipasi dalam pembangunan masjid.
Terdapat empat tiang utama yang ada di tengah-tengah ruangan masjid. Keempat tiang ini merupakan lambang dari keberadaan empat suku besar di daerah tersebut, yaitu Suku Patapang Kutianyia, Bendang Mandahiliang, Bodi Chaniago, dan Koto Piliang.
Atap masjid ini memiliki bentuk yang unik dibandingkan dengan beberapa masjid lain di Minangkabau. Di puncak atap masjid ini terdapat menara yang di atasnya berada empat atap gonjong.
Sebanyak empat atap gonjong ini menghadap ke segala penjuru mata angin dan keberadaannya merupakan salah satu bentuk pengaruh dari bentuk arsitektur tradisional Minangkabau, yaitu atap gonjong.
Selain itu, BPCB Batusangkar mencatat pada masjid ini setidaknya terdapat tiga langgam rupa bangunan yang kental dengan corak arsitektural dari tiga bangsa, yaitu Melayu atau Minangkabau, Eropa (Italia dan Belanda), dan Timur Tengah (Persia).
Sentuhan Eropa terlihat dari keberadaan tiang-tiang yang berdiri kokoh pada bangunan masjid serta ditambah dengan marmer pada lantai yang memiliki bentuk unik.
Keunikan marmer masjid ini lantaran bahan yang digunakan merupakan produk asli Eropa yang sengaja didatangkan ke Rao Rao Tanah Datar.
Singkat cerita, pada 1916 masjid ini belum memiliki lantai marmer. Hal tersebut terjadi lantaran keterbatasan dana yang sebelumnya sudah digunakan untuk pembangunan masjid.
Guna mengatasi hal tersebut maka berangkatlah beberapa orang pemuka Nagari Rao Rao ke Malaysia guna mencari perantau untuk memberikan sumbangan dana untuk pemasangan marmer.
Setelah didapatkan, maka marmer langsung di pesan ke Italia yang selanjutnya dikirimkan menggunakan kapal. Sebelum sampai di Teluk Bayur Padang, kapal tersebut sempat singgah di Selat Malaka.
Setelah sampai di Teluk Bayur, marmer kemudian dibawa dengan menggunakan kereta api hingga daerah Piladang, kemudian dari Piladang dilanjutkan diangkut dengan menggunakan pedati menuju Nagari Rao Rao.
Pada tiang yang terdapat di luar bangunan, tepatnya pada bagian teras, terdapat pelengkung atau pola lengkung yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lain, sehingga makin memperlihatkan pengaruh Persia terhadap bangunan itu.
Selain itu, ornamen yang terdapat pada dinding, tiang, maupun pagar teras masjid makin menambah kuat nuansa Persia pada bangunan tersebut.
Keunikan lain dari masjid ini adalah hampir seratus persen permukaan mimbarnya dilapisi dengan pecahan keramik atau porselen. Hal tersebut tentu memberikan suatu bentuk yang unik dan menjadi ciri khas tersendiri bagi Masjid Rao Rao
Pecahan kaca yang ditempel pada mimbar tersebut merupakan pecahan kaca dari keramik dan porselen kepunyaan keluarga Haji Mutahhib saat terjadinya gempa pada 1926.
Menyaksikan Masjid Rao Rao seolah melihat masa seabad lalu, ketika masyarakat bergotong royong membangun sebuah sarana beribadah dengan bentuk berbeda dari yang lain.
Keberadaan masjid ini sebagai salah satu bangunan cagar budaya hendaknya terus dijaga kelestariannya sehingga dapat disaksikan oleh generasi penerus untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun yang akan datang.
Melihat tampilan Masjid Rao Rao, akan membuat siapa saja yang mengunjunginya yakin bahwa nenek moyang orang Minangkabau memiliki selera yang tinggi terhadap rancangan sebuah bangunan.
Hal tersebut terlihat dari megahnya bangunan masjid yang berbeda dengan bangunan lain semasa dengannya. (*)