Setara: Pertahankan Setya Novanto Persekongkolan Pragmatis Golkar-DPR

id Ismail Hasani

Setara: Pertahankan Setya Novanto Persekongkolan Pragmatis Golkar-DPR

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani. (cc)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan keputusan Partai Golkar dan kesepakatan pimpinan DPR untuk mempertahankan Setya Novanto sebagai Ketua DPR merupakan persekongkolan pragmatis yang ditujukan untuk menutup kemungkinan pergantian pimpinan DPR.

"Padahal, penetapan tersangka Setya Novanto oleh KPK dipastikan akan mengganggu kinerja dan citra politik DPR," kata Ismail melalui pesan tertulis di Jakarta, Kamis.

Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan ketua DPR dan ketua pimpinan lembaga-lembaga negara lain merupakan simbol dan variabel kunci kualitas kinerja institusi negara. Karena itu, standar etik bagi pimpinan harus lebih tinggi dari anggota.

"Partai Golkar dan pimpinan DPR tidak cukup hanya menjadikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa penetapan tersangka tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian pimpinan. Standar etik yang luhur juga harus jadi pertimbangan," tuturnya.

Ismail mengatakan pimpinan dan anggota DPR adalah perwakilan politik rakyat. Karena itu, aspirasi rakyat juga harus menjadi variabel pertimbangan dalam memutuskan status Setya Novanto.

Sebelumnya, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (*)