Ketua KIP: Benahi Sistem Informasi Terkait Gafatar
Jakarta, (AntaraSumbar) - Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid Dipopramono mengharapkan agar pemerintah segera membenahi sistem informasi dan data keagamaan sehingga kasus-kasus seperti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tidak terjadi.
Menurut dia di Jakarta, Jumat, kasus Gafatar menunjukkan sistem informasi dan data tentang keagamaan di Indonesia sangat buruk mengingat Gafatar telah dilarang oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2012.
"Ketika kasus meletup, para pemangku kepentingan kebingungan dan kurang sinkron dalam menanganinya. Inisiatif membongkar gerakan tersebut justru muncul dari masyarakat dan media," katanya.
Jika sistem informasi dan data sudah terbangun baik, mestinya kasus banyaknya orang hilang dan pembakaran permukiman mereka di Kalimantan Barat tidak akan terjadi.
"Dan jika sistem informasi dan datanya baik, tidak akan ada kebingungan pemerintah dalam menangani pasca-pengusiran mereka dari Kalimantan Barat," katanya.
Bahkan jika sistem informasi dan data terkelola baik, kejadian-kejadian tersebut bisa dicegah sebelumnya.
Para pemangku kepentingan seperti pemerintah lewat Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan BIN, Pemda, Majelis Ulama Indonesia, ormas seperti NU dan Muhammadiyah, dan lainnya, seharusnya memilki informasi dan data tentang gerakan Gafatar secara baik karena Kemendagri pada 2012 sudah melarangnya.
Dalam kasus Gafatar, para pemangku kepentingan tersebut telah kecolongan. "Kenapa persoalan Gafatar baru ditangani setelah kasusnya meledak? Itupun informasi awal diinisiasi oleh masyarakat yang mengekspose lewat media sosial," katanya.
Ia menambahkan, kasus mencuat setelah seorang dokter di Yogyakarta yang kehilangan istri dan anaknya, lalu mencarinya dengan mengunggah foto lewat media sosial.
Setelah pengunggahan di medsos pun yang bergerak justru media massa dan medsos, dan bukannya para pemangku kepentingan secara terkelola. Akibatnya timbul suasana panas lalu terjadi pembakaran permukiman mereka di Kalbar, katanya.
"Seharusnya semenjak organisasi tersebut dilarang tahun 2012, baik Kemendagri, Kemenag, dan BIN sudah memiliki data tentang arah aliran keyakinan mereka, data mantan pengurus dan anggotanya, jenis dan lokasi kegiatan mereka, serta migrasi ke daerah mana," katanya.
Demikian pula bagi Pemda, mereka mestinya memiliki data kependudukan di wilayahnya.
"Dalam kasus di Kalbar, mengapa Pemprov tidak mengetahui ada permukiman baru yang sudah berbulan-bulan di wilayahnya? Sampai kemudian terjadi anarki berupa pembakaran," katanya.
Lembaga seperti MUI juga kurang cepat tanggap. Mestinya MUI memiliki informasi dan data tentang kelompok seperti ini.
"Jangan-jangan ada kelompok lain yang seperti Gafatar yang tak terdata. MUI saat ini sepertinya hanya menjadi juru stempel tentang halal-haram makanan dan sesat atau tidak sesatnya suatu aliran. Mestinya MUI bergerak jauh lebih luas dari itu, yaitu masuk ke kegiatan pencegahan," katanya.
Selain itu, sistem peringatan dini dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah terhadap munculnya kelompok-kelompok keyakinan yang berada di masyarakat juga dirasa kurang. Hal ini akibat tidak membangun sistem informasi yang baik terkait masalah-maslah seperti ini.
"Mereka tidak memiliki informasi dan data yang akurat sehingga tidak bisa bergerak ke arah pencegahan. Akibatnya semuanya kecolongan dengan meletusnya kasus Gafatar," katanya. (*)
Menurut dia di Jakarta, Jumat, kasus Gafatar menunjukkan sistem informasi dan data tentang keagamaan di Indonesia sangat buruk mengingat Gafatar telah dilarang oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2012.
"Ketika kasus meletup, para pemangku kepentingan kebingungan dan kurang sinkron dalam menanganinya. Inisiatif membongkar gerakan tersebut justru muncul dari masyarakat dan media," katanya.
Jika sistem informasi dan data sudah terbangun baik, mestinya kasus banyaknya orang hilang dan pembakaran permukiman mereka di Kalimantan Barat tidak akan terjadi.
"Dan jika sistem informasi dan datanya baik, tidak akan ada kebingungan pemerintah dalam menangani pasca-pengusiran mereka dari Kalimantan Barat," katanya.
Bahkan jika sistem informasi dan data terkelola baik, kejadian-kejadian tersebut bisa dicegah sebelumnya.
Para pemangku kepentingan seperti pemerintah lewat Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan BIN, Pemda, Majelis Ulama Indonesia, ormas seperti NU dan Muhammadiyah, dan lainnya, seharusnya memilki informasi dan data tentang gerakan Gafatar secara baik karena Kemendagri pada 2012 sudah melarangnya.
Dalam kasus Gafatar, para pemangku kepentingan tersebut telah kecolongan. "Kenapa persoalan Gafatar baru ditangani setelah kasusnya meledak? Itupun informasi awal diinisiasi oleh masyarakat yang mengekspose lewat media sosial," katanya.
Ia menambahkan, kasus mencuat setelah seorang dokter di Yogyakarta yang kehilangan istri dan anaknya, lalu mencarinya dengan mengunggah foto lewat media sosial.
Setelah pengunggahan di medsos pun yang bergerak justru media massa dan medsos, dan bukannya para pemangku kepentingan secara terkelola. Akibatnya timbul suasana panas lalu terjadi pembakaran permukiman mereka di Kalbar, katanya.
"Seharusnya semenjak organisasi tersebut dilarang tahun 2012, baik Kemendagri, Kemenag, dan BIN sudah memiliki data tentang arah aliran keyakinan mereka, data mantan pengurus dan anggotanya, jenis dan lokasi kegiatan mereka, serta migrasi ke daerah mana," katanya.
Demikian pula bagi Pemda, mereka mestinya memiliki data kependudukan di wilayahnya.
"Dalam kasus di Kalbar, mengapa Pemprov tidak mengetahui ada permukiman baru yang sudah berbulan-bulan di wilayahnya? Sampai kemudian terjadi anarki berupa pembakaran," katanya.
Lembaga seperti MUI juga kurang cepat tanggap. Mestinya MUI memiliki informasi dan data tentang kelompok seperti ini.
"Jangan-jangan ada kelompok lain yang seperti Gafatar yang tak terdata. MUI saat ini sepertinya hanya menjadi juru stempel tentang halal-haram makanan dan sesat atau tidak sesatnya suatu aliran. Mestinya MUI bergerak jauh lebih luas dari itu, yaitu masuk ke kegiatan pencegahan," katanya.
Selain itu, sistem peringatan dini dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah terhadap munculnya kelompok-kelompok keyakinan yang berada di masyarakat juga dirasa kurang. Hal ini akibat tidak membangun sistem informasi yang baik terkait masalah-maslah seperti ini.
"Mereka tidak memiliki informasi dan data yang akurat sehingga tidak bisa bergerak ke arah pencegahan. Akibatnya semuanya kecolongan dengan meletusnya kasus Gafatar," katanya. (*)