Padang, (ANTARA) - Prestasi Studio Erika Rianti yang produk songketnya meraih penghargaan "Award of Excellence for Handicrafts" dari UNESCO pada 2012 merupakan sesuatu yang patut dibanggakan, kata Ketua Dekranasda Sumatera Barat Nevi Irwan Prayitno. Nyonya Nevi mengemukakan hal itu ketika menerima tim Studio Songket Erika Rianti di Padang, Kamis. Replika motif songket Minangkabau "Saluak Laka" yang telah didesain sekitar 1,5 tahun dengan proses penenunan empat bulan, kata dia, telah mengharumkan nama Sumbar di dunia internasional. Berkat kegigihan dan ketekunan yang tumbuh mandiri tanpa pendamping dalam mendalami dan memproduksi motif-motif songket lama yang tidak diproduksi lagi saat ini, kata Ny. Nevi, studio itu meraih prestasi yang membanggakan. Hal itu semua, menurut dia,tentu menjadi insprirasi yang membuka mata untuk mencintai Ranah Minang sehingga ke depan mesti mendapatkan perhatian dalam pembinaan. Sudah menjadi komitmen pengurus Dekranasda Sumbar untuk terus mengembangkan perhatian terhadap produktivitas kerajinan budaya yang memiliki nilai-nilai filosofis yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. "Jadi, ke depan Dekranasda akan memberikan perhatian untuk keberlangsungan produktivitas Studio Songket Erika Rianti karena merupakan aset daerah," katanya menandaskan. Menurut dia, dalam pembinaan dan pengembangan kerajinan, setidaknya ada tiga hal yang menjadi perhatian, yakni pertama meningkatkan kemudahan produksi kerajinan sehingga dapat bersaing. Kedua, ada nama kerajinan yang mesti mempertahankan nilai-nilai karakter idealismenya. Kemudian ketiga, mempertahankan produksi yang dilakukan dengan tangan karena merupakan bagian dari pelestarian kebudayaan bangsa. Dari tiga macam itu, kata dia, Studio Songket Erika Rianti termasuk dalam produksi yang mesti melestarikan idealisme--ideologis nilai-nilai filosofisnya yang amat dekat dengan kepribadian dan etika budaya masyarakat Sumbar. Dalam kesempatan itu, Nevi menyebutkan songket, sulam, bordir merupakan bagian dari beberapa produktivitas masyarakat yang merupakan warisan dari nenek moyang tak hanya di Minang. Terkait dengan proses pembuatannya cukup lama karena sebanyak 280 baris motif yang harus dibuat, kemudian unik dan punya tingkat kesulitan dalam produksinya, dia mengatakan bahwa nilai jual produksi songket pun hanya dapat terjangkau oleh kalangan menengah ke atas. "Jadi, tidaklah berlebihan nantinya jika Dekranasda Sumbar memberikan perhatian dan terus mendorong agar mempertahankan keberlangsungan produksi industri kerajinan tersebut," ujarnya. Pimpinan Studio Songket Erika Rianti, Nanda Wirawan, mengatakan bahwa keberhasilan mendapat penghargaan dari UNESCO itu tidak terlepas dari dukungan keluarga besar Erika Rianti dan Iswandi, suami tercinta yang sekaligus sebagai desainernya. Saat ini, kata dia, sudah lebih dari 180 kain replika songket-songket kuno, motif ukuran, dan kain kontemporer yang diproduksi dan telah terjual ke Malaysia, Singapura, Jakarta, serta museum songket dalam dan luar negeri. Dalam pewarnaan, kata dia, saat ini telah memakai pewarnaan alam atau tidak lagi memakai perwarnaan berbahan kimia meski ketersediaannya masih terbatas. Begitu pula dengan bahan baku lainnya. Oleh karena itu, dia berharap pemangku kepentingan tidak lagi memasukkan bahan benang sebagai bahan impor mewah dan pengurangan pajak bea cukai agar biaya produksinya relatif murah. (*/sir/jno)
Songket "Saluak Laka" Sumbar Raih Penghargaan UNESCO
