Jakarta, (Antara) - Majelis hakim menolak nota keberatan atau eksepsi mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana yang didakwa menerima hadiah terkait pembahasan APBN Kementerian ESDM.
"Mengadili, menolak keberatan dari penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya. Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara, menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir," kata Ketua Majelis Hakim Artha Theresia di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Kuasa hukum Sutan, Eggi Sudjana sebelumnya menyampaikan sejumlah nota keberatan yang seluruhnya ditolak oleh majelis hakim yang terdiri atas Artha Theresia, Syaiful Arif, Casmaya, Anwar, dan Ugo.
"Keberatan penasihat hukum yang menyatakan KPK tidak mengajukan Anggota Komisi VII lainnya menjadi tersangka atau terkdakwa tidak relevan karena penetapan seseorang menjadi tersangka atau terdakwa merupakan kewenangan penuntut umum," kata hakim Artha.
Selanjutnya, keberatan apakah Sutan sendiri yang mengambil uang atau orang lain merupakan materi perkara itu sendiri yang harus dibuktikan dalam persidangan.
"Keberatan terdakwa ditetapkan sebagai tersangka tanpa dilakukan lebih dulu pemeriksaan dalam penyelidikan karena KPK menetapkan dulu terdakwa sebagai tersangka baru mencari bukti-bukti dan keterangan saksi, selanjutnya KPK tidak memberitahukan dengan jelas apa yang disangkakan karena terdakwa menjadi saksi dalam penyelidikan pemberian THR tapi menjadi terdakwa dalam pemberian hadiah APBN Perubahan 2013 juga bukan materi keberatan seperti Pasal 143 KUHAP tidak beralasan secara hukum dan ditolak," tegas Artha.
Keberatan mengenai penyidik yang menyidik perkara Sutan yaitu Budi Agung Nugroho sudah diberhentikan dari Polri pada 31 Desember 2014 dan Ambarita Damanik juga telah diberhentikan dari Polri pada 30 November 2014, sehingga secara hukum keduanya ilegal, menurut hakim juga ditolak.
"Berdasarkan Pasal 45 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan KPK. Budi Agung Nugroho adalah penyidik KPK berdasarkan keputusan pimpinan pada Januari 2007 dan Ambarita Damanik adalah penyidik KPK berdasarkan keputusan pimpinan 2 April 2005. Segala tindakan hukum Budi A Nugroho dan Ambrita Damanik sejak diangkat KPK dan diberhentikan Kapolri adalah sah karena berdasarkan dan sesuai ketentuan pasal 45 UU 30/2002 tentang KPK termasuk tindakan yang dilakukan terhadap terdakwa yang berdasarkan surat perintah penyidikan 13 Mei 2014 menjadi tersangka. Sehingga keberatan tidak berdasarkan hukum dan ditolak," ungkap hakim Artha.
Keberatan mengenai surat dakwaan tidak mencantumkan unsur-unsur pidana dalam dakwaan juga dinilai tidak memenuhi Pasal 143 KUHAP atau tidak dapat diterima karena unsur-unsur pidana telah termuat dalam uraian dakwaan baik rumusan unsur maupun "locus delicti" (tempat perkara), "tempus delicti" (waktu perkara), dan uraian tindak pidana.
"Penuntut umum sudah menguraikan dakwaan cermat, jelas dan apakah bisa dibuktikan adalah menyangkut materi hukum yang tunduk pada pembuktian sehingga keberatan ditolak," jelas Artha.
Sedangkan, keberatan-keberatan pribadi yang diajukan oleh Sutan seperti diajarkan oleh orang tua untuk jujur bekerja, mengampanyekan antipolitik uang, pernah bekerja sama dengan KPK dan Polri, KPK melanggar HAM terhadap diri dan keluarganya, bertemu dengan mantan Sekjen ESDM Waryono Karno untuk urusan pekerjaan dan bukan menerima uang dan keberatan lainnya juga ditolak.
"Menimbang bahwa majelis berpendapat bukan materi keberatan sebagaimana pasal 142 ayat 2 KUHAP melainkan materi pokok perkara yang harus dibuktikan dalam persidangan sehingga tidak beralasan demi hukum dan ditolak," ungkap anggota majelis hakim Casmaya.
Sehingga, karena semua keberatan ditolak maka pemeriksaan perkara ini harus dilanjutkan.
Atas putusan tersebut, Eggi Sudjana menyatakan banding.
"Kami sepakat banding karena kami melihat majelis yang mulia semua beralasan kewenangan penyidik. Dalam pengertian lebih lanjut putusan 'copy paste' dari KPK. Tidak ada pendapat yang mulia, pertanyaan seriusnya kewenangan kami sebagai advokat apa? Kok tidak dipertimbangkan? Kenapa dari penyidik saja di-'copy paste'? Yang mulia juga khilaf mengenai pasal 39 UU KPK yaitu jelas syarat penyidik dari kepolisian, kemudian PNS, di KUHAP juga demikian, tapi yang mulia lompat ke Pasal 45. Kehilafan ini serius. Prediksi intelektual saya meski klien kami tidak bersalah, tapi tetap akan dinyatakan bersalah, lebih baik tidak usah sinetron sidang, lebih baik langsung putusan saja," kata Eggi.
Menanggapi hal itu, hakim Artha meminta agar Eggi menyampaikan keberatan secara tertulis.
"Keberatan anda akan dicatat dan lebih baik dicatat di memori banding," kata hakim Artha.
"Ditulis atau tidak itu urusan saya, yang mulia menimbang saja." balas Eggi dengan suara tinggi.
Eggi bahkan mengaku ingin mundur sebagai pengacara Sutan.
"Tidak ada larangan bagi kami untuk ngomong, berikan kami kesempatan ngomong. Saya punya dugaan tidak ada yang bisa kita dapat keadilan di sini. Sejago apapun 'lawyer'. Saya keberatan mendampingi anda lagi, kalau Anda setuju, saya mundur," jawab Eggi.
Sutan didakwa menerima uang dari Waryono Karno senilai 140 ribu dolar AS dalam pembahasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2013 Kementerian ESDM.
Ia juga didakwa menerima hadiah-hadiah lain yaitu menerima satu unit mobil Toyota Alphard dari Direktur PT Dara Trasindo Eltra Yan Achmad Suep, uang tunai sejumlah Rp50 juta dari Menteri ESDM 2011-2014 Jero Wacik, uang tunai sejumlah 200 ribu dolar AS dari Kepala SKK Migas Januari-Agustus 2013 Rudi Rubiandini, dan mendapatkan rumah sebagai posko pemenangan dari pengusaha Saleh Abdul Malik. (*)