MK Tolak Gugatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

id MK Tolak Gugatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Jakarta, (Antara) - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menguji UU 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi terkait pengaturan pungutan negara yang bersumber dari PNBP. "Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis. Menurut MK, Pasal 2 ayat (2), ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP serta Pasal 16, Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (3) UU Telekomunikasi tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan penambahan jenis PNBP dan pengaturan tarif atas jenis PNBP, serta pengaturan biaya-biaya pungutan terhadap kewajiban pelayanan universal (USO), pengaturan pungutan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi (BHP telekomunikasi), dan pengaturan pungutan biaya penggunaan frekuensi radio dalam Peraturan Pemerintah merupakan perintah dari UU PNBP dan UUTelekomunikasi. Selain itu, menurut Mahkamah jenis PNBP, serta biaya-biaya pungutan terhadap USO, pungutan BHP telekomunikasi, dan pungutan biaya penggunaan frekuensi radio merupakan pengaturan yang bersifat teknis, sehingga apabila jenis PNBP, serta biaya-biaya pungutan terhadap USO, pungutan BHP telekomunikasi, dan pungutan biaya penggunaan frekuensi radio diatur dalam UU maka tidak sesuai dengan materi muatan UU yang bersifat umum. Menanggapi penolakan gugatannya, Ketua Umum APJII yang juga selaku pemohon, Samuel Abrijani Pangerapan, mengatakan dengan keputusan tersebut tidak berpengaruh terhadap bisnis internet di Indonesia. "Sebenarnya (diterima atau ditolak) tidak berpengaruh, karena yang kami inginkan dari pengujian ini adalah kepastian, karena pengalamannya setiap tahun terjadi perubahan, dari cara penghitungannya, sehingga ini yang ingin kita pastikan dalam berbisnis," kata Samuel. Dia menegaskan APJII akan fokus dalam mengawal UU BNBP yang sudah masuk dalam daftar prolegnas di DPR RI. "Kami akan aktif membahas UU PNBP yang akan dibahas di DPR, nah itu kami akan masukan usulan-usulan, sebab yang diharapkan adalah bukan ingin membatalkan melainkan adanya keadilan dalam perhitungan, penetapan suatu jenis BNBP yang tidak serta merta muncul, melainkan harus lebih dulu ditetapkan dalam UU," katanya. Samuel berharap ke depan tidak ada jenis-jenis tarif baru dan jika ada maka harus seijin DPR dulu. "Nah ini yang akan kami kawal di DPR mengenai revisi BNBP itu sendiri," katanya. APJII menguji berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi karena membebani pemohon berupa pungutan PNBP atas kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation/USO), Biaya Hak Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi. APJII menilai pasal tersebut mengamanatkan ke pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang dapat mengatur lebih lanjut, dimana pemerintah dapat menambah jenis dan boleh mengatur tarifnya. Untuk mengatur ini muncul Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi Dan Informatika dan dirubah PP nomor 76 tentang Perubahan. Dalam peraturan ini, dimana tarif diatur oleh pemerintah. Namun, PP tersebut tidak menyebut secara tegas berapa nominal angka yang harus dibayarkan. APJII menilai nominal angka tarif ini diatur dalam lampiran PP, artinya tidak ada kepastian hukum, di satu sisi tarif diatur dalam UU, tapi dalam satu sisi diatur dalam lampiran, sehingga pemerintah dengan bebas menentukan tarif tanpa campur tangan DPR. Oleh karena itu pemohon meminta MK menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (*/jno)