Etika Politik Menjadi Barang Mahal

id pemimpin#

Etika Politik Menjadi Barang Mahal

M.A Dalmenda (c)

Ketika lewat dekat Gunung Thai, Konfusius melihat seorang wanita sedang menangis terisak-isak di sebuah kuburan. Sang Guru pun membelokkan kendaraannya, mendekati orang itu. Ia menitahkan Tze Lu mencari tahu gerangan apa yang terjadi.

Anda meratap seperti orang tertimpa kemalangan bertubi-tubi kata Tze Lu kepada wanita itu. Memang benar, jawab wanita itu. Suatu ketika ayah suami saya dibunuh oleh seokor harimau di sini. Suami saya juga di bunuh, dan sekarang anak laki-laki saya mati dengan cara yang sama.

Alangkah kejamnya harimau itu. Sang Guru menjadi heran dan bertanya, Lalu mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini? Bukankah sejak dulu anda dapat menetap di daerah lain? Sang wanita pun menjawab, Saya tetap memilih tinggal di sini. Sungguhpun banyak harimau, tapi di daerah ini pemerintahannya tidak menindas, tidak seperti di daerah lain. Sang Guru pun merenung dan akhirnya mengucapkan sebuah petuah. Catatlah dan camkan ini anak-anakku bahwa pemerintah yang menindas memang lebih mengerikan daripada harimau.

Menyitir Mulyanto, S.H., M.Hum dari sepenggal kisah Konfusius di atas dicuplik kembali oleh Bertrand Russel sebagaimana dikutip Dahlan Thaib. Esensi nilai moral dari alkisah tersebut ingin merefleksikan bahwa kekuasaan negara yang menindas jauh lebih berbahaya dan menyeramkan dari kejamnya harimau yang telah melumat tiga nyawa orang kesayangan wanita tersebut.

Adakah yang salah dengan pilihan wanita itu? Ataukah Sang Guru yang bijak itu terkesan tidak arif dalam kasus ini? Semuanya hanya dapat dijawab dengan berkontemplasi.

Gambaran di atas hanya untuk mengantarkan sebuah pemafhuman tentang kekuasaan yang bernergi dahsyat. Secara normatif, kekuasaan itu bersifat netral kalau dapat dikelola secara postif berimplikasi pada kemakmuran suatu

bangsa begitu pula sebaliknya kalau gagal dikendalikan akan menjerumuskan tatanan bangsa dan potensial mengebiri hak-hak konstitusional warganegara.

Salah satu ilmu yang memiliki objek kajian mengenai kekuasaan adalah politik (ilmu politik) disamping Hukum Tata Negara (Kenegaraan). Banyak sarjana yang melihat bahwa kekuasaan sebagai inti dari politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Joyce Mitchell dalam bukunya Political Analisys and Public Policyberpendapat bahwa Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society(politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.

Sementara itu dalam pandangan Harold Laswell dalam buku Who gets what, when and howmenjelaskan bahwa politik itu masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.

Ketika filsafat politik mengisyaratkan, politik tidak hanya berbicara tentang kuasa. Dalam pandangan klasik, politik berbicara tentang kuasa, negara, dan lembaga penyelenggara negara/pemerintahan. Kemudian berkembang menjadi politik memasuki ranah kebijakan publik, hukum, dan manajemen konflik. Atau, relasi, pengaruh, hubungan, evaluasi, bahkan dampak antara penguasa dan yang dikuasai.

Bangsa kita sudah terjebak dengan demokrasi yang selalu dilihat dari kacamata prosedural. Sebab, politik tidak serta merta kuasa prosedural. Tapi juga meliputi mekanisme, etika, hukum, local wisdom (adat lokal), budaya, serta

simbiosis antara pihak penguasa dan pihak yang dikuasai. Simbiosis dalam arti kata kerja sama kedua belah pihak saling menguntungkan untuk kemaslahatan bersama.

Dasar filosofi barat memunculkan teori politik modern trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga bagian (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang dapat saling bekerja sama, mengawasi tanpa saling mengintervensi tugas,

serta wewenang masing-masing pihak.

Ketika ketiga kekuasaan ini pun dianggap tak mampu memenuhi tuntutan rakyat, muncul teori politik baru yang memberi konsep media massa sebagai pilar keempat dari demokrasi.

Politik baik dalam ranah tataran teori dan praktik menempatkan posisi rakyat sebagai tuan bagi penguasa untuk melakukan pengabdian. Demokrasi dengan jelas mengatakan, pemimpin adalah kepanjangan tangan rakyat, pihak yang diberi mandat kekuasaan untuk memimpin kearah yang lebih baik. Merujuk pada politik dalam kacamata agama, khususnya Islam, merupakan salah satu cara dari berbagai macam jalan menuju rida Sang Khalik.

Politik dalam bingkai kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang secara ikhlas diberikan oleh rakyat ke orang-orang terpilih mampu untuk memimpin mereka ke arah lebih baik. Garis bawah dengan tinta merah

adalah orang-orang yang dipilih, bukan yang mengajukan diri untuk dipilih.

Di sinilah perbedaannya filosofi politik Islam dan politik praktis saat ini.Tokoh-tokoh pemimpin besar, karismatik, dan kuat lahir dari proses ini antara lain Nabi Muhammad SAW, Khilafatur Rasyidin; Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, serta segudang tokoh-tokoh dunia Islam yang telah terbukti membuat pamor Islam terang benderang pada masanya. Imbasnya, kualitas dan stabilitas hidup rakyat menjadi lebih baik dan kesejahteraan lambat laun terangkat.

Proses politik Islam dalam memilih pemimpin tidaklah dilihat hanya dari suara terbanyak (kuantitas) seperti dalam filosofi barat dengan demokrasinya. Tetapi lebih mementingkan kualitas dari calon pemimpin yang akan mereka pilih.

Kualitas iman (hablumminallahu), kualitas akhlak (hablumminannasy), tingkat keilmuan, peka akan permasalahan ummat, terpercaya, bertanggung jawab, tidak antikritik, dan sudah pasti tidak terlibat KKN. Sesuatu yang sangat langka apabila kita berkaca pada masa kini yang orientasi menjadi penguasa serta pemimpin hanya karena nafsu berkuasa yang tujuan akhir menambah pundi-pundi kekayaan dan ketenaran.

Pemimpin-pemimpin Islam masa itu hidup dengan kesederhanaan, tidak bergelimang kemewahan, malah justru termasuk orang-orang yang selayaknya mendapat bantuan. Seperti kisah Abu Bakar Siddiq, pemimpin dan penguasa jazirah Arab yang pernah dikritik oleh seorang nenek tua miskin dalam sebuah pertemuan akbar karena

dianggap tidak berlaku adil.

Strata sosial yang jauh berbeda itu tidak membuat Abu Bakar marah, dan menindas nenek miskin tersebut, justru beliau berbalik berterima kasih dan memberi hadiah kepada nenek tersebut karena mengingatkan atas khilaf yang ada. Sungguh luar biasa, di sinilah terlihat bahwa hati nurani dan niat baik mengalahkan nafsu berkuasa.

Etika politik menjadi barang mahal apabila kekuasaan hanya dipenuhi oleh nafsu pertarungan saling menjatuhkan dan menjegal demi sepotong kursi jabatan. Sudah semestinya kita mulai belajar menahan dan meredam nafsu untuk berkuasa apabila hanya berorientasi pada kuasa semata. Sudah saatnya kita melakukan evaluasi dan

reorientasi tujuan politik, khususnya dalam ranah praktis.(Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip Unand)