Songket, Saksi Sebuah Dilema Si Anak Tanun

id Songket, silungkang

Songket, Saksi Sebuah Dilema Si Anak Tanun

Seorang penenun mengerjakan tenunan songket Silungkang di Dusun Lubuak Non Godang, Silungkang, Kota Sawahlunto (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Nyaris senyap. Begitulah gambaran suasana kota tua peninggalan penjajahan Belanda, Sawahlunto, Sumatera Barat, pada Minggu malam (31/8). Tak ada lagi hingar bingar, tak dijumpai lagi kemeriahan sebuah pesta rakyat yang menggema di nusantara melalui awak media dan para fotografer, tiga hari sebelumnya.

Pada hari itu, pengrajin songket atau lebih dikenal dengan istilah anak tanun dalam industri songket di daerah itu, seakan menunjukkan "kemarahan" akibat potensi yang dihasilkan tangan-tangan terampil mereka selama beberapa generasi sebelumnya, tak kunjung mampu menopang kebutuhan hidup para petenun songket itu.

Setelah usainya gegap gempita pagelaran Sawahlunto International Songket Carnival (SISCA) 2015 yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto, tibalah saatnya para penenun songket lokal serta dari berbagai daerah di Indonesia harus kembali ke aktivitas rutin mereka merajut asa melalui helaian benang demi benang, untuk dijadikan mahakarya seni warisan budaya nusantara tersebut untuk diserahkan kepada tuan mereka, para pengusaha songket sekaligus pemilik modal usaha.

Yang terdengar kini hanyalah detak dan dentang dari palanta tanun, sebagai saksi sejarah perjalanan hidup kerajinan khas ras melayu itu sejak berabad-abad silam.

Jika diselami perjalanan panjang sejarah yang mengiringinya, kerajinan songket nusantara merupakan sebuah primadona unggulan yang muncul dari kearifan budaya lokal masyarakat dibeberapa daerah di Indonesia. Sebut saja, Sumatera Barat dengan Songket Silungkang dan Pandai Sikeknya, Kalimantan Barat terkenal dengan Songket Sambas, Lampung dengan Kain Tapis, Palembang, Riau dan lain sebagainya.

Contohnya saja pada zaman penjajahan Belanda, Songket Silungkang tercatat pernah mengisi sejumlah pagelaran pesta rakyat yang menampilkan hasil kerajinan berkualitas tinggi dan dianggap merupakan karya seni luar biasa yang dihasilkan daerah jajahan mereka.

Salah satu bukti yang paling fenomenal adalah keberhasilan dua pengrajin songket asal Silungkang, Ande Bainsyah dan Ande Baiyah, dalam membawa hasil karya mereka untuk dipamerkan di Kota Brussels, Belgia, pada tahun 1910, atas undangan ratu yang memerintah negara tersebut pada masa itu.

Keragaman motif, itulah yang menjadi dasar kuat kerajinan tersebut mampu bertahan dari gempuran modernisasi industri untuk sekian ratus tahun lamanya, sebut saja Sirangkak, Saik Galamai, Buruang Dalam Rimbo, Bintang dan lain sebagainya pada songket silungkang dan pandai sikek Sumatera Barat, motif burung enggang pada songket sambas Kalimantan Barat, motif gajah pada kain tapis Lampung serta ratusan jenis dan ragam motif lainnya yang mungkin saat ini sudah jarang dijumpai pada kerajinan-kerajinan songket tersebut.

Bahkan dari beberapa daerah penghasil songket, produksi para pengrajin sudah mulai menunjukkan eksistensi cukup kuat di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, meskipun produk-produk tersebut digunakan oleh kalangan terbatas dalam kegiatan-kegiatan tertentu saja, dengan menentukan penggunaan motif tersebut sesuai strata dan golongan mereka pada sebuah kelompok sosial dan masyarakat adat.

Akibatnya, memasarkan songket secara luas dalam sebuah pasar terbuka tidaklah semudah yang dibayangkan karena adanya pakem-pakem yang harus dipertahankan serta harga jualnya yang cukup tinggi, berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp5 juta per lembar, menjadikan produk songket rentan mengalami kejenuhan dalam peluang pemasaran.

Kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh panjangnya rentang waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan satu lembar songket, yakni sekitar satu hingga dua bulan lamanya. Sementara upah yang diterima pengrajin, dihitung dalam satuan lembar kain yang dihasilkan yang apabila dikalkulasikan dalam bentuk turunan modal produksi, para pengrajin itu hanya mendapatkan upah sebesar Rp200 ribu hingga Rp350 ribu per lembar yang dihasilkannya.

Dengan kata lain, meskipun dipandang sebagai sebuah mahakarya seni pertekstilan dunia, namun dalam perkembangannya belumlah mampu menjadi penyangga ekonomi pengrajin yang masih terkungkung problema dasar dalam posisi songket sebagai industri, yakni permodalan, kualitas, pasar dan promosi.

Agaknya, problema itulah yang ingin dipecahkan oleh pihak Pemkot Sawahlunto melalui pagelaran pesta rakyat SISCA 2015, yakni mengangkat kembali potensi kerajinan Songket Silungkang sebagai budaya khas masyarakat kota itu ke pentas dunia, seperti yang pernah diraih dimasa lalu, serta memperjuangkan peningkatan pendapatan bagi pengrajin songket silungkang dengan berupaya membuka ruang penetrasi pasar menjadi semakin luas dan berkelas.

Seperti diungkapkan Wali Kota Sawahlunto, Ali Yusuf, pihaknya memperkirakan perputaran uang pada pelaksanaan kegiatan Sawahlunto International Songket Carnival (SISCA) 2015, mencapai besaran angka Rp7 miliar lebih sejak 28-30 Agustus 2015.

"Potensi perputaran tersebut merupakan efek berantai dari kegiatan berupa peningkatan pembelian kain songket, upah jahit serta efek ikutan lainnya selama tiga hari pelaksanaan kegiatan," katanya.

Menurutnya, perkiraan potensi tersebut dipicu oleh desain kegiatan yang melibatkan sebanyak 1.700 peserta dari 250 kelompok, yang akan berpawai dengan menggunakan pakaian berbahan songket dengan ragam jenis kreasi.

Disamping itu, lanjutnya, pengunjung yang berasal dari penduduk lokal kota itu juga menggunakan pakaian berbahan songket dan diperkirakan mencapai 17.000 ribu orang, sebagai bentuk partisipasi mereka secara pribadi dalam memberikan dukungan moril bagi para pengrajin songket.

Upaya tersebut, lanjutnya, disamping bisa dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa dengan menanamkan rasa kecintaan terhadap produksi negeri sendiri, juga akan memberikan kontribusi positif terhadap tumbuh dan berkembangnya ekonomi masyarakat, khususnya para pengrajin songket itu sendiri.

Langkah awal pihak pemerintah kota itu ternyata cukup membuahkan hasil, terbukti dengan dicatatnya kegiatan itu oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pemegang rekor kategori pemakaian songket terbanyak dalam satu kegiatan. Kesemuanya itu, tak lain demi memberikan gairah dan dorongan semangat kepada seluruh pengrajin songket di kota itu untuk terus melahirkan karya terbaiknya di masa-masa yang akan datang.

Terkait upaya promosi kerajinan songket tersebut yang menjadi salah satu primadona industri kecil menengah (IKM) di kota itu, pihak pemerintah kota Sawahunto juga merancang serangkaian kerja sama agar mampu menembus pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) serta beberapa kota besar di Amerika.

Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal IKM Kementerian Perindustrian, Ny.Euis Saedah, menegaskan pihaknya melalui Balai Diklat Industri sudah menyiapkan sejumlah paket-paket pelatihan terkait upaya peningkatan daya saing tersebut, agar para pelaku usaha yang ada bisa memiliki cukup ilmu dalam mengembangkan usahanya.

"Para pelaku usaha jangan cepat berpuas diri dan diminta selalu melakukan inovasi serta pengembangan produk-produk yang dihasilkan, agar ketika usaha mereka dihadapkan pada potensi pasar yang lebih besar, mereka mampu melakukan penetrasi dalam merebut persentase pasar sehingga memiliki nilai tambah bagi usahanya," katanya.

Nada kekhawatiran juga datang dari seorang pemerhati songket asal Swiss, Bernhard Bert, yang menilai penggunaan kain songket sebagai bahan pakaian jadi masih membutuhkan beberapa inovasi baru, tanpa meninggalkan nilai tradisi dan sejarah yang melekat pada kerajinan yang sudah berumur ratusan tahun tersebut.

Menurutnya, pengrajin harus berani keluar dari pakem yang sudah diwariskan secara turun temurun, seperti penggunaan jenis benang, kombinasi motif yang lebih mengutamakan estetika dan selera pasar serta proses penenunan benang menjadi kain. Kebanyakan songket memiliki sifat kain yang keras dan kaku sehingga kurang nyaman dipakai sehari-hari, akibatnya peluang pasar yang tersedia pun menjadi terbatas.

Disamping itu, pemberian motif yang terlalu banyak dan tidak mengindahkan nilai-nilai estetika serta selera pasar, dikhawatirkan akan menghambat perkembangan pemasaran hasil produksi pengrajin, sehingga pekerjaan berbulan-bulan untuk menghasilkan songket yang berkualitas menjadi sia-sia dan tidak memiliki nilai tambah bagi para petenun songket, sebagai ujung tombak produksi.

"Menurut pengamatan saya, hal itu juga dipicu oleh ketidakjelian para pedagang songket yang biasanya juga bertindak sebagai pemodal, untuk melakukan terobosan-terobosan dan lebih memilih menunggu pesanan sesuai selera konsumen dengan jumlah tidak seberapa," katanya.

Ia mengatakan, untuk beberapa jenis songket yang ada, sebagian diantaranya sudah melakukan inovasi-inovasi baru sebagai salah satu strategi dalam meraih persentase pasar, semuanya masih mampu mempertahankan keaslian motif yang dihasilkan walaupun sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Secara tradisi, lanjutnya, motif tersebut harus dipertahankan karena memiliki kekhasan yang tidak dimiliki daerah lain, namun sebagai mahakarya seni pertekstilan yang membutuhkan penetrasi pasar, tentu perlu dipikirkan bagaimana motif tersebut tidak selalu ditampilkan beriringan dalam selembar kain," kata dia.

Sementara itu, salah seorang pelaku usaha kecil menengah jenis songket asal Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, Putri Ayu (24), mengatakan pengrajin didaerahnya sudah melakukan beberapa pengembangan dari jenis songket asal daerah itu.

"Salah satunya adalah menggabungkan kerajinan songket dengan kerajinan sulaman suji Koto Gadang dalam selembar kain, sehingga memunculkan sebuah kreasi baru dengan menggabungkan jenis - jenis motif lama dari dua sumber kerajinan yang berbeda," katanya.

Menurutnya, strategi tersebut cukup jitu dalam upaya meluaskan segmen pasar kerajinan songket karena lebih mampu mengikuti selera konsumen, yang tidak semuanya membeli dengan alasan nilai sejarah dan karya seni. Sebagian besar akan memilih kain yang nyaman dipakai dan memiliki sifat luwes dan bisa digunakan dimana saja, sebagai pakaian resmi mereka.

"Tinggal lagi, bagaimana pihak pemerintah bisa menjamin ketersediaan kebutuhan bahan baku dan modal kerja serta turut mempromosikannya dalam berbagai kesempatan, sehingga permintaan pasar terhadap songket semakin meningkat yang muaranya tentu akan meningkatkan omzet pengrajin dan pedagang," kata dia.

Permodalan, itulah kunci terakhir dari momentum bangkitnya industri songket menuju pentas dunia. Mungkin dengan alasan inilah Ande Bainsyah dan Ande Baiyah dari Silungkang, mau bekerja sama dengan pihak penjajah kolonial Belanda dalam memamerkan hasil karya mereka ke negara lain demi cita-cita luhur untuk mengenalkan bangsa ini sebagai bangsa yang berbudaya dan mampu berkarya.

Meskipun, perjuangan mereka itu belum sepenuhnya berhasil karena sulitnya para pengrajin dalam mendapatkan modal dan jaminan pasar, yang membuat mereka terjebak dalam dilema sebagai buruh pada sistem industri kapitalis, dimana pelakunya memiliki kemampuan untuk memodali serta memasarkan sebuah produk dengan perhitungan biaya produksi murah tetapi bisa menghasilkan keuntungan besar.

Agaknya kondisi inilah yang terbaca oleh Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, AAGN Puspayoga, dalam menyikapi dilema yang membelit para pengrajin songket tersebut ketika berkunjung ke Kota Sawahlunto.

Ia menegaskan kepada pemerintah daerah agar membangun sinergi yang baik dengan seluruh lini yang ada, dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi para pengrajin dan pengusaha kecil melalui pembinaan dan permodalan sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang.

"Jangan biarkan pemodal besar masuk dan menanamkan modalnya pada usaha-usaha kerajinan yang tumbuh dari kearifan lokal dan dikembangkan oleh masyarakat, karena mereka akan tergilas oleh industri-industri besar yang dibangun oleh pihak pemodal besar tersebut demi meraih keuntungan dan nilai tambah bagi produk yang mereka hasilkan tanpa memikirkan akibat yang timbul terhadap pertumbuhan usaha pengrajin yang merupakan kelompok usaha kecil menengah," kata dia. (*)