Walhi: Perdagangan Karbon Adalah Keputusan Terburu-Buru

id Walhi: Perdagangan Karbon Adalah Keputusan Terburu-Buru

Walhi: Perdagangan Karbon Adalah Keputusan Terburu-Buru

WALHI. (ANTARA)

Jakarta, (ANTARA) - Manajer Advokasi Pengelolaan Ruang dan Perubahan Peruntukan Lahan Eksekutif Nasional WALHI Deddy Ratih mengatakan keputusan pemerintah Indonesia untuk membuka pasar karbon seluas-luasnya merupakan keputusan yang terlalu dini. Sebab, ratusan konflik yang terkait dengan hak tenurial dan hak atas tanah belum dapat diselesaikan secara adil, kata Deddy Ratih dalam konferensi pers seputar perkembangan Conference of the Parties (COP) ke-18 di Jakarta, Selasa. "Dengan membuka pasar karbon seluas-luasnya di Indonesia, pemerintah jelas terlalu menyederhanakan berbagai permasalahan struktural mendasar yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan di Indonesia," tambahnya. Belum lagi, kata dia, permasalahan tata kelola kehutanan yang masih sarat dengan nuansa KKN yang sampai saat ini belum dapat ditertibkan. Aktivis Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF-CJ), Teguh Surya mengatakan dalam beberapa presentasi pemerintah Indonesia di Conference of the Parties (COP) ke-18, Doha, sangat jelas bagaimana pemerintah membuka selebar-lebarnya Indonesia sebagai pasar karbon masa depan, melalui apa yang disebut sebagai Skema Karbon Nusantara (SKN) atau skema/pasar perdagangan karbon domestik suka rela. "Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) sebagaimana yang diinginkan negara-negara industri. Skema ini dikembangkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) beberapa waktu yang lalu dan didukung Kementerian Kehutanan," kata dia dalam wawancara teleconference. Sementara itu, Staf Program Kehutanan dalam Perubahan Iklim HUMA Anggalia Putri Permatasari mengatakan pemerintah Indonesia jelas sudah mendahului UNFCCC dalam hal perdagangan karbon dengan memasukkan REDD+ ke dalam SKN dan mendorong link-nya dengan pasar karbon internasional melalui mekanisme offset. "Langkah terjun bebas Indonesia dalam bisnis karbon masa depan juga ditunjukkan dengan menerbitkan izin menjalankan proyek REDD+ seluas 80.000 Ha di Kalimantan Tengah pada 30 November 2012, disela-sela pertemuan COP 18. Proyek tersebut akan mengikuti skema Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community dan Biodiversity Alliance (CCBA) dan bertujuan untuk memperdagangkan (offsets) kredit karbon yang dihasilkan," kata dia. Menurut dia, Policy Brief Kemenhut (Pustanling) berjudul REDD+ tidak identik dengan Carbon Trading menyatakan bahwa sampai saat ini fase implementasi penuh masih dalam proses negosiasi, termasuk mekanisme pasar dan non-pasar, dan mekanisme pasar yang sedang dinegosiasikan. Hal tersebut tidak serta-merta merupakan carbon trading seperti halnya Clean Development Mechanism (CDM) di bawah Kyoto Protocol yang berbasis project. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebijakan yang diambil pemerintah di Doha saat ini, yang notabene menunjukkan inkonsistensi dan kesimpangsiuran posisi pemerintah mengenai perdagangan karbon. Skema Karbon Nusantara, kata dia, menargetkan hutan kemasyarakatan sebagai penjual karbon yang artinya pasar karbon akan sampai ke kampung-kampung. Sebagai kerangka regulasi awal untuk perdagangan karbon, Kemenhut telah menerbitkan Permenhut No. 20/2012 April lalu yang mengatur penyelenggaraan karbon hutan, termasuk REDD+ yang semula adalah proyek CDM (Aforestasi dan Reforestasi). "Mekanisme Pasar Karbon yang detail akan diterbitkan dalam peraturan tersendiri. Ini berarti pemerintah telah membentangkan karpet merah regulasi dan mekanisme untuk perdagangan karbon hutan. Saat ini bersifat suka rela, tapi dibayangkan di masa depan akan menjadi sebagai pemenuhan persyaratan (compliant)," ujar dia. Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-18 atau yang juga dikenal dengan COP18/CMP8 UNFCCC and Kyoto Protocol digelar Doha, Qatar, sejak 26 November 2012 hingga 7 Desember 2012 nanti. Pertemuan yang dihadiri sekitar 200 perwakilan negara di seluruh dunia itu menjadi penting penting untuk mencari solusi perubahan iklim global. (*/jno)