Kota Padang (ANTARA) - Fajar mulai menyingsing, pertanda aktivitas nelayan di Nagari (Desa) Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), dimulai. Berbekal jala, senter, kantong plastik dan sebotol air minum, para nelayan menerobos semak belukar dengan pencahayaan yang masih minim.
Hendri, salah seorang nelayan ikan bilih (Mystacoleucus Padangensis) di Nagari Sumpur bercerita bahwa aktivitas itu sudah ia tekuni sejak lama. Bahkan, menjadi nelayan ikan endemik di nagari itu telah diwarisi secara turun temurun.
Tak ada yang tahu pasti kapan pertama kalinya masyarakat di salingka (sekeliling) Danau Singkarak, mulai berprofesi sebagai nelayan. Sebagian warga meyakini bahwa menangkap ikan bilih sudah dilakukan sejak danau tektonik itu ada.
Ikan endemik berukuran sekitar 6-12 sentimeter ini hanya bisa ditemui di Danau Singkarak. Dulu, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri, ikan ini memang pernah dikembangbiakkan di Danau Toba, Sumatera Utara. Meskipun ukurannya jauh lebih besar dari spesies yang ada di Danau Singkarak, namun dagingnya tidak segurih ikan bilih di Ranah Minang.
Hendri mengatakan sejak beberapa tahun terakhir, nelayan setempat sangat kesulitan mendapatkan ikan bilih. Banyak faktor yang menyebabkannya, mulai dari penangkapan yang berlebihan, penggunaan setrum, racun, bagan, hingga bom ikan sebagai aktivitas yang kerap terlihat di Danau Singkarak.
Berbeda halnya dengan nelayan di Nagari Sumpur, praktik baik dan ramah lingkungan hingga kini masih dipertahankan agar satwa yang masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) kategori rentan (vulnerable) itu dapat tetap dilestarikan.

Beberapa poin penting tertera dalam peraturan nagari itu, di antaranya melarang siapa saja menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan serta mengancam ekosistem ikan bilih. Alat yang dimaksud ialah berupa bagan apung, setrum, racun, hingga bom. Bahkan, dalam aturan itu masyarakat setempat bersepakat tidak akan menangkap ikan di sekitar titik pertemuan antara muara sungai dan Danau Singkarak. Sebab, titik itu merupakan tempat utama ikan bilih berkembang biak.
Oleh karena itu, para nelayan sudah membuat kesepakatan bahwa penangkapan ikan bilih hanya boleh dilakukan di sepanjang sungai yang bermuara ke danau. Kemudian, nelayan juga melarang siapapun untuk menangkap ikan bilih di sejumlah kawasan konservasi alami agar populasi ikan tetap terjaga.
Pembuatan konservasi alami ini merupakan hasil kerja sama antara nelayan, perangkat Nagari Sumpur dengan PT Semen Padang yang dilakukan sejak 2018. Program ditujukan untuk memastikan populasi bilih tetap terjaga di tengah ancaman punahnya satwa endemik tersebut.
"Jadi, nelayan di sini menerapkan kearifan lokal dalam menjaga kesinambungan ikan bilih agar tidak punah," ujarnya.
Selain mengatur lokasi yang boleh dan terlarang untuk penangkapan ikan, nelayan setempat juga mengatur jadwal, termasuk posisi setiap nelayan, ketika ingin menjala ikan bilih. Misalnya, nelayan yang menjala pada dini hari bisa menangkap ikan hingga terbit fajar.
Sementara itu, nelayan yang menangkap ikan pada siang hari akan mencoba peruntungannya hingga menjelang Matahari tenggelam. Setelah itu, giliran nelayan yang masuk setelah azan Magrib untuk menangkap ikan hingga pagi hari.
Pendekatan musyawarah dan kearifan lokal, sebagaimana yang dilakukan nelayan ikan bilih di Nagari Sumpur, selayaknya menjadi contoh bagi nelayan di nagari-nagari lain salingka Danau Singkarak. Selain ramah lingkungan dan menjaga kesinambungan ikan endemik, metode ini juga mempererat hubungan sesama nelayan.
Dalam menjaga populasi ikan bilih di Danau Singkarak, Pemerintah Provinsi Sumbar, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, melakukan berbagai upaya dan tindakan, mulai dari pemberian bantuan berupa perahu serta alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan kepada para nelayan, hingga pengawasan dan penindakan terhadap oknum yang melakukan tindakan menyimpang.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumbar Reti Wafda mengatakan terkait penindakan yang dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021. Penertiban yang dilakukan, di antaranya penyitaan 30 jaring kelambu dan jaring lima per empat pada 2023 serta 14 unit jaring serupa pada 2024.
"Jadi total jaring apung yang tidak sesuai aturan yang sudah disita dalam tiga tahun terakhir sebanyak 47 unit," sebut Reti.
Lebih rinci, berdasarkan data persentase pada saat razia terakhir, tepatnya Desember 2024, diketahui dari total 394 bagan yang disepakati di sekeliling Danau Singkarak, hanya 57,86 persen atau sebanyak 228 unit yang sesuai aturan, dengan menggunakan jaring tiga per empat.
Sisanya ditemukan penggunaan 1,01 persen atau empat unit jaring lima per delapan, 10 unit atau 2,53 persen jaring kelambu dan jaring kosong atau tanpa jaring sebanyak 10,91 persen atau 43 unit.
Selain pengawasan dan penindakan, Pemerintah Provinsi Sumbar juga membuat kawasan-kawasan konservasi di salingka Danau Singkarak, guna melindungi serta menjaga keseimbangan ekosistem ikan bilih.
Sejak pertama kali dibangun pada 2013, saat ini terdapat delapan kawasan konservasi di salingka danau tersebut. Penetapan titik-titik koordinat kawasan konservasi telah disepakati bersama masyarakat serta perangkat nagari setempat.
Kemudian terdapat pula beberapa konservasi lain yang dibangun pihak swasta dan satu tambahan kawasan oleh PT Semen Padang. Konsep dari konservasi ikan bilih ialah berupa kawasan yang sepenuhnya dilarang adanya aktivitas penangkapan ikan.
Jadi, dengan upaya konservasi itu, ada kawasan yang mana ikan bilih merasa aman, ketika memasukinya, dan tidak boleh ada yang mengganggu.
Terancam punah
Tidak dapat dipungkiri, keberadaan ikan bilih kian terancam. Ancaman kepunahan tersebut turut dikeluarkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO), yakni satu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus pada upaya internasional dalam mengatasi kelaparan dan meningkatkan ketahanan pangan di seluruh dunia.
Kondisi di ambang kepunahan tersebut bukan tanpa sebab. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumbar melihat keberadaan bagan serta alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menjadi salah satu faktor utama penurunan populasi ikan bilih.
Kepala DKP Provinsi Sumbar Reti Wafda mengatakan sebelum adanya bagan dan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, para nelayan menangkap ikan bilih hanya dengan metode berpindah-pindah secara manual menggunakan alat tangkap sederhana atau tradisional.
Penangkapan ikan menggunakan bagan memang mempermudah pekerjaan nelayan. Cara itu bisa menghemat tenaga, dimana nelayan hanya perlu memasang bagan lengkap dengan lampu-lampu. Nantinya, ikan-ikan akan masuk dengan sendirinya ke dalam perangkap. Hanya saja, metode ini justru menyebabkan populasi ikan bilih menurun drastis.
Apalagi, kondisi saat ini menunjukkan jumlah bagan di Danau Singkarak telah melebihi kesepakatan antara pemerintah dan para nelayan di daerah itu. Sebelumnya, pemerintah bersama pihak terkait, terutama nelayan, bersepakat jumlah maksimal bagan hanya sebanyak 394. Faktanya, kini jumlah itu sudah mencapai lebih dari 420.
Rata-rata, setiap bagan bisa menangkap sekitar tujuh kilogram ikan bilih per harinya. Artinya, jika dikalkulasikan dengan total kesepakatan awal, yakni 394 unit, dengan efektivitas 20 hari kerja dalam sebulan, maka hasil tangkapan berkisar 55.160 ton per bulannya.
Kalau dikalikan 12 bulan, maka per tahunnya ada sekitar 661 ton ikan bilih ditangkap menggunakan bagan.
Padahal, perhitungan dari pakar atau tim ahli hanya memperbolehkan penangkapan maksimal dalam satu tahun sekitar 235 ton jika ingin keberadaan ikan bilih terus lestari.
Dengan menggunakan bagan yang disepakati saja, hasil tangkapan sudah tiga kali lipat dari yang seharusnya. Apalagi sekarang sudah ada 420 bagan lebih.
Jumlah tersebut tentunya belum termasuk hasil tangkapan nelayan yang sekadar menggunakan alat tangkap tradisional, sehingga bisa dibayangkan bagaimana kondisi menyusutnya populasi ikan bilih sejak penggunaan bagan.
Pemerintah Provinsi Sumbar telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penggunaan Alat dan Bahan Penangkapan Ikan di Perairan Danau Singkarak. Dalam aturan itu tercantum bahwa keramba jaring apung atau bagan sama sekali tidak boleh digunakan.
Hanya saja, aturan tersebut justru berbenturan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Zona Penangkapan Ikan Terukur, dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Salah satu poinnya ialah membolehkan penggunaan bagan.
Pengajuan revisi dari Pemerintah Provinsi Sumbar pada dasarnya sudah dilakukan dua kali, yakni akhir 2023 dan pada 2024. Pada 2024, KKP bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melakukan analisa kajian terkait kondisi ikan bilih. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa ikan endemik ini terancam punah dan harus dilakukan upaya perbaikan ekosistem.
Pemprov Sumbar sudah menunjukkan Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2023 ke KKP, dan memohon agar Permen KP itu direvisi.
Revisi yang dimaksud, yakni adanya ketentuan yang mengikat bahwa peraturan tersebut tidak berlaku untuk ikan-ikan endemik yang statusnya sudah menuju kepunahan. Hal ini ditujukan agar ikan bilih bisa terus dilestarikan dan menghindarinya dari ancaman kepunahan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Konservasi berbasis nagari demi menyelamatkan bilih dari kepunahan
