Dialog Budaya WTBOS Ketua KAN Bukik Suruangan sebut Padang Panjang nama sawah
Padang Panjang (ANTARA) - Kota Padang Panjang dulunya adalah nama sawah yang membentang dari paling ujung Bintuangan sampai batas ke stasiun Padang Panjang, dimiliki oleh 12 kaum, itu yang dinamakan sawah Padang Panjang.
Hal itu diungkapkan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Bukik Suruangan Faiz Fauzan El Muhammadi Dt Bagindo Marajo, pada dialog kebudayaan Galanggang Arang merawat warisan dunia Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) di stasiun Padang Panjang, Selasa sore (06/08).
Ia mengatakan, dilihat dari peta Padang Panjang yang diselesaikan pada tahun 1892 dari dokumen arsip Negara, rel kereta dan dan stasiun Padang Panjang sudah ada.
“Menurut catatan nagari Bukik Suruangan, catatan pada tahun 1889 pembicaraan mengenai pengadaan rel kereta api menuju Padang dan bagaimana pembangunan stasiun kereta api ini di Padang Panjang. Ada sekitar 6 orang niniak mamak di nagari yang lahannya dipakai untuk pembangunan rel kereta api ini,” kata Faiz Fauzan El Muhammadi Dt Bagindo Marajo.
Ia menjelaskan, saat itu disampaikan pembangunan rel dengan lebar jalan 6 meter ditengah-tengah rel kereta api, tapi kemudian dengan adanya rencana untuk membawa batu bara, sehingga disampaikanlah kepada masyarakat pembangunannya di lebarkan lagi 6 sampai 8 meter dari as jalan.
“Sebenarnya pada tahun 1893 kita memiliki sebuah dokumen di nagari (Bukik Suruangan) yang merupakan laporan nagari-nagari penghasil kopi di wilayah Batipuah X Koto, itu laporan Belanda, tentang nagari-nagari penghasil kopi. Pada tahun 1893 itu tergambar untuk membawa hasil kopi dari Sungai Andok, Bukik Tui sampai ke Tambangan, Panyalaian dan Singgalang yang merupakan wilayah-wilayah sentra kopi Batipuah X Koto, kopi inilah yang diangkut menggunakan kereta api pada waktu itu,” jelas dia.
Padang Panjang, saat itu memang menjadi daerah persimpangan, dulu jalan ke Pariaman itu bukan yang dilewati sekarang, tapi melalui Jenjang Saratuih, Kuburan Baliak terus jalan Rusa, terus ke Labuah Tigo Batang sampai keluar ke Kayu Tanam.
“Sehingga Padang Panjang menjadi titik pertemuan dari rantau jo darek ditambah dengan adanya kopi sehingga banyaklah yang berkumpul disini (Padang Panjang),” kata Dt Bagindo Marajo.
Ia menambahkan, dengan adanya rel kereta, memudahkan mobilisasi masyarakat yang datang dari Bukittinggi, Agam dan wilayah lain, sehingga ketika itu stasiun ada disini, dengan mufakat pula niniak mamak di nagari Bukik Suruangan, memindahkan pasar dari pakan Jum’at yang di Bintuangan ke Pasar Usang saat ini.
“Sesudah digunakannya surau Asliyah untuk sholat Jumat, makanya pasar dipindahkan ke bawah dekat dengan masjid Asliyah dan dekat dengan stasiun, sehingga memudahkan bagi masyarakat membawa hasil pertanian ke stasiun. Pada tahapan itulah beberapa tokoh yang aktif di surau Jembatan Besi seperti ayah buya Hamka atau Inyiak Rasul, Zainudin Labay El Yunusi dan buya Abdul Ahmad,” sebut Dt Bagindo Marajo.
Sekitar tahun 1908-1909 buya Abdul Ahmad pindah ke Padang, mendirikan Adabiah dan pada tahun 1916 Zainudil Labay El Yunusi medirikan Diniyah School dengan pindah ke surau Asliyah, saat itu Inyiak Rasul masih di suarau Jembatan Besi yang menjadi cikal bakal berdirinya Thawalib.
“Dengan keberadaan surau Jembatan Besi yang posisinya dekat dengan stasiun sehingga bisa lebih mudah tenar dan dikenal karena posisinya di Pasar Usang dengan dua sentra pendidikan ketika itu surau Jmbatan Besi cikal bakal Thawalib dan surau Asliyah Diniyah School. Pada tahun 1919 muncul pergerakan muda yang awalnya perserikatan anak nagari Bukik Suruangan yang merupakan cikal bakal pergerakan dalam media massa,” jelas dia.
Keberadaan stasiun Padang Panjang, sangat mempengaruhi memobilisasi massyarakat Sumatera ketika itu bahkan sampai ke Malaysia untuk bisa bersekolah ke Padang Panjang.
1926-1927 berdiri kauman Muhammadyah yang pelajarnya saat itu mayoritas dari luar Padang Panjang.
“Dengan kapasitas Diniyah dan Thawalib masih terbatas sehingga para pelajar dan santri tinggal bersama masyarakat ketika itu dan itu sangat mempengaruhi pemikiran, pengetahuan dan pendidikan masyarakat, itulah yang semakin merubah aura dan citra Padang Panjang. Tidak sedikit pelajar yang paginya belajar di Thawalib dan Diniyah, sorenya belajat ke Bukittinggi dan stasiun inilah sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Padang Panjang dan kebesaran pendidikan di Padang Panjang,” menurut Dt Bagindo Marajo.
Dialog budaya WTBOS Galangganag Arang 2024 diikuti berbagai kalangan diantaranya para guru sejarah, komunitas/ organisasi, ketua KAN, Bundo Kanduang dan undangan lainnya dengan menghadirkan narasumber dari KAN Bukik Suruangan, Sejarawan Fikrul Hanif Syofyan dan lain-lain.
Hal itu diungkapkan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Bukik Suruangan Faiz Fauzan El Muhammadi Dt Bagindo Marajo, pada dialog kebudayaan Galanggang Arang merawat warisan dunia Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) di stasiun Padang Panjang, Selasa sore (06/08).
Ia mengatakan, dilihat dari peta Padang Panjang yang diselesaikan pada tahun 1892 dari dokumen arsip Negara, rel kereta dan dan stasiun Padang Panjang sudah ada.
“Menurut catatan nagari Bukik Suruangan, catatan pada tahun 1889 pembicaraan mengenai pengadaan rel kereta api menuju Padang dan bagaimana pembangunan stasiun kereta api ini di Padang Panjang. Ada sekitar 6 orang niniak mamak di nagari yang lahannya dipakai untuk pembangunan rel kereta api ini,” kata Faiz Fauzan El Muhammadi Dt Bagindo Marajo.
Ia menjelaskan, saat itu disampaikan pembangunan rel dengan lebar jalan 6 meter ditengah-tengah rel kereta api, tapi kemudian dengan adanya rencana untuk membawa batu bara, sehingga disampaikanlah kepada masyarakat pembangunannya di lebarkan lagi 6 sampai 8 meter dari as jalan.
“Sebenarnya pada tahun 1893 kita memiliki sebuah dokumen di nagari (Bukik Suruangan) yang merupakan laporan nagari-nagari penghasil kopi di wilayah Batipuah X Koto, itu laporan Belanda, tentang nagari-nagari penghasil kopi. Pada tahun 1893 itu tergambar untuk membawa hasil kopi dari Sungai Andok, Bukik Tui sampai ke Tambangan, Panyalaian dan Singgalang yang merupakan wilayah-wilayah sentra kopi Batipuah X Koto, kopi inilah yang diangkut menggunakan kereta api pada waktu itu,” jelas dia.
Padang Panjang, saat itu memang menjadi daerah persimpangan, dulu jalan ke Pariaman itu bukan yang dilewati sekarang, tapi melalui Jenjang Saratuih, Kuburan Baliak terus jalan Rusa, terus ke Labuah Tigo Batang sampai keluar ke Kayu Tanam.
“Sehingga Padang Panjang menjadi titik pertemuan dari rantau jo darek ditambah dengan adanya kopi sehingga banyaklah yang berkumpul disini (Padang Panjang),” kata Dt Bagindo Marajo.
Ia menambahkan, dengan adanya rel kereta, memudahkan mobilisasi masyarakat yang datang dari Bukittinggi, Agam dan wilayah lain, sehingga ketika itu stasiun ada disini, dengan mufakat pula niniak mamak di nagari Bukik Suruangan, memindahkan pasar dari pakan Jum’at yang di Bintuangan ke Pasar Usang saat ini.
“Sesudah digunakannya surau Asliyah untuk sholat Jumat, makanya pasar dipindahkan ke bawah dekat dengan masjid Asliyah dan dekat dengan stasiun, sehingga memudahkan bagi masyarakat membawa hasil pertanian ke stasiun. Pada tahapan itulah beberapa tokoh yang aktif di surau Jembatan Besi seperti ayah buya Hamka atau Inyiak Rasul, Zainudin Labay El Yunusi dan buya Abdul Ahmad,” sebut Dt Bagindo Marajo.
Sekitar tahun 1908-1909 buya Abdul Ahmad pindah ke Padang, mendirikan Adabiah dan pada tahun 1916 Zainudil Labay El Yunusi medirikan Diniyah School dengan pindah ke surau Asliyah, saat itu Inyiak Rasul masih di suarau Jembatan Besi yang menjadi cikal bakal berdirinya Thawalib.
“Dengan keberadaan surau Jembatan Besi yang posisinya dekat dengan stasiun sehingga bisa lebih mudah tenar dan dikenal karena posisinya di Pasar Usang dengan dua sentra pendidikan ketika itu surau Jmbatan Besi cikal bakal Thawalib dan surau Asliyah Diniyah School. Pada tahun 1919 muncul pergerakan muda yang awalnya perserikatan anak nagari Bukik Suruangan yang merupakan cikal bakal pergerakan dalam media massa,” jelas dia.
Keberadaan stasiun Padang Panjang, sangat mempengaruhi memobilisasi massyarakat Sumatera ketika itu bahkan sampai ke Malaysia untuk bisa bersekolah ke Padang Panjang.
1926-1927 berdiri kauman Muhammadyah yang pelajarnya saat itu mayoritas dari luar Padang Panjang.
“Dengan kapasitas Diniyah dan Thawalib masih terbatas sehingga para pelajar dan santri tinggal bersama masyarakat ketika itu dan itu sangat mempengaruhi pemikiran, pengetahuan dan pendidikan masyarakat, itulah yang semakin merubah aura dan citra Padang Panjang. Tidak sedikit pelajar yang paginya belajar di Thawalib dan Diniyah, sorenya belajat ke Bukittinggi dan stasiun inilah sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Padang Panjang dan kebesaran pendidikan di Padang Panjang,” menurut Dt Bagindo Marajo.
Dialog budaya WTBOS Galangganag Arang 2024 diikuti berbagai kalangan diantaranya para guru sejarah, komunitas/ organisasi, ketua KAN, Bundo Kanduang dan undangan lainnya dengan menghadirkan narasumber dari KAN Bukik Suruangan, Sejarawan Fikrul Hanif Syofyan dan lain-lain.