Padang (ANTARA) - Tang... Teng... Tong... Teng... Tang..
Bunyi batu yang dipukul alu, terdengar dari jarak 800 meter. Bunyi itu memecah kesunyian Nagari Padang Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Setiap Jumat sore, para ibu-ibu di nagari itu, berlatih Alu Katentong, permainan musik tradisional yang hanya ada satu-satunya di daerah itu.
Di halaman rumah Gadang, mereka bermain dengan posisi melingkar, masing-masing memegang alu (kayu sepanjang tiga meter), kemudian dipukulkan ke batu pipih yang berada di tengah-tengah. Batu pipih itu disandarkan ke lasuang (batu tempat penumbuk beras).
Kaum ibu bergantian memukul batu dengan alu, sambil menciptakan nada-nada tertentu yang bunyinya bisa terdengar dari kejauhan.
Sekretaris Nagari Padang Laweh, Yulius Meri, menjelaskan, kesenian tersebut berawal dari ibu-ibu yang melakukan penumbukan padi lalu terdengar bunyi akibat pertemuan antara alu dengan lasuang batu, di situ timbul pemikiran dari nenek moyang mereka untuk membuat kesenian yang belum pernah ada untuk perempuan.
"Alu katentong sebagai hasil dari produk budaya dan seni asli yang diciptakan oleh nenek moyang Nagari Padang Laweh, dan tidak akan dijumpai di nagari mana pun di ranah Minang, menjadi sebuah identitas bagi Nagari Padang Laweh itu sendiri," jelas Yulius.
Menurutnya, bila Alu Katentong ini berbunyi, ada tiga hal yang ditanyakan oleh warga, pertama anak siapa yang akan menikah, kedua siapa tamu yang akan datang, dan ketiga siapa yang akan batagak panghulu.
"Jika ada yang baralek (pesta pernikahan), dan tidak menggelar Alu Katentong, malu bagi mereka, masak Alu Katentong saja tidak dimainkan," tambahnya.
Dahulu, Alu Katentong juga dimainkan ketika seorang Niniak Mamak (Pengulu) meninggal, namun kini sudah dihilangkan, karena penempatannya kurang sesuai, sebab dalam keadaan berduka tapi memainkan musik.
Ketua Kesenian Alu Katentong Padang Laweh, Rosmanidar (66) mengatakan, kesenian tersebut biasanya dimainkan dengan jumlah pemain ganji, mulai 5 hingga 13 orang yang semua anggotanya adalah kaum ibu.
"Kami latihan Alu Katentong setiap hari Jumat, seminggu sekali," katanya.
Pemain Alu Katentong, kata Rosmanidar, tidak ada batas usia, selagi mereka kuat mengangkat, serta mempunyai keahlian untuk memukulkan alu maka dibolehkan.
Meskipun berusia tidak muda lagi, namun Rosmanidar tetap kuat memukul alu, karena ia sudah memainkan alat musik itu sejak muda.
Namun kini di Padang Laweh, kata Rosmanidar, anak-anak usia sekolah belum ada yang minat bermain Alu Katentong.
"Usia pemain sekarang mulai umur 25 sampai 70 tahun-an," katanya.
Pemain tertua Alu Katentong, Yuniar (70) mengaku masih kuat bermain karena sehari-hari ia juga bekerja menggarap ladangnya.
Justru dengan bermain Alu Katentong, Yuniar mengaku dirinya tetap bugar, karena tanpa senam dan olahraga tapi bisa mengeluarkan tenaga dengan memukul alu.
Regenerasi Pemain
Alu Katentong merupakan sebuah kesenian yang lahir di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai hiburan, upacara adat serta sebuah media informasi di Nagari Padang Laweh.
Alu katentong dimainkan oleh bundo kanduang atau kaum perempuan yang usianya tidak muda lagi, sehingga terancam tidak ada lagi yang mau memainkan kesenian tersebut jika tidak dilestarikan.
Pemerhati Budaya Minang, Nasrul Azwar mengatakan, harus dilakukan gerakan bersama yang diimplementasikan dalam bentuk program konkret di Nagari Padang Laweh, agar kesenian Alu Katentong tidak punah.
"Bentuk program konkretnya melakukan revitalisasi terhadap tradisi alu katentong yang memang secara turun temurun dimainkan bundo kanduang dalam kegiatan adat di Nagari Padang Laweh," kata Nasrul.
Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan kesenian itu dimodifikasi dan ditransformasikan dalam bentuk kreasi dengan tafsir kekinian.
Alu Katentong nantinya dapat ditampilkan dalam suasana apapun, dengan melibatkan seniman-seniman pertunjukan.
Selain itu, pihak perangkat nagari, Ninik-Mamak, Kerapatan Adat Nagari, Bundo Kanduang, dan generasi muda nagari Padang Laweh menyatukan persepsi untuk tujuan menjaga Alu Katentong.
Nasrul menilai, pemerintah nagari Padang Laweh harus membuat peraturan nagari yang memproteksi, mentransformasikan, dan meletakkan kesenian itu sebagai hal yang wajib hadir dalam kegiatan adat.
"Tidak bisa ditolak-ansua. Pemerintah kabupaten juga harus memberikan ruang lebih luas untuk penampilan alu katentong ini dalam wujud seni pertunjukan kreasi," katanya.
Sekretaris Nagari Padang Laweh, Yulius Meri mengatakan, kini nagari didukung Pemerintah Kabupaten Tanah Datar memiliki program untuk pelatihan Alu Katentong bagi anak-anak muda.
"Kami di Padang Laweh sebenarnya merasa was-was, takut hilangnya kesenian ini, takut tidak digelar lagi. Karena itu sangat perlu dilestarikan," katanya.
Karena itu, program pelatihan menyasar kaum perempuan berusia mulai 20 hingga 45 tahun yang berada di Jorong Padang Laweh dan Jorong Baruah.
Menurut Yulius, anak-anak muda Nagari Padang Laweh sebesar 50 persen menyambut baik niat tersebut, namun sebagian masih terpengaruh perkembangan zaman dan tidak mau berpartisipasi.
"Upaya lain, kita mulai bekerjasama dengan sekolah dasar untuk memperkenalkan Alu Katentong sejak dini," tambahnya.
Alu Katentong adalah sebuah Kesenian yang unik dan dan klasik serta mempunyai trik dan cara yang tergolong rumit dalam memainkannya, maka perlu untuk diajarkan dan dilestarikan agar jangan sampai punah.
Yulius melanjutkan, media atau alat musik yang digunakan dalam kesenian Alu Katentong adalah peralatan yang biasa digunakan untuk penumbuk padi.
Semua media atau alat musik Alu Katentong dari alam, karena kesenian ini memakai filosofi “alam takambang jadi guru”, katanya.
Alat pertama adalah Alu, yakni sejenis kayu yang digunakan untuk menumbuk padi berukuran panjang seperti sebuah galah.
Alu ini dibuat dari kayu pilihan, seperti kayu bayur, surian, padat dan tidak mempunyai serbuk, agar menghasilkan suara yang bagus dan nyaring.
Pada saat pengambilan, kayu tersebut sudah berganti pucuk dan yang sudah mempunyai pucuk keras, karena kayunya sudah kuat dan tahan lama sehingga pada saat dipukulkan pada batu tidak mudah pecah.
Ukuran panjang alu adalah 4 sampai 5 meter dengan diameter 7 sampai 10 sentimeter . Ukuran tersebut ditentukan agar suara yang dihasilkan lebih bagus dan lebih vokal, karena semakin panjang kayu yang digunakan maka semakin bagus suara yang dihasilkan.
Kayu kemudian dijemur, dikikis kulitnya, dan diasapi di atas pagu.
Selain alu, ada lasuang yakni tempat penumbuk padi. Lasuang yang digunakan adalah lasuang batu yang terbuat secara alami yang biasanya dapat ditemui di sungai.
Ukuran lasuang berdiameter 100 sampai 130 sentimeter. Semakin besar ukuran lasuang maka semakin banyak jumlah pemain yang akan tampil.
Saat dimainkan, lasuang ditanam ke tanah sedalam 10 sentimeter dan bagian atas di permukaan lebih kurang 10 sampai 15 sentimeter agar bisa menyandarkan batu pipih.
Lasuang ditanam ke tanah agar kokoh dan suara yang dihasilkan juga akan lebih bagus. Lalu pada lubang lasuang diisi padi sebanyak tiga genggam, yang memiliki makna supaya perempuan yang baru nikah cepat mendapatkan anak serta hidup seperti ilmu padi semakin berisi semakin tunduk.
Alat selanjutnya adalah lantak, yakni sejenis kayu yang diambil dari ranting pohon dan ditancapkan atau ditanam ke tanah untuk menahan sesuatu benda.
Lantak diambil dari ranting pohon yang kuat, biasanya dari ranting pohon kopi atau pohon jambu biji. Lantak berukuran 20 sentimeter dengan diameter 3 sampai 4 sentimeter.
Lantak ditanamkan ke tanah untuk menahan batu pipih agar tidak goyang pada saat di pukul dalam permainan. Untuk satu batu pipih diberi lantak dua buah pada sisi kiri dan kanan, yang mempunyai makna supaya rumah tangga kokoh sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah bagi yang baru berumah tangga.
Terakhir ada batu pipih, yakni batu alam yang mempunyai permukaan datar dan halus, tidak terlalu tipis dan tidak pula terlalu tebal.
Dari kaki Gunung Marapi, batu pipih dipukulkan dengan alu dan menimbulkan bunyi ke penjuru nagari. Tang... Teng... Tong... Teng... Tang.. [*]