Keterbukaan Informasi Yang Terhalang Kontrak Media dan Pencitraan Medsos

id keterbukaan informasi publik

Keterbukaan Informasi Yang Terhalang Kontrak Media dan Pencitraan Medsos

Salah satu kegiatan pemimpin daerah di Sumatera Barat yang diikuti oleh wartawan dan petugas media sosial serta pengelola dokumentasi kedinasan (Antara/Alfatah)

Bukittinggi (ANTARA) - "Saya tantang rekan wartawan agar bagaimana menghadirkan berita yang mampu memviralkan Kota Bukittinggi, kabari saya jika ada Kepala Dinas yang enggan menyampaikan informasi publik."

Masih berdengung pesan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar saat pelantikan Forum Jurnalis Keterbukaan Informasi Publik (FJKIP), Oktober 2021 silam.

Memang ia tidak menyebutkan viral seperti apa yang dimaksud, tapi tentunya sebagai pucuk pimpinan kota, dan lumrahnya seluruh kepala daerah, pasti akan berharap berita baik dan positif yang tayang di layar handphone, TV, siaran radio serta koran yang dikonsumsi masyarakat.

Bagi sebagian masyarakat penikmat berita termasuk dari satu sisi pemikiran pewarta, informasi yang meledak itu bukan berasal dari kabar prestisius yang diraih pejabat publik, bukan pula kunjungan kerja kian kemari pemilik jabatan.

Sehebat-hebatnya prestasi pejabat publik, kadang tak dilihat lagi ketika muncul berita bunuh diri, kecelakaan brutal, asusila PNS, pejabat ditangkap atau musibah bencana alam apalagi pimpinan daerah ditangkap KPK.

Bukan karena tak suka ke pemangku jabatan badan publik itu, tapi memang berita viral menarik adalah saat terjadinya masalah sosial dan mampu merangkul minat masyarakat mengikutinya, inilah yang lebih bernafsu dikejar pewarta.

Khusus dalam pemberitaan "minus" di kalangan badan publik, bagi sebagian pewarta, pedal rem yang terpasang adalah Kontrak Kerjasama dengan badan publik masing-masing, memang tidak semua terhenti kritisnya dalam menyampaikan berita aktual, tapi cukuplah menjadi alasan "Sagan Awak Samo Awak" atau takut didiskualifikasi kerja sama berbayar itu hingga pedal gas terpaksa tak disentuh.

"Buat apa bekerja sama dengan media yang hanya memburukkan kinerja kami, tak mungkinlah membayar ke mereka yang menulis informasi yang merugikan," ungkap salah seorang pejabat tinggi beberapa waktu lalu.

Tidak salah memang, namun dari sinilah salah satu awal keterbukaan informasi mengalami ketersendatan, tentu saja informasi yang sulit didapat itu adalah perihal masalah dan gangguan kinerja pemerintah atau lembaga yang praktis mengurangi citra baik.

Kontrak media yang bekerjasama harusnya dilihat sebagai bagian penyampai berita yang bersifat membangun, namun jangan didikte apalagi dihalangi saat berita jujur lainnya harus disampaikan, sekalipun pahit dibaca ditonton dan didengar nantinya.

Citra baik akhirnya banyak digelar di media sosial (Medsos) saja, hal ini mudah dilakukan karena tidak perlu wartawan, tak repot menerapkan prinsip jurnalisme, hanya mengejar rating pemirsa dan pengikut.

Konon kabarnya, banyak pejabat kini lebih memilih menyeriusi postingan di medsos ketimbang menggelar berita media massa bersama wartawan.

Namun tanpa mereka sadari, jeratan di medsos lebih banyak terpasang karena tidak semua fakta aktual tersaji di beranda itu, pelanggaran UU ITE dan informasi hoaks sangat mudah tersemat.

Tangan jahil warga internet (netizen) bebas berkeliaran memberi pendapat dan komentar pedasnya, sementara untuk masalah keterbukaan informasi, penggunaan medsos berlebihan pejabat publik memberangus interaksi langsung dengan wartawan yang ujung-ujungnya tidak semua berita tersampaikan ke masyarakat, yang ada hanyalah semua yang dinilai baik saja dan lebih diutamakan diekspos ke media sosial milik pemerintah serta pejabat bersangkutan.

Jangan salahkan Pak Menteri Rudiantara dulu pernah mengibaratkan situs penyebar berita palsu alias hoaks dan (pengguna) media sosial berhubungan erat dan bertanggung jawab dengan merajalelanya berita palsu di Indonesia.

Menteri Komunikasi dan Informatika 2017 itu mengibaratkan relasi keduanya sebagai "Lingkaran Setan".

"Antara situs hoaks dan media sosial itu seperti vicious circle, (Pengguna) Media sosial pun sering mengutip situs hoaks, berputar-putar di situ saja," katanya.

Pejabat Publik yang sengaja memfokuskan diri untuk menggelar pencitraan di media sosial saja akan memposisikan wartawan seakan hanya jadi ban serap yang cukup dikirim rilis berita untuk ditayangkan.

Salah posting di Negeri Minangkabau ini bisa jadi bumerang bagi mereka, kasus terkini bisa dilihat dari bagaimana nasib sial yang harus diterima salah seorang Camat Perempuan di Payakumbuh setelah sukses sesaat di medsos.

Menarik pula mendengar Analis politik Charta Politika, Yunarto Wijaya yang menilai bahwa tren politikus berbondong-bondong membuat konten di media sosial tak selamanya berdampak baik bagi reputasinya. Ia menjelaskan, fenomena "main medsos" sebetulnya jadi kebutuhan para politikus hari ini demi menggaet simpati dari kalangan muda yang diprediksi bakal mendominasi suara pemilih.

"Medsos itu hanya untuk mengamplifikasi ruang berdialog atas apa yang mereka kerjakan di lapangan, kerja utama mereka tetap kerja di darat, mereka (pemilih muda) adalah pemilih yang cukup cerdas untuk membandingkan apa yang tampil di medsos dan di dunia nyata, kalau kesenjangan itu terlalu besar, itu bisa menjadi bumerang," kata Yunarto.

Tapi, ya sudahlah, itu hak pribadi siapapun untuk lebih memercayai informasi di medsos dari pada pemberitaan yang dipenuhi aturan jurnalistik plus komando pimpinan redaksi.

Keterbukaan informasi itu artinya jujur, jujur dalam penyampaian keadaan, masalah, meskipun ada beberapa ketentuan dalam memperolehnya seperti mendapatkan data detail dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) serta sistem informasi yang dikecualikan sesuai Undang-Undang.

Kejujuran itu mengabur saat pewarta mencari informasi yang dianggap bisa mengurangi citra baik karena resiko berita yang tampil akan merusak tatanan tampilan indah yang sudah dibangun serancak mungkin di medsos.

Kalimat "Tak usahlah diberitakan", "Iko kan Awak Awak Juo", atau jurus pamungkas diam membungkam sejuta bahasa kerap dimunculkan.

Yang anehnya lagi, untuk membangun berita baikpun masih juga terhalangi karena keengganan menyampaikan jadwal atau informasi, padahal sudah dibuatkan grup berbagi pesan oleh pewarta bersama Dinas dan lembaga masing-masing.

Ada juga grup Prokopim, yang harusnya berisi jadwal kemana dan agenda apa hari ini pimpinan daerah, tapi ternyata hanya "Angek-Angek Tinja Ayam" saja dibuat.

Keterbukaan informasi publik belum sepenuhnya berjalan, semua masih terhalang dengan rasa takut akan jatuh pamor.

Contoh kasus, sebuah pesantren di daerah Kabupaten Agam yang mengalami kemalangan karena tewasnya seorang santri yang jatuh dari loteng di lantai enam bangunan Gedung Asrama milik mereka.

Kasus ini tidak dilaporkan ke Kepolisian sesegera mungkin, terjadi pada Senin baru akan dilaporkan di hari Rabu, itupun baru mau dilaporkan, katanya.

Pewarta lebih dulu mengetahui kasus ini dari informasi masyarakat dan diteruskan ke kepolisian setempat, hingga baru ditelisik kejadian yang menewaskan santri asal Painan itu setelah tiga hari kejadian.

Pihak Ponpes berkilah mengaku kewalahan dan panik terlalu sibuk mengurus kematian santrinya dan melakukan komunikasi ke keluarga korban, alasan ini malah hanya akan membuat pertanyaan besar di kepala orang-orang, kenapa seolah ditutupi dan disembunyikan dari Polisi dan Wartawan, Ada Apa ?

Wartawan seperti menimbulkan alergi bagi sebagian pihak, keberadaannya seolah hanya untuk mencari masalah, tidak dilihat sebagai penyuara netral sesuai keadaan yang terjadi dan kontrol sosial.

Fenomena "musuh politik" yang menggerus pemerintahan berkuasa, akhirnya menjadi salah satu sumber referensi informasi bagi pewarta yang susah mendapatkan kabar terbaru dan patut diterima masyarakat terkhusus dari informasi yang disembunyikan.

Kadang dari postingan dari mereka yang kerap disebut "Barisan Sakit Hati" itu termunculkan pokok masalah yang harusnya diketahui publik dan entah sengaja atau tidak disimpan di lemari es pemerintah.

Ada contoh kasusnya juga di Bukittinggi, satu unit mobil dinas yang hilang sejak Juni, tidak pernah dipublikasikan ke masyarakat hingga akhirnya dimuntahkan oleh "musuh politik" di media sosial.

Baru lah dikonfirmasi dan diolah hingga menjadi berita yang pantas dimuat dan tayang, baru lah masyarakat tahu bahwa mobil itu hilang dan sudah dilaporkan ke Polisi, baru lah warga tahu bahwa terjadi satu kesalahan pengamanan di Gedung Parkir kendaraan dinas, baru lah khalayak mendapat tahu (bukan makanan).

Akhir kata, hubungan Pejabat Publik entah itu Kepala Daerah, Kepolisian, Kejaksaan, DPRD dan semacamnya di Sumatera Barat, komunikasinya dengan personal wartawan harus terjalin baik, kedekatan secara pribadi akan menjadi pedoman bagi jajaran di bawahnya, akan membuat keterbukaan informasi berjalan lancar.

Jika pejabat hanya dikelilingi petugas Vlog, Youtube, Instagram danTik-Tok nya, ya wajarlah wartawan seperti tidak diperlukan lagi olehnya, ya pantaslah Jumpa Pers tidak dibutuhkan, ya tentulah Medsos lebih diutamakan dibanding Berita, dan pastinya Keterbukaan Informasi Publik itu hanya menjadi niat tanpa gerak nyata.

Bagaimana mungkin kedekatan itu terjalin jika pejabat hanya lebih fokus ke media sosialnya dibanding media massa pemberitaan, saat dikirim pesan saja tak pernah mau membalas konon lah lagi mengangkat telpon wartawan.

Jika itu terjadi terus menerus, maka ucapan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Donny Yoesgiantoro yang menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan hak setiap orang yang wajib diberikan oleh badan publik yang melakukan tugas penyelenggaraan negara, itu hanya didengar namun tak direalisasikan.

Sebuah pantun untuk tulisan opini ini jadi penutup.

"Beli Baju Seken di Pasar Banto di hari Jumat, Terbeli dua kali, separo rancak separo rusak,"

"Kalau kasus Irjen Ferdy Sambo saja bisa terkuak luas ke masyarakat, Kononlah lagi, hanya salah pejabat sok keren di seantaro Sumbar yang kita kubak,"

Salam Keterbukaan Informasi Sumbar !