Padang (ANTARA) - Dalam sepekan terakhir warga Sumatera Barat dihebohkan oleh informasi adanya potensi gempa berkekuatan 8,9 magnitudo berdasarkan perkiraan para ahli yang bersumber dari patahan lempeng megathrust di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Menurut Kepala Bidang (Kabid) PK BPBD Sumbar Syahrazad Jamil pada diskusi virtual upaya pengurangan risiko bencana tsunami, usai gempa tersebut sekitar 20 sampai 30 menit kemudian disusul gelombang tsunami yang menerjang Padang setinggi enam hingga 10 meter dengan jarak dua hingga lima kilometer ke arah kota.
Bencana alam tersebut diperkirakan berdampak pada 1,3 juta penduduk dengan menggunakan skenario terburuk 39.321 jiwa meninggal dunia, 52.367 hilang dan 103.225 mengalami luka-luka dan menghancurkan Pelabuhan Teluk Bayur dan Bandara Minangkabau.
Guna mewaspadai kemungkinan terburuk tersebut, Sumbar telah melakukan berbagai upaya, di antaranya membangun kemitraan dan koordinasi bersama LSM nasional maupun internasional.
Pemerintah Provinsi Sumbar juga bekerja sama dalam pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) dan kelompok siaga bencana hingga tingkat desa atau kelurahan.
Selanjutnya, kerja sama dengan TNI dan Polri terus diperkuat dalam hal penanggulangan bencana termasuk dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Tidak hanya itu, program dan kegiatan pengurangan risiko bencana juga terus dikuatkan dengan membentuk satuan pendidikan aman bencana, kelompok siaga bencana, latihan evakuasi mandiri dan pembangunan sarana mitigasi serta evakuasi berupa shelter atau tempat evakuasi sementara, peta jalur evakuasi, dan peringatan dini.
Kekhawatiran masyarakat akan gempa besar tersebut beralasan, karena dalam sepekan terakhir pada kurun 13-19 November 2020 berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Padang Panjang, di Sumbar terjadi 11 kali kejadian gempa bumi .
"Dari 11 gempa tersebut tiga kali dirasakan dan delapan kali tidak dirasakan " kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Padang Panjang, Mamuri.
Ia merinci tiga kali kejadian gempa yang dirasakan masyarakat, dua di antaranya berpusat di Kepulauan Mentawai, yakni di Tuapejat dengan kekuatan 6,3 magnitudo pada Selasa (17/11) yang terasa di Padang, Bukittinggi, Solok Padang Panjang, Pariaman, dan beberapa daerah lain.
Kemudian di Pulau Siberut dengan kekuatan 4,9 magnitudo terjadi pada Kamis (19/11) dirasakan di Padang, Solok Selatan, Tanah Datar, Padang Panjang, dan beberapa daerah lain.
Gempa yang dirasakan oleh masyarakat juga terjadi di Pesisir Selatan pada Rabu (18/11) dengan kekuatan 5,3 magnitudo terasa di Padang, Padang Panjang, Padang Pariaman, Solok Selatan, dan beberapa daerah lain.
Sedangkan delapan kali kejadian gempa bumi lainnya di Sumbar yang tidak dirasakan masyarakat, yakni di Kepulauan Mentawai 4,0 magnitudo, Pasaman 3,3 magnitudo, Pesisir Selatan 3,6 magnitudo, Kepulauan Mentawai 3,8 magnitudo, Pulau Siberut 3,5 magnitudo, Pulau Siberut 3,5 magnitudo, Kepulauan Mentawai 3,2 magnitudo, dan Pesisir Selatan 3,8 magnitudo.
Bukan berita baru
Menanggapi informasi akan terjadinya gempa besar di Sumbar dengan kekuatan 8,9 magnitudo, pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Padang, Dr Badrul Mustafa menyampaikan prediksi sejumlah ahli soal potensi gempa besar tersebut bukan berita baru dan sudah lama diperkirakan, namun tidak dapat dipastikan kapan akan terjadi.
"Itu berita lama, sejak 2011 sudah mulai diingatkan lagi, bahkan sejak 2005 sebetulnya," kata dia.
Ia memaparkan gempa tersebut terjadi akibat tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap Eurasia di wilayah Indonesia yang energinya terakumulasi berpotensi menimbulkan gempa mikro, kecil, sedang sampai kuat dan sangat kuat.
Menurutnya potensi gempa ini bersumber dari lempeng dari megathrust, dari dua segmen, yakni segmen Siberut dan Sipora-Pagai.
"Kedua segmen ini memiliki periode ulang gempa besar setiap 200 tahun," ujarnya.
Akan tetapi ia melihat tetap saja sebagian orang merasa baru dan menakutkan, dan gempa yang terjadi di Padang dalam sepekan terakhir tepat dengan yang disampaikan oleh BPBD Sumbar untuk mengingatkan masyarakat agar tetap waspada.
"Kuncinya tetap meningkatkan kesiapsiagaan diri dan keluarga untuk menghadapinya, agar risiko dapat diminimalkan," kata dia.
Ia menjelaskan di jalur megathrust Mentawai, potensi gempa besar di segmen Sipora-Pagai sudah keluar dan telah terjadi periode ulangnya.
Tahun 1833 di segmen ini terjadi gempa berkekuatan 8,9 diikuti oleh tsunami. Tapi pada periode ulang yang kemarin potensi gempa kuat ini dicicil menjadi empat kali gempa kuat, yakni 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4, 13 September 2007 pukul 06.55 WIB dengan kekuatan 7,9.
"Kemudian masih 13 September 2007 pukul 11.00 WIB dengan kekuatan 7,2 dan alhamdulillah ketiga gempa kuat dan sangat kuat ini tidak menimbulkan tsunami karena episentrumnya tidak berada ditempat yang bisa menimbulkan tsunami," ujarnya.
Namun ternyata energi segmen ini belum habis, karena sisanya keluar 25 Oktober 2010 dengan kekuatan 7,4 berepisentrum di barat daya Pagai Selatan, dan menimbulkan tsunami.
"Maka, pada segmen ini Insya Allah selesai periode ulangnya. Kalau pun terjadi beberapa kali gempa segmen ini, tentunya kecil saja sebab energinya sudah habis dan gempa besar akan terulang lagi 200 tahun mendatang," kata dia.
Akan tetapi, ia mengingatkan di Mentawai ada satu segmen lagi, yakni segmen Siberut yang sejak gempa terakhir pada 1797 belum terjadi gempa besar sehingga perlu diwaspadai.
Ia memastikan potensi gempa segmen Siberut ini dengan kekuatan di atas 8,5, tetapi tidak ada seorang pun yg bisa memprediksi kapan keluar bahkan pakar sekali pun.
Badrul memperkirakan sekitar tahun 2000 sudah bisa keluar sampai 50 tahun ke depan juga bisa.
Artinya, kita harus selalu waspada menghadapinya dan itu yang harus dilakukan sebagai konsekuensi tinggal di daerah rawan gempa, ujarnya.
Ia berpendapat potensi gempa tersebut juga tidak bisa diprediksi bagaimana cara keluarnya, apakah seperti di segmen Sipora-Pagai yang dicicil menjadi empat gempa dengan satu gempa sangat kuat dan tiga gempa kuat.
"Kalau satu gempa utama tunggal, maka kekuatannya bisa di atas 8,5. Kalau empat, maka paling tinggi 8,4 atau 8,3. Kalau dipecah sepuluh, tentu lebih kecil dari itu. Kalau dipecah menjadi sejuta gempa tentu tidak ada yang merusak. Hanya kecil-kecil saja dan Allah punya kuasa," katanya.
Ia berpesan kita hanya bisa berikhtiar untuk mengurangi risiko dengan melakukan mitigasi ditambah doa.
Di Kota Padang sejumlah upaya mitigasi dan antisipasi ke depan terus dilakukan oleh pemerintah kota.
Saat ini terdapat tiga bangunan tinggi sebagai tempat evakuasi sementara yang berlokasi di Ulak Karang, Parupuk Tabing dan Tabing yang dengan daya tampung sekitar 5.000 jiwa per lokasi.
Tak hanya itu saat ini terdapat sekitar 58 bangunan lain yang bisa digunakan sebagai tempat evakuasi sementara warga.
Kemudian sebagai petunjuk bagi warga jika gempa dan tsunami terjadi telah dibuat papan petunjuk yang dipasang di 700 lokasi di Padang.
Di papan tersebut ada petunjuk arah ke mana evakuasi terdekat.
Di samping itu dalam tiga tahun terakhir BPBD Padang telah memperbanyak penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan jika gempa dan tsunami terjadi.
Ada 30 baliho kecil yang disiapkan di berbagai tempat mulai dai lokasi wisata dan persimpangan berisi informasi apa yang harus dilakukan saat gempa.
BPBD Padang juga membuat poster tentang siaga bencana yang dibagikan kepada masyarakat hingga penyuluhan kepada 150 sekolah dari 400 sekolah yang berada di zona rawan.
Untuk penanda wilayah aman dari tsunami juga telah dibuat tulisan tsunami safe zone dengan latar biru di 22 jalan yang ada di Padang.
Dengan adanya penanda ini masyarakat bisa memperkirakan apakah sudah berada di daerah yang sudah aman atau perlu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi.
BPBD juga menggandeng kelompok siaga bencana untuk menyosialisasikan kebencanaan kepada masyarakat.
Tidak ada seorang pun ingin terjadi bencana, sebab itu perlu kesiapan menghadapinya jika ingin selamat karena bencana merupakan siklus yang selalu berulang dalam kehidupan manusia. (*)