Padang (ANTARA) - Pekan lalu, tidak banyak publik menyadari bahwa tujuh puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada 7 November 2020, pernah berdiri satu partai politik yang sangat besar di awal kemerdekaan, yaitu Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sejarah Partai Masyumi bermula sebagai respons terhadap Maklumat Pemerintah tanggal 4 November 1945 yang menerangkan pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik. Melalui maklumat tersebut, pemerintah berharap partai-partai tersebut dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan mengakomodasi segala paham yang ada di dalam masyarakat. Di samping partai-partai politik tadi diminta mempersiapkan diri mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 1946 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kendati demikian, Pemilu untuk memilih para anggota DPR sendiri baru dapat diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 1955.
Pada 7 November 1945, bertempat di Gedung Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta, umat Islam Indonesia secara khusus menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII). Umat Islam yang hadir kala itu terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari politisi, pedagang, ulama, sampai dengan pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di seluruh Tanah Air.
Dalam kongres tersebut, para peserta kongres bersepakat untuk mendirikan satu partai politik yang akan menjadi wadah aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia ke depannya. Terdapat hal menarik dalam proses pemberian nama partai politik hasil kongres di atas. Pada mulanya, peserta kongres berencana memberikan nama Partai Rakyat Islam. Sementara di satu sisi yang lain, sebagian peserta kongres memilih nama Masyumi karena nama tersebut telah dikenal oleh masyarakat cukup lama.
Nantinya melalui sistem pemungutan suara, KUII bersepakat memberikan nama Partai Masyumi. Adapun hasil pemungutan suara tadi, lima puluh suara memilih nama Partai Rakyat Islam dan lima puluh dua suara lainnya memilih nama Partai Masyumi.
Dalam perkembangannya, Partai Masyumi terbukti telah memberikan kontribusi serta peran yang sangat signifikan dalam proses kehidupan politik bangsa dan negara Indonesia, tepatnya pasca Proklamasi Kemerdekaan. Dimulai dari laskar bersenjata yang dipunyai oleh Partai Masyumi, yakni Barisan Sabilillah. Barisan Sabilillah, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul “Api Sejarah 2: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, merupakan pendukung utama terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Hari terbentuknya TKR, 5 Oktober 1945 kelak diperingati sebagai hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini.
Kedua, Partai Masyumi pernah menghasilkan satu resolisi yang berisikan kesetiaan anggota Partai Masyumi terhadap kepemimpinan nasional. Dalam pemberitaan surat kabar Kedaulatan Rakyat pada 10 Juli 1946 diterangkan Partai Masyumi mengeluarkan resolusi sebagai berikut. “Seluruh warga Masyumi dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menyatakan kesetiaan terhadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia… menyatakan kepercayaan kepada Panglima Besar Sudirman, sebagai pucuk pimpinan seluruh tentara, dan Hizbullah, serta Sabilillah turut berdiri di belakangnya”.
Resolusi di atas dianggap sangat penting mengingat pada 3 Juli 1946, terjadi upaya perebutan kekuasaan beberapa tokoh nasional, seperti Tan Malaka, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Mr. Mohammad Yamin. Misi utama gerakan 3 Juli 1946, yaitu memaksa Presiden Soekarno memberhentikan kementerian negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kemudian menandatangani daftar susunan anggota Dewan Pimpinan Politik dan kementerian negara yang baru.
Di samping itu, para tokoh dari Partai Masyumi juga memberikan peranan sangat besar, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat dan politisi saat ini. Para tokoh tersebut diantaranya pertama, Kasman Singodimedjo. Sejarah umum Indonesia mencatat, Kasman Singodimedjo merupakan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga legislatif Indonesia pertama –cikal bakal DPR- yang didirikan pada 29 Agustus 1945.
Kasman sebenarnya merupakan orang yang turut meletakkan pondasi utama administrasi dan personalia Kejaksaan Agung (Kejagung) hari ini. Melalui Maklumat Jaksa Agung Nomor 3 Tanggal 5 Januari 1946, Kasman mengajak para gubernur, jaksa, dan kepolisian untuk menunjukkan Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), yaitu negara yang menyelenggarakan pengadilan secara cepat dan tepat. Di sisi lain, Kasman juga mendesak polisi dan jaksa menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan saat itu.
Kedua, Syafruddin Prawiranegara. Ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan periode tahun 1946-1947, Syafruddin membuat satu gebrakan yang cukup mengejutkan, yaitu menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Meski pernah ditentang oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, mengingat mata uang Tentara Pendudukan Jepang masih beredar, Syafruddin berkeyakinan dengan Indonesia mempunyai mata uang sendiri, membantu memperkuat eksistensi dan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Pada Maret 1950, Syafruddin juga membuat kebijakan pengguntingan uang “Gunting Syafruddin” yang bertujuan menguatkan moneter dan ekonomi nasional pasca pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Ketika Agresi Militer Belanda kedua, Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran Rakyat, berinisiatif menyelamatkan kedaulatan Indonesia dengan membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 19 Desember 1948. Amanah tersebut diemban dengan sangat baik sampai Syafruddin menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta.
Ketiga, M. Natsir. Tokoh kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908 ini berhasil menyelematkan persatuan dan kesatuan Indonesia melalui Mosi Integral. Pasca pengakuan kedaulatan, Indonesia terpecah belah dalam bentuk negara-negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Singkat cerita, kemudian bermunculan gerakan-gerakan menuntut pembubaran negara bagian di banyak daerah. Di Negara Indonesia Timur (NIT) misalnya, terjadi pergolakan hebat antara kelompok massa pro Republik Indonesia (RI) dengan pro NIT.
Dalam Sidang Parlemen RIS, sebagaimana dikutip dari buku berjudul “Biografi Pemikiran Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan” karya Lukman Hakiem (2019), Natsir mengajukan satu mosi untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di mana seluruh negara bagian, termasuk RI, turut serta melalui prosedur parlementer. Artinya, tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya.
Tokoh-tokoh lain dari Partai Masyumi yang cukup dikenal dan tercatat dengan baik di dalam sejarah, yaitu Mohammad Roem, Ketua Delegasi Indonesia pada Persetujuan Roem-Royen dan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1950 di mana Indonesia diterima sebagai negara anggota PBB keenam puluh; Soekiman Wirdjosandjojo (Perdana Menteri Indonesia yang mengesahkan lambang negara Garuda Pancasila); Burhanuddin Harahap (Menyelenggarakan Pemilu Indonesia pertama untuk memilih anggota DPR dan Badan Konstitueante); dan lain sebagainya.
Mungkin daftar kiprah atau peranan para tokoh Partai Masyumi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangatlah banyak. Akan tetapi, pemaparan di atas sedikit banyaknya dapat menggambarkan bagaimana peran mereka sangat besar dalam mempertahankan sebuah negara yang baru lahir.
Ada banyak hal yang dapat diteladani oleh masyarakat Indonesia, khususnya para politisi saat ini dan generasi yang akan datang. Para tokoh Partai Masyumi bekerja dengan sepenuh hati dan totalitas. Malah diantara para tokoh tersebut, rela mengorbankan waktu, tenaga, dan nyawanya demi Indonesia tercinta. Di samping mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan dapat menjembatani berbagai perbedaan pendapat yang ada.
Usaha dan pengorbanan Partai Masyumi di masa lalu tidak boleh disia-siakan. Secara khusus, generasi yang akan datang mempunyai kewajiban menjaga kemerdekaan sembari mempertahankan kedaulatan NKRI hari ini. Mencintai negara merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman).
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP Unand, Kepala Bidang Kajian Strategis Kementerian Sosial Politik BEM KM Unand 2019