Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 secara resmi mengumumkan bahwa COVID-19 telah menjadi pandemi karena semakin meluas ke seluruh penjuru dunia.
Hingga 18 April 2020, secara global COVID-19 telah menjangkit di 213 negara, dengan kasus terkonfirmasi sebanyak 2.121.675 orang dengan kematian sebanyak 142.299 orang.
Saat yang sama, di Indonesia berdasarkan data dari www.covid19.go.id, tercatat positif terinfeksi Corona sebanyak 6.248 orang, sembuh 631 orang, dan meninggal 535 orang.
Dampak dari wabah ini telah merusak berbagai tatanan mulai dari sosial, kesehatan, dan ekonomi sebagian besar negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
“Ini adalah pandemi pertama yang disebabkan oleh Virus Corona dan setiap hari kami meminta negara-negara untuk mengambil tindakan yang mendesak dan agresif. Kami telah membunyikan bel alarm dengan keras dan jelas,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Tidak satu pun negara yang mengaku siap menghadapi wabah tersebut, kecuali dengan cepat dan tepat mengambil kebijakan untuk memperkecil kerugian dari sisi kehilangan nyawa penduduk maupun dari sisi keterpurukan ekonomi.
Selain isu kesehatan, pangan menjadi salah satu persoalan utama. Tidak hanya ketika wabah Corona , tetapi juga penting diantisipasi adalah kelangsungan perekonomian suatu negara setelah pandemi itu berakhir.
Seluruh negara berlomba mengamankan ketahanan pangan agar mampu menghadapi masa krisis yang diperkirakan masih akan panjang.
Untuk mencegah semakin meluasnya wabah, sejumlah negara menerapkan lockdown atau pun karantina beberapa wilayah. Opsi ini mengharuskan ketersediaan pangan dalam jumlah besar di setiap negara, yang ujungnya dapat mengganggu pasokan pangan global.
Banyak negara produsen bahan pangan langsung membatasi atau bahkan menutup pasar ekspor komoditi tertentu untuk memastikan agar stok dalam negerinya tercukupi.
Negara produsen gandum terbesar di dunia seperti Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina, terang-terangan mengumumkan pembatasan ekspor biji gandum. Sama halnya dengan beras, Vietnam, Thailand, meskipun selama ini disebut sebagai lumbung beras di Asia Tenggara tetap memikirkan dan mengamankan pasokan untuk dalam negerinya.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia.
Jika berbagai negara tidak mengantisipasi sejak dini, krisis pangan diperkirakan mulai terasa pada Mei-Juni 2020, bahkan kemungkinan berlanjut hingga dua tahun ke depan menjelang situasi global kembali normal.
Kepala Ekonom FAO Maximo Torero Cullen mengemukakan krisis pangan bisa dipicu antara lain terbatasnya jumlah pekerja di sektor pertanian akibat kebijakan karantina, produksi ternak pun berpotensi menurun karena gangguan logistik pakan.
Untuk itu, setiap negara agar menjaga kelancaran rantai pasokan makanan, yang melibatkan interaksi di sektor pertanian mulai dari petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, hingga pedagang. Demikian juga di sektor peternakan dan perikanan, memiliki interaksi yang hampir sama.
Ketahanan pangan masing-masing negara berbeda-beda. China, dikenal dapat melipat gandakan produksi komoditas pertanian karena memanfaatkan teknologi sangat baik. Dengan investasi yang besar, Negeri Tirai Bambu itu bahkan telah menjadi negara pengekspor terbesar sejumlah bahan pangan ke mancanegara.
Australia, negara yang sekitar 65 persen produk pertaniannya dikelola secara modern menjadi pemasok utama bahan pangan di Kawasan Asia Pasifik, sedangkan Thailand terkenal inovatif pada tanaman pangan.
Sebaliknya, di tengah pandemi COVID-19 ada sejumlah wilayah berpotensi krisis pangan, terutama negara-negara yang mengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata, industri, dan perdagangan, selain tidak memiliki alternatif pangan negara-negara ini harus mengandalkan impor.
Menurut catatan, selain gandum komoditas utama pangan global adalah beras, kedelai, jagung dan tanaman hortikultura.
Antisipasi dini
Serangan wabah COVID-19 semakin parah. Sejumlah negara merespon dengan meluncurkan paket-paket stimulus agar terhindar dari penurunan ekonomi global yang diperkirakan bisa masuk dalam jurang resesi paling dalam.
Amerika Serikat mengalokasikan dana sekitar 2 triliun dolar AS atau sekitar Rp32.800 triliun, Jerman 750 miliar euro atau Rp13.125 triliun, Jepang 108 triliun yen (Rp16.308 triliun), Singapura 59,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp688,85 triliun.
Sementara Indonesia menyiapkan anggaran sebesar Rp405,1 triliun untuk penanggulangan COVID-19 yang digunakan untuk kesehatan Rp75 triliun, tambahan jaring pengaman sosial Rp110 triliun, dukungan bagi industri Rp70,1 triliun dan program pemulihan ekonomi Rp150 triliun.
Berdasarkan data BPS, rumah tangga miskin tersebar di daerah perkotaan 6,56 persen atau 9,86 juta dan daerah perdesaan 12,60 persen atau 14,93 juta, yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Sedangkan menurut Badan Ketahanan Pangan, setidaknya 76 kabupaten/kota masuk kategori daerah rawan pangan.
Entah terlambat atau tidak, Pemerintah Indonesia akhirnya memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang lockdown maupun karantina wilayah.
Penerapan PSBB yang diambil berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ini, diawali di Provinsi Jakarta yang efektif mulai Jumat, 10 April 2020, kemudian diikuti beberapa kota-kota lainnya.
Sesuai Pasal 4 ayat 3 UU Kerantinaan Kesehatan ini bahwa konsekuensi dari penerapan PSBB adalah pemenuhan kebutuhan dasar penduduk, atau dengan kata lain jaminan ketersediaan kebutuhan pokok bagi masyarakat selama PSBB berlangsung.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengingatkan bahwa ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama selain kesehatan publik, ketika bencana terjadi seperti pandemi COVID-19.
Menurut Felippa, ini menjadi momentum untuk mengubah paradigma ketahanan pangan Indonesia supaya mengikuti ketahanan pangan internasional yang dicanangkan FAO. Di mana setiap orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi kepada pangan yang cukup, aman, dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi makanan yang mereka butuhkan.
"Krisis pangan akan menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri,” ujarnya.
Faktanya, pertanian Indonesia memiliki banyak tantangan, seperti lahan yang tidak mencukupi, iklim yang tidak tepat untuk menanam beberapa komoditas, dan berbagai macam tantangan pertanian lain.
Merespon peringatan FAO soal ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung memerintahkan jajarannya untuk mengingatkan setiap kepala daerah agar menjaga ketersediaan bahan pokok, dan tidak menyebabkan kelangkaan yang membuat harga pangan melonjak.
“Jangan sampai stok bahan makanan di pasar tidak mencukupi yang dapat menambah keresahan masyarakat, dan melihat detil sehingga tidak mengganggu produksi rantai pasok maupun distribusi bahan makanan,” kata Jokowi.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, perkiraan ketersediaan pangan strategis nasional untuk Maret hingga Agustus 2020, yakni untuk beras tersedia 25,6 juta ton dari kebutuhan 15 juta ton.
Sementara itu, jagung sebanyak 13,7 juta ton dari kebutuhan 9,1 juta ton, bawang merah tersedia 1,06 juta ton dari kebutuhan 701.482 ton, cabai besar tersedia 657.467 ton dari kebutuhan 551.261 ton.
Selanjutnya, daging kerbau/sapi tersedia 517.872 ton (290.000 ton di antaranya berasal dari impor) dari kebutuhan 376.035 ton; daging ayam ras 2 juta ton dari kebutuhan 1,7 juta ton dan minyak goreng 23,4 juta ton dari kebutuhan 4,4 juta ton.
Persediaan jagung sebanyak 580.000 ton dan produksinya diperkirakan mencapai 13 juta ton, sedangkan stok bawang putih segera diimpor 34.000 ton, cabai merah, panen akan dimulai pada Maret hingga Mei 2020.
Adapun stok gula di gudang distributor diperkirakan mencapai 159.000 ton, sementara stok daging sapi 14.000 ton dan akan ditambah sebanyak 170.000 ton, stok minyak goreng mencapai 8,2 juta ton, bawang bombai dalam proses impor sebanyak 14.000 ton.
Ramadhan - Idul Fitri
Di saat memuncaknya wabah COVID-19 di Indonesia, pemerintah pun diuji untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam jumlah besar saat menghadapi Ramadhan mulai 24 April 2020 hingga Idul Fitri 1441 Hijriah.
Saat bulan puasa biasanya terjadi persoalan klasik, yaitu harga sejumlah kebutuhan pokok melonjak tajam, seperti harga daging, cabai, telur, gula pasir, minyak goreng dan lainnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjamin ketersediaan 11 komoditas pangan utama dengan menjaga pasokan, distribusi, maupun stabilitas harga saat memasuki puasa selama Ramadhan.
Sebelas komoditas yang dikawal yaitu beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng.
Ia menjelaskan, panen raya padi, jagung dan komoditas lainnya masih berlangsung, sehingga stok pangan secara simultan akan mengisi pasar.
"Kementan mengawasi pasokan dan stok pangan dengan ketat. Masyarakat mohon agar tenang dan tidak perlu resah. Pasokan dan stoknya ada. Hitungan kami hingga Agustus 2020 masih cukup," kata Syahrul.
Meski begitu, ada komoditas yang terpaksa diimpor karena produksi dalam negeri belum mencukupi, seperti bawang putih, daging sapi, dan gula.
Untuk memastikan kesiapan kesiapan pangan, Syahrul menyebutkan saat ini ada 332 titik kabupaten di Indonesia yang sedang panen raya padi dan jagung, antara lain di Serdang Bedagai, Banyuasin, Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Cianjur, Balangan, Barru, Banggai, Konawe Selatan, Sumbawa Barat, Dompu dan Nagekeo.
Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Budi Waseso menyatakan menjamin stok beras dan kebutuhan pangan lain bahkan jika ada kebutuhan tak terduga.
"Tidak ada masalah, Bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat walau ada lonjakan permintaan yang tiba-tiba. Bulog akan menggunakan seluruh instrumen yang ada untuk menjamin ketersediaan pangan tersebut," ujar Budi.
Bulog memastikan seluruh jaringan yang bekerja sama dengan Perum Bulog menyediakan kebutuhan beras di tingkat lokal baik secara online maupun offline, juga gerai milik Perum Bulog seperti RPK (Rumah Pangan Kita) yang tersebar di seluruh Indonesia, serta jaringan retail modern yang ada. Ada pula iPanganandotcom yang menyediakan harga pangan lebih murah.
Penerapan PSBB yang semakin meluas di sejumlah wilayah tentunya membutuhkan koordinasi pusat dan daerah untuk lebih menjamin ketersediaan bahan pangan.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan pemerintah pusat dan pemda agar lebih memperkuat sinergi dalam rangka penyediaan beras yang termasuk kebutuhan pokok bagi masyarakat Nusantara.
“Pemerintah pusat diharapkan memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah lewat Satgas Pangan pusat dan daerah dalam menyediakan izin yang dapat digunakan para distributor pangan dan pedagang kecil ketika melakukan distribusi pangan lintas wilayah," kata Galuh Octania.
Selain itu, akses pelabuhan juga perlu dipastikan tetap dibuka untuk pengiriman pangan lintas pulau.
Langkah berikutnya, menerapkan skala prioritas dalam proses pengiriman. Pengiriman logistik pangan oleh pengusaha-pengusaha ritel diharapkan lebih mengutamakan produk/komoditas pangan pokok dibanding kebutuhan pangan lainnya seperti biskuit dan cemilan.
Mengantisipasi kebutuhan pokok di masa pandemi, pemerintah mencadangkan anggaran sebesar Rp25 triliun untuk kebutuhan pokok dan operasi pasar. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dana tersebut untuk mengantisipasi kelangkaan bahan pokok di tengah pandemi Corona.
“Selain menyiapkan jaring pengaman sosial guna menjaga daya beli, pemerintah menyiapkan program padat karya tunai. Program utamanya ditujukan bagi masyarakat lapisan bawah di perdesaan yang terdampak pandemi,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah telah menyiapkan anggaran, tata laksana penyediaan dan produksi pangan juga akan diawasi ketat sehingga menjadi jaminan ketahanan pangan nasional tercukupi dalam kurun waktu tertentu.
Namun lebih dari itu, jaminan stok pangan jangan hanya sekeder di atas kertas, tapi perlu dicermati rantai distribusi bahan pokok agar benar-benar lancar, baik melalui pelabuhan udara, laut maupun transportasi darat.
Tantangan lainnya, kepolisian konsisten mengawasi dan berani menangkap para penimbun bahan pokok yang mencoba memburu keuntungan di saat masyarakat membutuhkan. Sedangkan, Satuan Tugas Pangan di pusat dan daerah harus selalu mengontrol stabilitas harga.