Padang, (ANTARA) - Senin 23 September 2019 kerusuhan pecah di Wamena, kota terbesar di Pegunungan tengah Papua yang menelan korban tewas hingga 32 orang, puluhan luka hingga ribuan orang mengungsi meninggalkan daerah yang berada di Lembah Baliem tersebut.
Tidak hanya menelan korban jiwa, kerugian materil yang diderita menyebabkan ratusan ruko dan rumah hangus terbakar termasuk kantor bupati hingga kendaraan roda dua dan empat.
Kerusuhan yang terjadi di Wamena juga menyisakan duka mendalam bagi warga Minang karena tercatat sembilan orang perantau turut menjadi korban meninggal dunia.
Dari sembilan warga Minang yang tewas hampir sebagian besar berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan dan berdasarkan data yang dihimpun tak kurang dari 1.500 orang Minang mengadu nasib di Wamena sebagai perantau.
Siapa yang tak akan berduka saat keluarga yang berjuang di tanah rantau demi mencari penghidupan yang lebih baik kini hanya pulang nama dalam peti jenazah.
Beragam tanggapan pun muncul dari warga Minang menyikapi peristiwa tersebut mulai dari yang emosional, meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas hingga mengajak warga menahan diri dan bijaksana menyikapi.
Apalagi beragam informasi simpang siur berkembang terkait dengan kerusuhan tersebut yang beredar di media sosial mulai dari grup whatsap, facebook dan lainnya.
Bijak bermedia sosial
Beberapa hari setelah peristiwa terjadi Anggota DPRD Sumatera Barat Muhammad Ridwan mengimbau masyarakat bijak menggunakan media sosial menyikapi kasus kerusuhan di Wamena yang menewaskan sembilan orang warga Minang.
"Sebagai warga Minang kita ikut merasakan duka yang mendalam terhadap korban yang banyak berasal dari Sumatera Barat," kata dia.
Ia menyampaikan kasus tersebut harus diusut tuntas oleh penegak hukum, akan tetapi masyarakat harus hati-hati dalam menggunakan media sosial menyikapi kasus ini agar suasana tidak semakin keruh.
Menurutnya tidak ada satu pun alasan yang bisa dibenarkan terkait aksi kerusuhan yang menewaskan warga Minang di Wamena karena mereka adalah warga sipil yang tidak bersalah.
Namun jangan sampai ada pihak yang memprovokasi di media sosial sehingga muncul persoalan baru yang berpeluang terjadinya konflik horizontal, katanya.
Ia mengingatkan jika ada masyarakat yang menerima informasi soal perkembangan terbaru di Papua maka pastikan dulu kebenarannya dengan melakukan tabayun atau verifikasi sumber informasi.
"Jangan sampai karena emosi kemudian malah menyebar informasi yang tidak akurat sehingga situasi makin rumit," ujarnya.
Menurutnya bisa saja ada pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi ini untuk memperkeruh suasana dengan membuat ujaran provokasi di media sosial.
"Ini yang perlu diwaspadai, siapa pun wajar emosi menyikapi hal ini namun tetap harus dalam koridor yang benar sehingga tidak tergelincir pada perilaku yang berpotensi melanggar hukum," katanya.
Imbauan serupa juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Padang yang mengajak jurnalis dan media di Sumatera Barat lebih berhati-hati dalam menyajikan pemberitaan soal terbunuhnya warga Minang di Wamena Papua agar tidak memperkeruh suasana.
"Kita tentu mengutuk kejadian itu, sedih dan bersimpati kepada korban, namun AJI perlu mengingatkan media untuk bersikap hati-hati dalam pemberitaan agar suasana tidak semakin panas," kata Ketua AJI Padang Andika Destika Khagen
Menurutnya media saat ini dibutuhkan untuk ikut menciptakan kondisi yang lebih baik.
"Meski ada penyerangan dan meninggalnya puluhan orang, namun penyajian berita yang vulgar justru akan memperkeruh suasana dan kemungkinan akan menambah korban jiwa. Untuk itu, penyajian berita yang secara terang-terangan mengandung unsur Suku Agama Ras dan antargolongan (SARA) perlu dihindari," kata dia.
Tak hanya itu salah satu elemen masyarakat Minang yakni Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM) menemui Danrem 032 Wirabraja meminta penjelasan apa sebenarnya yang terjadi di Wamena serta mencari tahu perkembangan terbaru.
Usai pertemuan Ketua Mahkamah Adat Alam Minangkabau Tengku Irwansyah mengimbau semua elemen masyarakat di Minangkabau tidak ada provokasi melakukan agitasi serta memobilisasi anak nagari Minangkabau untuk melakukan tindakan balas dendam.
Dalam momen seperti ini, menurut Irwansyah, saatnya warga Minangkabau mempraktikkan nilai-nilai keminangkabauan. Yaitu filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK).
Untuk memastikan kondisi perantau Minang terkini di Wamena, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit memutuskan berkunjung langsung ke Wamena pada 27 September 2019.
Nasrul pun bertemu langsung dengan Gubernur Papua Lukas Enembe yang menyampaikan permohonan maaf dan siap melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi aset-aset milik pemerintah daerah, rumah, serta toko dan kios masyarakat yang rusak juga terbakar.
Sebelumnya pada Mei 2017 Gubernur Papua Lukas Enembe diberikan penghargaan dari masyarakat Minangkabau berupa penganugerahan gelar adat sebagai Sang Sako Sutan Rajo Panglimo Gadang” yang berarti Sultan Raja Panglima Besar oleh Sholihin Jusuf Kalla.
Pemberian gelar adat tersebut dilakukan saat Gubernur Lukasmengunjungi rumah gadang Sholihin Jusuf Kalla DT. Rajo Penghulu, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Pada sisi lain Pemprov Sumbar juga melakukan penggalangan dana untuk memulangkan perantau Minang di Wamena dengan kebutuhan dana mencapai Rp4,5 miliar melalui membuka rekening donasi peduli yang hingga ditutup pada 18 Oktober 2019 dana yang masuk mencapai Rp6,1 miliar.
Jaminan Keamanan
Tak hanya sampai di situ Pemerintah Kota Padang juga berinisiatif menggelar pertemuan dengan mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di Sumatera Barat.
Wali Kota Padang Mahyeldi menyampaikan mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di kota itu tidak perlu khawatir dengan keamanan dan keselamatan serta meminta mereka tetap fokus menuntut ilmu.
"Ketika mahasiswa Papua berada di Kota Padang, masyarakat tidak pernah menanyakan penduduk asli dan tidak asli dan tidak pula pernah ada ungkapan penduduk asli dan tidak asli, semuanya adalah warga kota Padang," kata dia.
Menurutnya tugas pemerintah Kota Padang memberikan perlindungan kepada seluruh warganya tidak memandang warna kulit, agama, dan bahasanya dari mana asal usulnya karena ini Pemerintahan Indonesia dan semangat seperti ini ada di Pemerintah Kota Padang.
Ia mengingatkan mahasiswa Papua yang ada di Padang jangan sampai gagal mengikuti perkuliahan dan harus sukses dan tamat dengan nilai terbaik dalam waktu yang lebih pendek.
"Anggaplah jajaran Pemerintah Kota Padang, Forkompinda, masyarakat dan alim ulama sebagai orang tua sendiri, jangankan dari Papua dari Patani kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) diberikan bantuan dan dukungan," ujarnya.
Ia juga berpesan begitu selesai kuliah membawa ilmu mari bangun tanah Papua dan jangan lupakan masyarakat Minang.
Tidak hanya itu menurutnya pemerintah kota Padang menyediakan anggaran bagi masyarakat yang mengalami permasalahan terkait pendidikan atau kegiatan lainnya.
Mahasiswa Papua terdaftar mengikuti perkuliahan di Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Andalas dan Politani Payakumbuh.
Ia menyampaikan Papua adalah bagian dari pada NKRI, Papua saudara dari ranah Minang.
Ketika terjadi kerusuhan di Papua masyarakat kota Padang merasakan, dan ini yang dianjurkan oleh adat istiadat, agama di Indonesia bahwasanya ibarat suatu tubuh yang sakit maka semua merasakan, ujarnya.
Selain itu Papua memiliki kekhususan sehingga Pemerintah menggelontorkan dana otonomi khusus (Otsus) pada 2020 untuk pembangunan di Papua.
Ini menunjukan pemerintah Republik Indonesia memberikan perhatian serius untuk Papua dan kami masyarakat Sumatera Barat tidak pernah menanyakan atau protes akan hal itu, kami ingin Papua jauh lebih maju, dan keinginan seperti itu pula yang ada pada semangat Pemerintah Republik Indonesia," katanya.
Pada sisi lain ia menyampaikan masyarakat Minang paling mudah berinteraksi dengan suku lain karena ketika orang Minang berada pada suatu tempat akan menyatu dengan warga setempat.
Tradisi Merantau
Mungkin ada yang bertanya apa alasan orang Minang mau meninggalkan kampung halaman untuk menjejakkan kaki ke daerah lain demi penghidupan yang lebih baik, kendati jauh sekali pun.
Salah satu jawabannya adalah pepatah Minang yang terkenal soal merantau, yaitu "ka ratau madang di hulu, ba buah ba bungo balun, marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun".
Pepatah tersebut bermakna setiap anak lelaki di Minangkabau dianjurkan pergi merantau untuk mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kehidupan yang lebih baik, karena ketika muda belum bisa berkontribusi dalam membangun kampung.
Kemudian setelah berhasil di rantau maka diwajibkan pulang untuk membangun kampung halaman.
Hal itu menjadikan merantau sebagai tradisi sehingga jumlah warga Minang yang ada di perantauan jauh lebih besar ketimbang yang ada di Sumbar.
Sejalan dengan itu Sosiolog Mochtar Naim dalam bukunya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau menjelaskan merantau pada Suku Minang telah melembaga dan jadi bagian kehidupan pribadi dan sosial.
Karena itu hampir bisa dipastikan pada semua daerah di Tanah Air ada orang Minang yang merantau sebagaimana bisa menjumpai rumah makan Padang di mana pun.
Menurut Mochtar, makna merantau mengandung enam unsur, yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu lama atau tidak, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang, dan merantau telah menjadi lembaga sosial yang membudaya.
Salah satu ciri khas perantau Minang adalah ketika sudah sukses di perantauan tetap memiliki ikatan batin, kepedulian dan kecintaan terhadap kampung halaman.
Ini tergambar dalam pepatah setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan juga. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Pemprov Sumbar, setelah kerusuhan yang terjadi di Wamena sekitar 700 warga Minang memilih pulang ke kampung halamannya.
Namun Sosiolog dari Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Elfitra menilai pemulangan warga Minang yang menjadi korban kerusuhan di Wamena bukan solusi yang tepat karena yang lebih penting adalah menjamin keamanan warga.
"Yang terpenting adalah bagaimana pihak keamanan dan pemerintah setempat menjamin keselamatan warga, apalagi Wamena masih bagian dari Indonesia dan memiliki kewarganegaraan yang sama," kata dia.
Menurutnya perantau Minang di Indonesia bagian timur sudah ada yang menetap beberapa generasi serta lahir di sana hingga menganggap Papua sebagai kampung mereka.
"Pemerintah harus membuat sejumlah pilihan, tidak mutlak harus dipulangkan semua, tetapi bagi yang ingin kembali ke kampung halaman tentu difasilitasi," ujarnya.
Ia menilai pelaku kerusuhan diduga bukan warga setempat dan yang jadi korban bukan hanya pendatang saja.
Terkait dengan fenomena merantau warga Minang dari Sumatera Barat hingga ke Wamena, Papua, ia melihat hal ini terjadi karena daerah rantau di kota besar sudah mengalami kejenuhan ekonomi.
"Idealnya kan merantau itu dari desa ke kota, akan tetapi jika di kota persaingan sudah ketat dan ruang usaha kian menyempit akhirnya banyak yang memilih ke daerah lain yang sedang berkembang," ujarnya.
Ia menilai pilihan masyarakat dalam memutuskan daerah tujuan rantau salah satunya adalah daerah yang dianggap berkembang dan memiliki potensi yang bagus.
Apalagi pada akhir Orde Baru kebijakan pembangunan mengarah pada Indonesia timur sehingga daerah tersebut menjadi salah satu tujuan perantauan warga Minang, ujarnya.
Ia mengemukakan karena pesatnya perkembangan menyebabkan daerah Indonesia timur menjadi pilihan bagi orang Minang untuk merantau.
"Di Papua, contohnya, karena keandalan menjembatani kebutuhan masyarakat akhirnya perantau Minang bisa eksis di sana," katanya.
Ia menambahkan kendati ada perbedaan budaya, etnis dan agama tapi karena perkembangan ekonomi bagus itu yang menjadi pertimbangan