Pemprov Kaji Pembatalan Kontrak Swastanisasi Air Jakarta

id Pemprov Kaji Pembatalan Kontrak Swastanisasi Air Jakarta

Jakarta, (Antara) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengkaji dampak pembatalan kontrak swastanisasi pengelolaan air oleh perusahaan asing di ibu kota jika hal tersebut benar-benar dilaksanakan. "Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyatakan setuju dengan tuntutan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KKMSAJ) untuk membatalkan kontrak dengan swasta asing," kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara; tergabung dalam KKMSAJ) Abdul Halim, Jumat. Menurut Abdul Halim, setelah bertemu dengan KKMSAJ di Balai Kota Jakarta, Rabu (27/3), Gubernur DKI Jokowi menyatakan perlu untuk mengkaji implikasi hukum dan bagaimana menghadapinya untuk membatalkan kontrak. Selain itu, ujar dia, Jokowi juga menyatakan bahwa permasalahan air pada pokoknya terdapat di perjanjian kerja sama antara Perusahaan Air Minum (PAM) dengan pihak swasta asing. Abdul Halim berpendapat, perjanjian tersebut membuat Pemprov DKI tidak bisa berbuat apa-apa padahal sebenarnya mampu mengelola sendiri air di Jakarta terlebih DKI mempunyai APBD yang cukup besar. Ia memaparkan, argumentasi KMSSAJ untuk membatalkan kontrak konsesi swastanisasi air Jakarta yang telah berlangsung selama 16 tahun itu karena perjanjian swastanisasi air dinilai telah melanggar Pasal 33 UUD 1945. Perjanjian swastanisasi air, ujar dia, juga berisi klausul yang merugikan dan mengakibatkan negara kehilangan kedaulatan atas airnya sendiri. "Swastanisasi air juga mengakibatkan pengalihan fungsi penjamin kesejahteraan dari negara ke keluarga, terutama perempuan yang memperoleh peran dan tanggung jawab produktif dan reproduktif dalam keluarga dan masyarakat. Buruknya akses air dan sanitasi semakin menambah beban kerja perempuan, meningkatkan situasi kekerasan terhadap perempuan, mengancam jiwa dan kesehatan reproduksi perempuan," katanya. Ia juga mengatakan, swastanisasi pengelolaan air telah menambah beban hidup masyarakat terutama masyarakat miskin dengan pendapatan rata-rata Rp1juta/bulan, mereka harus mengeluarkan sekitar Rp500 ribu untuk membeli air dari pedagang air eceran. Ironisnya, lanjutnya, justru keluarga nelayan yang berada di desa-desa pesisir harus membeli air minum lebih tinggi ketimbang desa yang bukan berada di wilayah pesisir. "Tegasnya, swastanisasi, sarana pelayanan yang minim, dan buruknya kualitas lingkungan di perkampungan nelayan menjadikan mereka harus membeli kebutuhan air setiap harinya," katanya. KMMSAJ mengusulkan kepada Gubernur agar menyiapkan audit independen mengenai dampak teknis, keuangan, sosial, ekonomi, lingkungan, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan air akibat konsesi. Audit tersebut, ucapnya, untuk menilai seberapa besar kerugian sebenarnya dari konsesi air Jakarta, termasuk harga yang harus ditanggung sebagai akibat dari pelayanan yang buruk. (*/sun)