Surabaya, (Antaranews Sumbar) - Pemerintah Indonesia telah menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional untuk mengingat hak-hak dan permasalahan serta solusinya yang dihadapi anak-anak.
Salah satu permasalahan yang saat ini masih dihadapai anak-anak Indonesia adalah belum ada perlindungan yang maksimal dari bahaya rokok, sementara iklan rokok cenderung mengarah pada anak-anak dengan menampilkan gaya hidup orang muda.
Begitu pula dengan penjualan rokok yang dilakukan secara bebas dengan harga yang relatif murah, bahkan bisa dalam bentuk eceran per batang, memudahkan anak untuk membeli rokok dengan uang sakunya.
Berbagai undang-undang di Indonesia telah mengaturnya, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai juga secara tegas mengenakan cukai terhadap produk tembakau karena memiliki sifat konsumsi yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Bangun Kesadaran
Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari mengatakan pendidikan antinarkoba kepada anak-anak dan remaja seharusnya diawali dengan pengetahuan dan kesadaran tentang bahaya rokok.
"Karena menurut Badan Narkotika Nasional, rokok merupakan pintu gerbang ke narkoba," katanya.
Lisda mengatakan pendidikan antinarkoba baik dan perlu dilakukan untuk memberikan penguatan kepada anak dan mencegah penyalahgunaannya di kalangan anak-anak, termasuk ketika mereka dewasa.
Namun, melakukan pencegahan dini, yaitu mencegah anak-anak menjadi perokok, akan lebih efektif dalam upaya mencegah mereka terjerat bahaya narkoba.
"Pemerintah mencanangkan darurat narkoba, seharusnya juga mencanangkan darurat rokok. Apalagi, usia merokok di Indonesia semakin muda, data ini bukan isapan jempol karena didapat melalui penelitian dan survei yang ilmiah," tuturnya.
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 menunjukkan terdapat 20,3 persen remaja Indonesia berusia 13 tahun hingga 15 tahun yang merokok.
Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar 2014 menyatakan perokok pemula remaja usia 10 tahun hingga 14 tahun pada 10 tahun terakhir naik dua kali lipat dari 9,5 persen pada 2001 menjadi 18 persen pada 2013.
Kementerian Kesehatan menargetkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4 persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, prevalensi perokok usia tersebut pada 2015 malah meningkat dari 7,2 persen menjadi 8,8 persen.
Lisda mengatakan industri rokok sangat jelas menyasar anak-anak untuk menjadi perokok. Pemantauan yang dilakukan 170 anak anggota Forum Anak di 10 kabupaten/kota di Indonesia atas prakarsa Yayasan Lentera Anak yang menemukan 2.868 iklan, promosi dan sponsor rokok yang bertujuan menyasar anak-anak sebagai para calon perokok.
Pemantauan dilakukan di Bandar Lampung, Batu, Banjarmasin, Bekasi, Kupang, Mataram, Pasaman Barat, Pekanbaru, Semarang dan Tangerang Selatan.
Sebanyak 74,6 persen iklan rokok yang ditemui menampilkan merek rokok. Iklan rokok dinilai semakin gencar untuk memperkenalkan produknya karena sebelumnya iklan rokok mengusung tema tertentu.
Selain itu, 80,2 persen promosi rokok yang ditemukan mencantumkan harga rokok. Sebanyak 78,9 persen mencantumkan harga rokok per batang dan 79,2 persen mempromosikan harga murah Rp600 hingga Rp1000 per batang.
"Tujuannya jelas untuk mempermudah anak-anak memperhitungkan uang sakunya untuk membeli rokok," kata Lisda.
Iklan, promosi dan sponsor rokok di kota-kota tersebut berada di hampir semua tempat publik. Itu berarti, di mana pun anak-anak berada, mereka berpeluang terpapar iklan, promosi dan sponsor rokok.
Promosi yang dianggap menyasar anak antara lain menggambarkan aktivitas petualangan, olahraga dan bermusik, juga mengeluarkan jargon yang menyuarakan kebebasan, suatu kondisi yang disukai anak-anak.
Layak Anak
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok merupaan salah satu indikator penilaian kabupaten/kota layak anak.
"Tentu perlu waktu. Memang proses panjang karena rokok sudah ada jauh lebih dulu sebelum ada penilaian kabupaten/kota layak anak. Namun, kita harus menempatkan kepentingan terbaik anak yang nomor satu dalam tujuan pembangunan," katanya.
Menurut Lenny, pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok adalah bagian dari pengendalian tembakau yang merupakan kepentingan terbaik anak yang harus dikedepankan.
Tujuan akhir dari penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak, adalah mencapai Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030.
Perlindungan anak dari bahaya rokok merupakan investasi bagi masa depan bangsa Indonesia. Sumber daya manusia berkualitas diawali dari anak yang berkualitas. Anak berkualitas bila tumbuh kembangnya baik, tidak terkena asap rokok.
Pada 2017, terdapat 87 juta anak di Indonesia. Jumlah itu harus dipertahankan untuk menjadi generasi emas pada 2045 dengan melindungi mereka dari bahaya rokok.
Temuan dari berbagai penelitian menunjukkan usia mulai merokok pada anak-anak semakin muda. Itu menunjukkan perlindungan anak-anak dari bahaya rokok semakin buruk.
"Kita tidak bisa diam, perlu ada intervensi," ujarnya.
Larangan Iklan
Apakah pemerintah daerah bisa melarang iklan, promosi dan sponsor rokok? Peneliti Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR Rohani Budi Prihatin mengatakan susunan hukum di Indonesia memungkinkan untuk itu.
Konstruksi hukum pertama adalah Pasal 28B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut berbunyi "Setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".
"Rokok jelas mengganggu tumbuh kembang anak. Pelarangan rokok sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Selain konstitusi, sejumlah undang-undang juga bisa menjadi dasar hukum untuk melarang iklan rokok, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 65 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyebutkan "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya".
Menurut Budi, yang dimaksud "zat adiktif lainnya" pada berbagai undang-undang adalah rokok. Namun, pembuat undang-undang tampaknya tidak mau mencantumkan kata "rokok".
"Saya kerap membuat kajian untuk dasar DPR membuat undang-undang. Sulit sekali mencantumkan kata rokok. Di undang-undang, selalu yang disebutkan 'zat adiktif lainnya'," katanya.
Pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok bisa dilakukan di daerah bila ada kemauan dari kepala daerah dan peraturan. Bila kepala daerahnya sudah berkomitmen, dibuat peraturannya.
Apakah sudah ada kabupaten/kota atau provinsi yang melarang iklan rokok? DKI Jakarta, Kota Pekalongan, Kota Payakumbuh, Kota Padang Panjang dan Kota Bogor merupakan contohnya.
Provinsi DKI Jakarta pada saat dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama telah mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame.
Pasal 12 Ayat (4) Peraturan itu berbunyi "Penyelenggara Reklame/Biro Reklame dan pemilik Reklame/produk dilarang menyelenggarakan Reklame rokok dan produk tembakau pada kawasan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur".
Selain itu juga terdapat Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau Pada Media Luar Ruang.
Kota Pekalongan memiliki Peraturan Walikota Nomor 36 Tahun 2011 tentang Larangan Reklame Rokok di Kota Pekalongan. Walikota saat itu seorang dokter, Mohammad Basyir Ahmad.
"Setelah ganti walikota, pelaksanaan peraturan itu menjadi berbeda," tutur Budi.
Sementara itu, Kota Payakumbuh memiliki Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kota Padang Panjang berawal melalui komitmen Walikota Suir Syam sejak 2010.
Kota Padang Panjang termasuk kelompok pertama daerah yang memelopori pengendalian konsumsi rokok dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tertib Rokok.
Pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok yang berbeda dilakukan Kota Bogor yang memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Reklame dan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Pemerintah Kota Bogor bahkan melarang pemajangan produk rokok di minimarket. Pajangan rokok harus ditutup karena menurut mereka memajang produk rokok sama dengan mempromosikan rokok.