Melihat kemolekan Masjid Asasi, masjid tertua di Padang Panjang

id Masjid Asasi,Masjid Tertua di Padang Panjang,Masjid Cagar Budaya

Melihat kemolekan Masjid Asasi, masjid tertua di Padang Panjang

Masjid Asasi di Sigando, Nagari Gunung, Kota Padang Panjang, Sumbar. (ANTARA SUMBAR/Ira Febrianti)

Rabu siang (30/5) itu suasana teduh terasa ketika memasuki gerbang Masjid Asasi yang berada di Kelurahan Sigando, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.

Alunan ayat suci Al Qur'an terdengar lewat pengeras suara yang dilantunkan sejumlah murid SD sedang mengikuti Pesantren Ramadhan di rumah ibadah itu.

Sayup-sayup juga terdengar suara air yang berasal dari kaki Gunung Marapi mengalir selama 24 jam ke kamar mandi dan tempat berwudhu yang berada di depan masjid.

Ketika melihat sekilas Masjid Asasi, bagian atapnya akan langsung mengingatkan pada atap Masjid Agung Demak yang berbentuk limas berjumlah tiga tingkat. Sementara bangunan yang berjendela dan penuh ukiran mirip dengan Rumah Gadang, rumah adat Sumbar.

"Atapnya ada yang berbentuk limas dan ada bagian yang berbentuk gonjong seperti pada Rumah Gadang. Masjid Asasi adalah masjid tertua di Padang Panjang, Sesuai namanya, Asasi diambil dari asas yang berarti dasar atau sesuatu yang jadi tumpuan," kata guru Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA) Masjid Asasi G Datuk Pono Batuah.

Masjid Asasi tersebut berlokasi di Jalan Syeh Ibrahim Musa, Kelurahan Sigando. Untuk menuju ke sana, dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan empat sekitar setengah jam dari pusat Kota Padang Panjang .

Berdasarkan buku tentang 10 masjid tertua di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, Masjid Asasi adalah yang tertua ke dua yakni dibangun sekitar awal tahun 1400.

Sedangkan berdasarkan kesepakatan para tokoh masyarakat dan pemuka agama setempat pada sekitar tahun 1900, disepakati bahwa masjid itu dibangun pada 1718.

"Sampai saat ini memang belum diketahui pasti kapan tepatnya dibangun karena memang belum dikaji. Namun yang jelas masjid ini adalah tempat berpusatnya aktivitas Islam dari empat nagari," terangnya.

Masjid Asasi dibangun atas gagasan masyarakat dari empat nagari yaitu Gunung, Paninjauan, Tambangan dan Jawo di lahan yang juga adalah hibah dari masyarakat.

Dulu, segala aktivitas keagamaan warga dari empat nagari itu berlangsung di masjid tersebut. Masjid itu juga menjadi pusat aktivitas keagamaan para santri dari Pondok Pesantren Tawalid yang berada di sekitar masjid itu.

Dari lahan yang dihibahkan warga untuk masjid ada yang berupa sawah. Sawah itu dikelola dan hasilnya dibagi dua, untuk pengelola dan untuk keperluan masjid.

"Sampai saat ini pola tersebut masih berjalan dengan luas sawah yang dikelola empat tumpak, semuanya berada di Nagari Gunung," katanya.

Seiring perjalanan waktu dan berkembangnya ekonomi masyarakat, masing-masing nagari mulai membangun sendiri masjid untuk lebih memudahkan aktivitas keagamaan karena lokasi lebih dekat. Namun Masjid Asasi tetap menjadi tempat warga Nagari Gunung menjalankan aktivitas agama.

Nagari Gunung terdiri atas empat kelurahan yaitu Sigando, Gantiang, Ekor Lubuk dan Ngalau. Sigando kini menjadi salah satu desa wisata, yaitu desa wisata budaya dan religi.

Masjid Asasi telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya karena usianya dan punya arti khusus dalam pendidikan dan keagamaan. Hingga kini bangunan tersebut telah dua kali diperbaiki secara keseluruhan tanpa mengubah bentuk aslinya.

Perbaikan yang dilakukan yaitu pada bagian atap yang semula berupa ijuk diganti menjadi atap seng dan perbaikan pada dinding kayu bagian dalam masjid.

Lalu ada perbaikan-perbaikan kecil di beberapa bagian seperti ukiran tapi hanya 10 persen, 90 persen sisanya masih ukiran asli. Ruang shalat yang lantainya kayu dan tiang utama juga masih asli, menunjukkan betapa kokoh hasil kerja dan material bangunan yang digunakan masyarakat dahulu.

Bagian dalam masjid berupa ruang lapang yang ditopang delapan tiang dan satu tiang utama atau "tunggak tuo". Selain ruang lapang sebagai ruang shalat juga terdapat beberapa kamar.

Ada ruang shalat sebagai ruang utama, ada ruang arsip, pustaka dan gharin yang terpisah dari bangunan masjid.

Pada salah satu kamar, masih tersimpan benda kuno seperti brangkas dari Belanda yang sudah tidak bisa dibuka karena tidak ada yang mengetahui cara membukanya.

Di halaman tepatnya sisi kanan masjid, terdapat satu bangunan kecil menyerupai rangkiang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan tabuh atau beduk. Semula bangunan seperti rangkiang itu berjumlah dua unit namun salah satunya hancur karena usia.

Meskipun teknologi sekarang sudah canggih, namun masyarakat Sigando masih menambuh tabuah untuk mengingatkan umat Muslim di daerah itu akan masuknya waktu shalat.

Masjid Asasi beberapa tahun lalu sudah pernah diajukan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya di Batusangkar untuk dikaji kapan tepatnya pembangunan dilaksanakan namun sampai saat ini belum terlaksana.

Sebelumnya juga pernah ada anggota DPRD yang mencoba menelusuri sejarahnya hingga ke Leiden di Belanda, namun sayangnya tidak ada izin untuk sekadar membuat salinan dari catatan sejarah masjid ini.

Hingga hari ini, Masjid Asasi masih berdiri kokoh dan menjadi tempat beraktivitas keagamaan bagi warga dan anak sekolah di sekitarnya.

Wisata Religi

Kelurahan Sigando adalah satu dari dua desa wisata yang ada di daerah berjuluk kota Serambi Mekah tersebut. Sekretaris Dinas Pariwisata setempat, Dalius menyebutkan selain Sigando desa wisata lainnya yaitu di Kelurahan Kubu Gadang.

Sigando dikenal dengan Masjid Asasi yang menjadi salah satu pusat perkembangan Islam khususnya di daerah tersebut sedangkan Kubu Gadang terkenal karena atraksi Silek Lanyah.

Jika ada kunjungan wisatawan, pihaknya mengupayakan promosi kedua desa wisata itu pada para tamu misalnya ketika acara Temu Penyair Asia Tenggara awal Mei 2018 menginapkan tamu di Sigando dan Kubu Gadang.

G Datuk Pono Batuah mengatakan Masjid Asasi beberapa kali pernah dikunjungi tokoh agama dari berbagai negara seperti Mesir, Maroko dan Thailand.

"Mereka selain datang untuk beribadah di masjid ini juga berbagi ilmu mengenai ajaran Islam," katanya.

Pada saat Ramadhan maupun hari-hari biasa, wisatawan dari Sumbar dan luar Sumbar juga sering mampir ke masjid itu dan biasanya sambil diabadikan dengan berfoto.

"Dalam dua pekan Ramadhan tahun ini ada beberapa yang datang dari Pekanbaru dan Dumai," katanya.

Biasanya tiga hari jelang Idul Fitri, para remaja masjid di sana mulai memeriahkan suasana di Sigando menyambut Hari Raya dengan memukul tabuh atau disebut "garitiak tabuah" dan dapat dijadikan sebagai sebuah daya tarik wisata.

Suasananya yang teduh dan juga sebagai cagar budaya membuat rumah ibadah tersebut cocok dikunjungi sebagai tujuan wisata religi. (*)