Sejak 1990 Sumatera Barat sudah dikenal publik melalui beberapa film yang ditayangkan secara nasional dengan mengambil latar cerita dan tempat produksi di Ranah Minang.
Pada 1991 TVRI memproduksi film berjudul Sengsara Membawa Nikmat diadopsi dari novel karya Sutan Sati berlatarkan Minangkabau menampilkan kebolehan Desy Ratnasari beradu akting dengan aktor Sandy Nayoan.
Pada tahun yang sama Gusti Randa, Novia Kolopaking dan Him Damsyik juga beradu akting dalam film Siti Nurbaya yang disutradarai oleh Dedi Setiadi.
Bahkan pada zaman Hindia Belanda tepatnya tahun 1942 roman karya sastrawan Marah Rusli ini juga pernah difilmkan dengan sutradara Lie Tek Swie dan dibintangi oleh Asmanah, Momo dan Soerjono.
Beberapa tahun belakangan Minangkabau kembali dilirik oleh para produser film nasional untuk kembali menjadi latar dalam film-film yang akan diproduksi.
Dua roman karya Buya Hamka sudah diangkat ke layar lebar, yang pertama ialah Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Kedua film ini berhasil menyihir para penonton untuk kembali ke zaman tradisional Minangkabau yang kental dengan adat dan budaya.
Kini di Sumatera Barat mulai hadir para sineas yang memproduksi film dengan mengangkat lokalitas sebagai tema dari film mulai dari film pendek hingga layar lebar.
Salah seorang sutradara muda asal Kota Bukittinggi, Arif Malinmudo mengatakan Minangkabau kaya dengan kebudayaan yang tidak akan pernah habis jika dikaji satu persatu.
Ia mengatakan film Surau dan "Silek" atau silat yang baru saja selesai ia produksi adalah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang tersimpan di Minangkabau.
"Dari sekian banyak tema lokalitas yang ada di Sumbar, saya lebih tertarik pada hal ini karena surau merupakan pusat interaksi bagi anak-anak dan orang dewasa dalam berbagi ilmu," katanya.
Ia menjelaskan pada zaman dahulu surau merupakan lembaga pendidikan informal yang di dalamnya terdapat berbagai macam pelajaran, seperti pendidikan soal agama, adat dan juga bela diri.
Setiap anak-anak dahulunya akan menginap di surau. Di sana mereka akan berinteraksi dengan sesamanya di bawah bimbingan guru yang kemudian membentuk karakter dan watak mereka.
"Di surau akan terjadi interaksi dan ini semacam sebuah tradisi yang turun temurun, sebab guru-guru tersebut dahulunya juga melalui masa yang sama dengan anak-anak tersebut," kata Arif.
Ia menambahkan surau sebenarnya merupakan saksi dari perkembangan generasi muda Minang. Di sana mereka akan memperoleh bekal untuk kehidupan, apakah selanjutnya mereka akan pergi merantau atau tetap menetap di kampung.
Hal tersebut membuatnya lebih tertarik untuk menjadikan surau dan silek sebagai tema utama dalam film yang akan tayang secara nasional pada 27 April 2017.
Secara ringkas ia menjabarkan film tersebut bercerita tentang tiga orang anak kecil yang berambisi untuk memenangkan sebuah pertandingan hingga kemudian belajar silat pada seorang pemuda kampung yang bernama Rustam.
Akan tetapi di tengah perjalanan Rustam harus pergi merantau sehingga ketiga anak ini jadi kehilangan arah dan terpaksa harus mencari guru silat pengganti dan di sini mereka mulai mengerti tentang filosofi silat.
"Sekalipun berjudul silat, akan tetapi sebenarnya film ini merupakan drama anak-anak, jadi nantinya tidak akan ditemukan adegan perkelahian," katanya.
Arif menambahkan penggunaan bahasa Minang dalam film ini cukup besar, yaitu sampai 80 persen serta aktor utamanya merupakan asli keturunan Minang.
Sementara itu sutradara muda lainnya Ferdinand Almi mengatakan cukup banyak kekayaan budaya Sumbar yang bisa diangkat ke layar lebar, baik itu dari adat, tradisi serta kesenian.
Almi menceritakan pada produksi sebelumnya ia mengangkat tema tentang adat pernikahan di daerah Pariaman dengan daerah Limapuluh Kota dalam film berjudul 'Salisiah Adaik'.
Menurutnya film ini menceritakan tentang perbedaan adat antara dua daerah yang akhirnya berdampak pada sepasang kekasih yang akan melangsungkan pernikahan.
"Film ini cukup mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penonton dan alhamdulillah tahun 2014 film ini mendapatkan penghargaan pada kategori film daerah terpilih 2014 dalam ajang Piala maya di Jakarta," katanya.
Selanjutnya ia menceritakan beberapa waktu yang lalu pihaknya baru saja menyelesaikan produksi film baru yang juga mengangkat unsur lokalitas sebagai tema dalam filmnya.
"Film terbaru yang saya sutradarai adalah film 'Minanga Kanwa' yang juga akan bercerita tentang keragaman budaya yang ada di Sumbar," katanya.
Ia menjelaskan Minanga Kanwa adalah film dengan genre Musikal Anak yang di dalamnya terdapat nyanyi-nyanyian dan dihadirkan untuk tontonan keluarga.
"Ini adalah film drama musikal anak-anak yang dalam produksinya melibatkan aktor-aktor lokal," katanya.
Selain mengangkat tema tentang budaya lokal, kedua film karya sutradara muda Sumatera Barat ini juga memperkenalkan keindahan alam yang memesona.
Arif Malinmudo mengatakan dalam film Surau dan Silek ia mengambil beberapa lokasi strategis di kawasan Bukittinggi, Agam dan juga Kabupaten Limapuluh Kota.
"Beberapa lokasi di Kota Bukittinggi yang dijadikan sebagai latar dalam film ini di antaranya adalah Ngarai Sianok dan Jam Gadang," katanya.
Sementara itu Ferdinand Almi juga menjadikan keindahan alam Sumatera Barat dalam filmnya, pada film Minanga Kanwa sendiri ia melakukan pengembilan gambar di beberapa daerah, seperti Bukittinggi, Agam dan Padang Panjang.
"Untuk landscape kami mengambil beberapa scene di Lembah Harau serta kawasan Istana Pagaruyuang Batusangkar," katanya.
Munculnya para sutradara muda dari Ranah Minang dengan karya-karya lokal diharapkan menjadi sarana memperkenalkan Sumatera Barat di layar kaca. (*)