Rupiah Kuat , Bangsa Berdaulat , Rakyat Bermartabat

id rupiah

Rupiah  Kuat , Bangsa  Berdaulat , Rakyat  Bermartabat

Petugas Teller menumpuk uang rupiah di Bank Permata Jakarta. (Foto Ismar Patrizki/Antara)

Padang, (Antara) - Uang, duit, pitih, kepeang, money, angko-angko dan berbagai sebutan lainnya memang fenomenal. Sejak ditetapkan sebagai alat tukar yang sah, uang memiliki nilai penting di masyarakat.

Uang selalu menjadi pembahasan, uang juga merupakan sendi utama dalam kehidupan. Dalam perspektif ekonom Adam Smith uang hanya dianggap sebagai alat pertukaran semata. Tidak lebih tidak kurang, sifatnya netral dan tidak memiliki nilai sosial.

Namun menurut sosiolog Viviana A Zelizer uang juga memiliki makna sosial. Dari cara memperolehnya kita biasa mendengar istilah uang panas, uang kotor, uang halal dan uang bersih.

Beberapa tahun terakhir populer istilah apel Malang, apel Washington, empek-empek, kacang pukul, korma dan lainnya sebagai sandi yang digunakan koruptor untuk bertransaksi guna mengelabui aparat penegak hukum.

Uang juga telah mengubah tatanan kehidupan. Jika pada awalnya hanya sebagai alat tukar. Saat ini segala aspek kehidupan dapat dinilai dengan uang. Seseorang bisa membeli kekuasaan, nama baik, kepercayaan atau kecerdasan semudah kita membeli kacang goreng.

Tak jarang didengar ungkapan kasih uang habis perkara, atau "ada uang abang di sayang, tak ada uang abang ditendang".

Kalau berbelanja barang dan ada yang berujar mahal, maka hakikatnya adalah karena tidak punya uang, sebab kalau ada uang tak ada yang mahal di muka bumi ini.

Dalam dunia politik, juga ada istilah "money politik" dan "cost politik". Money politik adalah uang yang diberikan kepada pemilih yang bertujuan agar masyarakat memilih si pemberi uang. Cost politik adalah biaya yang dikeluarkan oleh politisi dalam melaksanakan aktivitas perpolitikan.

Pada awal kemerdekaan uang Indonesia yang diberi nama rupiah ternyata tak hanya sebagai nilai tukar semata, namun alat perjuangan untuk menegakkan kedaulatan bangsa.

Dalam pidatonya ketika peluncuran rupiah 30 Oktober 1946 Wakil Presiden Bung Hatta menegaskan dengan hadirnya rupiah maka seluruh rakyat akan berbelanja dengan uang sendiri yang dikeluarkan republik ini.

"Uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu ikut pula tidak berlaku uang De Javasche Bank," ucap Bung Hatta yang disiarkan Radio Republik Indonesia.

Meski sempat mengalami sanering atau pemotongan nilai uang pada 25 Agustus 1959 kini rupiah merupakan alat pembayaran yang sah dengan nominal terendah Rp100 dan tertinggi Rp100.000.

Pada 1 Juni 2015 Bank Indonesia mengeluarkan SEBI No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menindaklanjuti Undang-Undang tentang Mata Uang nomor 7 tahun 2011.

"Jika dulu para pahlawan dan pejuang telah bersusah payah menerbitkan rupiah sudah seharusnya saat ini tetap menggunakannya sebagai alat tukar transaksi dalam negeri," ucap Deputi direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Hermowo Koentoadji.

Sejalan dengan itu pada pidato kenegaraan Sidang Tahunan MPR 2015 Presiden Jokowi menyampaikan guna mendorong penguatan ekonomi nasional melalui transformasi fundamental, pemerintah mewajibkan penggunaan Rupiah untuk transaksi di dalam negeri, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat.

Dimensi Ekonomi

Sebagai konsekuensi global, tidak dapat dihindari saat bertransaksi dengan pihak asing maka rupiah akan berhadapan dengan mata uang negara lain.

Dalam sejarah tercatat nilai tukar rupiah terlemah mencapai Rp16.800 per 1 dolar AS pada Juni 1998. Oleh sebab itu kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi dalam negeri memiliki banyak manfaat dari sisi ekonomi.

Kepala Perwakilan BI Sumbar Puji Atmoko mengatakan sebagai warga negara mengapa harus menggunakan valuta asing untuk transaksi dalam negeri , sementara kita punya mata uang sendiri.

Puji melihat penerapan kewajiban penggunaan rupiah pada transaksi keuangan dalam negeri membuka peluang bisnis "money changer" atau usaha penukaran valuta asing.

"Saat ini di Sumbar sudah ada enam "money changer" yang telah mengantongi izin BI, kami akan memproses kalau ada permohonan baru dan tidak akan dikenakan biaya, kata dia.

Menurut dia setiap perusahaan money changer yang telah mengantongi izin BI ikut mempromosikan dengan mencantumkan di situs Bank Indonesia yang bisa diakses dari seluruh dunia.

Ia menegaskan setiap transaksi yang dilakukan dalam negeri wajib memakai rupiah oleh sebab itu jika ada yang memiliki valuta asing harus menukarkan dulu.

Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Andi Wiyana hampir 70 persen transaksi menggunakan valuta asing untuk dalam negeri sebenarnya tidak perlu terjadi.

"Misalnya sewa apartemen, sewa kantor, beli rumah mengapa harus pakai dolar," ujarnya.

Menurutnya hal ini tidak perlu karena sifat transaksinya individual dan beberapa dengan alasan gengsi atau terlihat lebih keren.

Sementara Deputi direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Hermowo Koentoadji memastikan kewajiban penggunaan rupiah sebagai alat transaksi dalam negeri tidak akan menghambat investasi karena sudah dilakukan kajian dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait.

"Tidak akan menghambat investasi, kekhawatiran yang muncul selama ini lebih kepada mereka yang sudah nyaman menggunakan valas sehingga saat aturan ini diberlakukan merasa kesulitan," ujarnya.

Menurutnya kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi dalam negeri adalah pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Mata Uang nomor 7 tahun 2011 yang disetujui pemerintah bersama DPR yang juga dituangkan dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17/3/PBI/2015.

"Ini sudah dipikirkan secara menyeluruh dari berbagai aspek sehingga dipastikan tidak akan hambat investasi," kata dia.

Ia melihat selama ini ada orang yang sudah nyaman menggunakan valas tiba-tiba saja disuruh memakai rupiah sehingga kaget.

Hermowo mengatakan kewajiban penggunaan rupiah masih ada pengecualian pada lima sektor yaitu transaksi tertentu dalam APBN, penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri dan transaksi perdagangan internasional.

Lalu simpanan di bank dalam bentuk valuta asing serta transaksi pembiayaan internasional, ujarnya.

Simbol Kedaulatan

Lebih lanjut Hermowo mengatakan kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi dalam negeri memiliki dimensi kebangsaan yaitu simbol kedaulatan bangsa yang harus dibanggakan dan dihormati seluruh rakyat.

"Rupiah merupakan satu-satunya alat pembayaran yang sah dalam negeri, oleh sebab itu harus jadi tuan rumah di negara sendiri," kata dia.

Menurut dia masyarakat harus menghargai mata uang sendiri sebab kalau tidak siapa lagi yang akan menghargainya.

Menolak penggunaan rupiah hanya dapat dilakukan jika ada keraguan atas keasliannya atau pembayaran kewajiban tersebut telah diperjanjikan secara tertulis dalam valuta asing, lanjut dia.

Untuk memastikan penggunaan rupiah dalam transaksi dalam negeri BI telah menjalin nota kesepahaman dengan Polri guna mengawasi transaksi yang tidak memakai rupiah.

Jika ada yang menolak rupiah dapat dihukum dengan pidana kurungan paling lama satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Mata Uang, lanjutnya.

Ia mengatakan untuk transaksi yang tidak menggunakan rupiah sudah ada yang ditindak oleh Kepolisian dalam kasus penggunaan valas dalam transaksi oleh turis asing di Batam.

Tantangan

Sejalan dengan penerapan kewajiban penggunaan rupiah salah satu tantangan yang dihadapi adalah membangun infrastruktur yang memadai sehingga masyarakat dapat dengan mudah bertransaksi.

Salah satunya adalah ketersediaan jasa "money changer" yang mencukupi terutama di tempat wisata dan daerah yang ramai dikunjungi wisatawan asing.

Kemudian infrastruktur pendukung transaksi nontunai sehingga semua bisa tercatat.

Tidak hanya itu juga diperlukan kesadaran masyarakat ketika hendak bertransaksi dalam negeri untuk bersikap tegas dan bangga menggunakan rupiah.

Selain itu perlu dibangun kesadaran bersama ketika ada pihak-pihak yang masih menggunakan valuta asing untuk diberikan penjelasan dan penegakan hukum bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut.

Sudah saatnya rupiah harus berdaulat di negara sendiri agar terwujud mata uang yang kuat, bangsa yang berdaulat dan masyarakat bermartabat. (*)