Padang (ANTARA) - Dari peradaban kuno hingga tradisi Nusantara, puisi tetap menjadi media abadi yang mencerminkan perasaan manusia.
Sejak bertahun-tahun lalu, manusia telah menjadikan puisi sebagai wadah untuk mengekspresikan cinta, kehilangan, doa, maupun harapan. Dari syair kuno Mesopotamia, sajak Yunani, hingga pantun dan gurindam di bumi Nusantara, puisi tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Ia hadir sebagai bahasa rasa yang tidak mampu sepenuhnya dijelaskan dengan kalimat biasa.
Bentuk puisi memang berkembang mengikuti zaman. Ada yang menggunakan rima terikat, ada pula yang bebas mengalir tanpa pola. Namun esensinya tetap sama, menyampaikan hal-hal yang sulit diucapkan dengan bahasa sehari-hari. Setiap kata, irama, dan simbol dalam puisi membawa resonansi emosional yang bisa berbeda pada setiap pembacanya.
Di era modern, puisi tidak lagi terbatas pada buku atau majalah sastra. Media sosial, musik, hingga panggung pertunjukan memberi ruang baru bagi puisi untuk berinteraksi dengan khalayak luas. Fenomena ini membuktikan bahwa puisi tetap relevan dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Sastrawan Indonesia, mulai dari Chairil Anwar dengan semangat pembaruan hingga para penyair muda yang aktif berkarya, menunjukkan bahwa puisi adalah bahasa universal yang melampaui ruang dan waktu. Ia bukan hanya catatan pribadi, tetapi juga ingatan kolektif yang menjaga kemanusiaan kita.
