Padang (ANTARA) - Ahli geologi dan vulkanologi Ade Edward menduga letusan Gunung Marapi yang berada di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar) dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan yang menghujani dapur magma gunung api tersebut.
"Ini pengaruh dari tingginya aktivitas magma gunung api yang bertemu langsung dengan curah hujan selama beberapa waktu terakhir," kata Ade Edward di Padang, Rabu.
Ade mengatakan letusan gunung api 2.891 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu merupakan tipe freatik. Artinya, adanya aktivitas air yang jenuh di kawasan kawah gunung, kemudian bertemu langsung dengan dapur magma, sehingga memicu letusan.
Apalagi, sambung Ade, selama beberapa hari terakhir hujan terus mengguyur di sekitar kawasan gunung api tersebut. Air yang terakumulasi di dapur magma kemudian melepaskan tekanan ke permukaan.
"Jadi, ini terkait dengan kandungan air di puncak gunung api itu," kata dia.
Pada kesempatan itu, Ade mengatakan bahwa meskipun status Gunung Marapi sudah diturunkan dari level siaga menjadi waspada per 1 Juli 2024 oleh
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), bukan berarti tidak ada lagi ancaman letusan.
Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar gunung api tersebut selalu meningkatkan kewaspadaan. Sebab, sewaktu-waktu gunung itu bisa saja erupsi.
Berdasarkan laporan Pos Pengamatan Gunung Api, Gunung Marapi kembali meletus pada Rabu siang pada pukul 12.40 WIB. Namun, tinggi kolom abu tidak teramati oleh instansi tersebut.
Erupsi tersebut terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 30 milimeter dengan durasi sekitar 48 detik.
Salah satu rekomendasi yang dikeluarkan PVMBG ialah melarang masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api itu, termasuk pengunjung dan wisatawan, memasuki atau beraktivitas di dalam wilayah radius tiga kilometer dari pusat aktivitas (Kawah Verbeek).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli vulkanologi duga letusan Marapi dipicu intensitas curah hujan