Padang (ANTARA) - Perempuan selalu menjadi topik yang tidak kunjung usai dibahas, diteliti dan diperbincangkan, tak terkecuali perempuan Minangkabau. Sistem kekerabatan matrilinial atau benasab kepada ibu menjadi pembeda yang kontras terkait posisi perempuan Minang dengan suku-suku lain yang ada di bumi Nusantara.
Realitas masyarakat menunjukkan kecendrungan untuk menjadi global. Geliat perubahan zaman terasa begitu dinamis. Tentu saja hal ini turut mempengaruhi tatanan masyarakat Minang. Modernitas sesuatu yang ikut merasuki relung-relung kehidupan perempuan Minangkabau.
Dari awal berdirinya Sumatera Barat beserta kabupaten/kotanya, belum pernah satupun perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah dan semenjak pilkada secara langsung yang dilakukan pada pada tahun 2005.
Pasca reformasi 1998 telah banyak membawa perubahan signifikan dalam tatanan politik. Di antaranya mengakomodasi perempuan dalam kepemimpinan politik, baik untuk tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Sejumlah daerah telah menunjukkan bahwa laki- laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terdapat kesetaraan, dan ruang kompetisi yang terbuka untuk menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing.
Kehadiran perempuan di lembaga- lembaga pembuat kebijakan tersebut perlu diperjuangkan dan menjadi perhatian.
Hal itu dikarenakan banyaknya aspek yang dapat dikaitkan dengan hadirnya perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif, seperti kebutuhan perempuan secara kodrati (mengandung dan melahirkan) yang tentunya berbeda dengan laki-laki.
Pembuatan kebijakan karena beberapa alasan, yaitu:
1. alasan keadilan dan kesetaraan, hal ini berkaitan dengan jumlah perempuan sekitar 50% dari penduduk dunia.
2. alasan kepentingan perempuan, kebutuhan perempuan hanya memadai untuk dibicarakan oleh perempuan itu sendiri (kesehatan reproduksi, isu keluarga dan lain sebagainya).
3. alasan emansipasi dan perubahan.
4. alasan perempuan membuat perbedaan.
5. alasan perempuan menjadi panutan bagi perempuan lainnya.
Jika jumlah perempuan lebih banyak dalam proses pengambilan keputusan, maka fokus kehidupan politik juga akan berubah.
Dampak yang paling jelas adalah akan terjadinya perluasan cakupan politik ke arah masalah-masalah dan isu-isu yang pada mulanya dianggap bukanlah isu politik seperti kesejahteraan anak, perlindungan terhadap reproduksi perempuan, dan yang lainnya.
Lembaga politik formal, membawa pengaruh yang cukup besar terhadap kualitas hidup perempuan. Hal ini dikarenakan kualitas hidup perempuan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga-lembaga politik, termasuk alokasi anggaran untuk pengimplementasiannya.
Apabila perempuan tidak ikut serta dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan mereka, maka besar kemungkinan perempuan akan ditempatkan pada skala prioritas yang rendah.
Jika dilihat dalam praktiknya hinga saat ini, kehadiran perempuan dan keterlibatannya di dalam politik, baik di legislatif maupun eksekutif masih sangat minim.
Kiprah perempuan di ruang politik masih mengalami kebuntuan, angka keterwakilan perempuan dan keterlibatannya di bidang politik masih memprihatinkan.
Sejak tahun 2004, di Sumatera Barat hanya ada 5 orang atau 9,09% anggota perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif.
Pada periode 2009-2014 perempuan terpilih menjadi 7 orang, yaitu sekitar 12,72%, pada periode 2014-2019 turun menjadi 6 orang, yaitu sekitar 9,23%, dan pada periode 2019-2024 turun lagi menjadi 4 orang, yaitu sekitar 6,15%, data anggota legislatif perempuan terpilih.
Sedangkan dalam pencalonan kepala daerah baru ada tiga perempuan yang berhasil ikut bertarung sejak pilkada yang dilakukan secara langsung tahun 2005.
Pencalonan perempuan yang sangat minim ini pun tidak dapat mengantarkan mereka ke kursi eksekutif.
Potret politik dan representasi perempuan di Ranah Minang hari ini, berbanding terbalik dengan fakta masa lalu. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI, sejumlah perempuan justru mengambil peran penting di dalamnya seperti, Siti Manggopoh yang ikut terjun langsung dalam peperangan melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Rohana Kudus yang menjadi pelopor pergerakan perempuan Minangkabau dan wartawan perempuan pertama Indonesia, Rahmah El Yunusiah ahli pendidikan yang mendirikan sekolah, dan Rasuna Said seseorang yang ahli melakukan lobi dan propaganda, sehingga Sumatera Barat menjadi satu- satunya wilayah jajahan kolonial Belanda saat itu yang tidak mengirimkan perempuan-perempuan sebagai Jugun Ianfu (perempuan yang dipaksa sebagai pemuas nafsu seks tentara Jepang), oleh Presiden Soekarno ia juga dipercaya menjadi Dewan Penasehat Pemerintah pada masa pemerintahannya.
Ketidakterpilihan calon kepala daerah perempuan di Sumatera Barat tentu berkaitan erat dengan partai politik dan budaya yang masih dipegang oleh masyarakat.
Partai politik di Sumatera Barat belum benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan rekrutmen politik terhadap perempuan.
Perempuan masih dijadikan sebagai alat pemenuhan kuota, semata sehingga pada saat penjaringan kepala daerah kehadiran perempuan masih kurang diperhatikan. Kandidat-kandidat perempuan dalam melakukan kampanye belum seberani kandidat-kandidat laki- laki.
Selain itu, masih adanya pandangan masyarakat di Minangkabau mengenai perempuan yang masih belum tepat untuk dijadikan pemimpin, dalam hal ini sebagai kepala daerah.
Pandangan ini memiliki pengaruh terhadap keterwakilan perempuan yang maju sebagai kepala daerah. Sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang menempatkan perempuan pada posisi sentral tidak dapat mendorong kehadiran perempuan dalam politik di Sumatera Barat.* (Penulis: Ketua Bidang Aliansi Nusantara Sumatera Barat)