Membangkit Kejayaan Sumatera Barat lewat Penguatan Pemangku Adat

id tali tigo sapilin

Membangkit Kejayaan Sumatera Barat lewat Penguatan Pemangku Adat

Dekan FIB Unand periode 2017-2021. (ANTARA / Ist)

Padang (ANTARA) - Meniti perjalanan masa lalu, Sumatera Barat telah melalui pasang surut kejayaan yang tercatat dalam lembar-lembar sejarah bangsa mulai dari masa

perjuangan, kemerdekaan, pascakemerdekaan hingga melewati millenium kedua.

Pada masa perjuangan tidak sedikit darah pahlawan yang tertumpah untuk tanah air ketika mengangkat senjata melawan penjajah. Berlembar-lembar

tulisan sastrawan pandai mewarnai zaman, menyiram semangat kebangsaan. Ulama memperkokoh iman meneguhkan tekad menuju kemerdekaan.

Para cerdik pandai yang mendapatkan kesempatan mereguk bangku pendidikan berjuang di lapangan politik dengan tujuan yang sama, masa depan

Indonesia yang lebih baik.

Mengutip paparan Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand periode 2017-2021 Dr.Hasanuddin, Msi dalam Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Pemangku Adat,

dengan tema Tigo Tungku Sajarangan Penopang Adat dan Budaya di Bukittinggi 11-13 Oktober 2021, dalam Ensiklopedi Indonesia edisi 1956 menurut A.A

Navis, terdapat 71 orang atau 19 persen dari tokoh dan orang terkemuka Indonesia adalah orang Sumatera Barat, Ranah Minang.

Sejarawan Belanda penulis biografi Tan Malaka, Poeze menyebut dari tujuh Begawan Revolusi Indonesia, tiga diantaranya (42,8 %) adalah orang Minang

yaitu Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka sementara empat lainnya Soekarno, Sudirman, Amir Sjarifuddin, dan A.H. Nasution. Sementara dua di antara triumvirat

di puncak piramid The Founding Fathers (Bapak Bangsa) Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir juga adalah orang Minang.

Bahkan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang pernah dua kali menjabat Wakil Presiden Indonesia Dr (HC). Drs. H. M. Jusuf Kalla pernah menyebut pada

tahun 70-an di Jakarta, apabila tampil sepuluh orang muballigh di kegiatan keagamaan, maka umumnya sembilan orang (90 %) berasal dari Minangkabau.

Namun kejayaan masa lalu itu perlahan meredup. Tokoh-tokoh dari Sumbar, dari Ranah Minang semakin berkurang. Dalam ensiklopedi Indonesia edisi 1986

hanya tinggal 110 dari 1.153 jumlah orang termuka Indonesia yang berasal dari Minangkabau atau 9,7 persen, walaupun masih di atas proporsi jumlah

penduduk Minang di Indonesia yang hanya 4 persen.

Peristiwa PRRI tahu 1958 diyakini menjadi salah satu titik balik penurunan itu, meskipun menurut Dr Hasanuddin sejak intervensi eksternal karena

penjajahan Belanda pada 1821 sudah terjadi banyak distorsi struktural dan pergeseran fungsional seperti legitimasi pangulu basurek oleh Belanda, ekonomi uang, komersialisasi pusako, menjadi pemerintahan terendah, hingga sistem pemerintahan. Pendidikan surau kemudian juga mulai digantikan dengan pendidikan sekuler.

Pada satu sisi, orang Minangkabau memiliki kelebihan mudah beradaptasi termasuk dalam hal pergeseran struktural dan fungsional yang terjadi akibat intervensi eksternal itu. Namun, pada akhirnya harus diakui secara berlahan-lahan kejayaan itu tetap makin redup.

Membangkit kembali kejayaan di era globalisasi

Dr Hasanuddin menilai setidaknya ada beberapa kunci sukses yang membentuk banyak tokoh penopang kejayaan masa lalu Sumatera Barat, Minangkabau tersebut diantaranya berpikir rasional, beretos tinggi, bekerja keras, belajar sepanjang hayat, tak kenal menyerah (etos harga diri), menjunjung tinggi budi, tenggang rasa, toleran (etis budi).

Kemudian, adaptif terhadap perbedaan dan perubahan zaman tanpa kehilangan identitas, dukungan struktural, kelembagaan, dan

masyarakat (kaum, suku, nagari, surau) serta soliditas sistem nilai tungku tigo sajarangan dan implementasinya dalam kolaborasi sinergis tali tigo sapilin.

Menurutnya untuk bisa membangkit kembali kejayaan Minangkabau, nilai-nilai, dukungan struktural, dan penguatan tali tigo sapillin, tigo tungku sajarangan adalah hal yang harus diupayakan. Kuncinya rekonstruksi, refungsionalisasi dan revitalisasi.

Apalagi tantangan yang akan dihadapi di era globalisasi, era digitalisasi juga semakin komplek. Dunia telah melangkah masuk pada pasar bebas, internet, big data, artificial intelligence, desruption socio cultural, smart centre humanity, bonus demografi.

Ia menilai, penguatan konsep tali tigo sapilin berupa kompetensi holistik, profesional-fungsional, sinergitas-kolaboratif dengan aktor Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai yang mengimplementasikan sistem nilai yang menjadi standar perilaku, tindakan dan kebijaksanaan yaitu agama, adat dan ilmu (tigo tungku sajarangan) yang saling beririsan masih sangat relevan sebagai modal untuk mengulang kembali kejayaan masa lalu.

Seorang Pangulu (pucuk pimpinan genealogis tingkat kaum/ suku/ nagari) dituntut untuk memiliki kapasitas dan kompetensi berbasis tungku tigo

sajarangan sehingga kompetensinya (sikap, pengetahuan, keterampilan) merefleksikan tali tigo sapilin yaitu beradat, beragama (iman dan taqwa) dan berilmu (cerdik cendikia).

Sebab, pangulu diibaratkan “Baringin di tangah Koto”: sasaran alang tabang tinggi, tinggi nan tampak dari jauh, dakek jolong basuo, bapucuak bulek cewang

ka langik, baurek tunggang ujam ka bumi, urek dapek baselo, batang bakeh rang basanda, dahan tampek bagantuang , badaun rimbun bisa rang balinduang

kapanasan bataduah kahujanan.

Pangulu nan gadang basa batuah, pusek jalo pumpunan ikan, pai tampek batanyo, pulang bakeh babarito, duduak jo adaik jo pusako, tagak jo barih jo

balabeh, nan mamacik biang tabuak, nan mangganggam gantiang putuih, kabasaran dalam nagari

Ketika spesifikasi dan profesionalisasi telah menjadi keniscayaan akibat perkembangan sistem pendidikan dan dunia pekerjaan, maka ketiga kompetensi/

basis sistem nilai direpresentasikan oleh tiga aktor fungsional, yakni adat direpresentasikan oleh ninik mamak, agama direpresentasikan oleh alim ulama dan ilmu direpresentasikan oleh cadiak pandai.

Alim ulama, nan pandai bahadits jo baquran, duduak lapa jo maana, bapamain syarak nan lazim, nan manarangkan hala jo haram, nan mambisiakkan sunah

jo paralu, nan manyisiahkan sah dengan batil, nan maajakan kalimaik nan duo patah, suluah bendang dalam nagari, iduik bakeh rang baniaik, mati bakeh

rang bakaue.

Urang nan cadiak nan tau pandai, juo tasabuik manti jo pagawai, cadiak nan buliah bakeh baguru, tau nan buliah bakeh batanyo, lubuak aka gudang bicaro,

tau di karang nan mahadang, tau di bayang kato sampai, urang nan cadiak candukio, muluik manih bak pauah gulo, pandai manulih roman putuih,

mambuhue indak mambuku, mauleh indak mangasan, kok duduak marauik ranjau, kok tagak maninjau jarak, mato tarang talingo nyariang, padoman luruih

dalam nagari.

Upaya Pemprov Sumbar melalui Dinas kebudayaan dengan memberikan bimbingan teknis penguatan pemangku adat menjadi salah satu upaya yang patut diapresiasi. Apalagi usai reformasi, gerakan kembali ka nagari mulai digaungkan yang didukung pula dengan adanya Perda Noor 7 tahun 2018 tentang Nagari.

Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebut gerakan kembali ke nagari bukan hanya soal pemerintahan, tetapi bagaimana pembangunan kembali dimulai dari nagari. Pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur dimulai di nagari dengan kolaborasi pemerintah dan perantau.***