Padang (ANTARA) - Gagasan "Membangun Indonesia dari pinggiran" merupakan cita-cita mulia yang diamanatkan oleh UUD 1945, dimana rakyat bangsa Indonesia harus merasakan kemerdekaan dan kesetaraan dalam kesejahteraan. Dan pembangunan yang sejatinya berasal dari uang masyarakat harus dikembalikan kepada masyarakat melalui pengelolaan keuangan dan pembangunan yang tidak hanya terpusat dipulau-pulau Jawa saja (sentralisasi), tapi juga menyebar dalam bentuk sistem pemerintahan ditingkat provinsi, kabupaten, dan tingkat desa atau nagari agar kesetaraan dan kesejahteraan mampu dirasakan oleh bangsa yang luas dan kaya sumber daya ini.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mempertegas keberadaan pemerintahan Nagari/Desa sebagai lembaga pemerintahan eksekutif terendah yang ada di Indonesia dan harus mewujudkan cita-cita besar bangsa indonesia.
Dimana pemerintahan Nagari atau desa diberi kewenangan untuk berfikir kreatif dan mandiri dalam mengelola keuangan mereka sendiri yang sejatinya berasal dari pajak masyarakat Indonesia.
Tahun ini tidak tanggung-tanggung gelontoran dana desa yang bersumber dari APBN tahun 2021 sebanyak 10% sebanyak 72 Triliyun Rupiah, dan ditambah lagi dari dana APBD pemerintah Kabupaten sebanyak 10 %. Apabila dirata-ratakan dimasing-masing desa akan memiliki dana desa hampir sebanyak 2 Miliyar Rupiah.
Pada hakikatnya UU No.6 Tahun 2014 bukanlah semata-mata instrumen hukum yang melandasi pemerintah Nagari memiliki anggaran yang diperuntukan untuk masyarakat desa agar mampu membangun infrastruktur dan menghabiskan dana desa melalui pagu anggaran yang dirumuskan oleh mereka sendiri.
Namun, sajatinya Undang-Undang tersebut merupakan sebuah kewajiban bagi pemerintahan nagari atau desa agar mampu membangun peradaban desa dengan efektif dan terukur aspek pembangunanya melalui pagu anggaran yang disusun.
Membangun Indonesia dari pinggiran bukanlah semata-mata membangun wilayah fisik geografis Indonesia yang ada diperbatasan, namun juga yang terpenting adalah membangun aspek manusianya yang salama ini termarjinalkan baik dari sisi pendidikan, ekonomi, dan fasilitas sosial selayaknya dirasakan masyarakat perkotaan.
Oleh sebab itu, kepala pemerintahan Nagari atau Desa memiliki beban tanggung jawab besar dibandingkan pemerintahan provinsi dan kabupaten.
Karena pada prinsipnya mereka akan selalu bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai konsituen mereka, yang setiap hari dalam aktivitas sosial mereka selalu berbaur dengan masyarakat dengan skala kebutuhan pembangunan masyarakat yang banyak pula.
Maka hal ini memberikan dampak psikologi yang kuat terhadap keberadaan pemerintahan nagari ditengah-tengah masyarakat. Berbeda halnya dengan pemerintah eksekutif dan legislatif ditingkat provinsi dan kabupaten yang sama-sama dipilih oleh masyarakat namun keseharian mereka lebih banyak dipusat-pusat pemerintahan dan memiliki pagu anggaran yang besar diperuntukan untuk pembangunan dikonsituen mereka.
Namun pemerintahan nagari diwajibkan untuk mengoptimalkan sumberdaya terbatas yang mereka miliki untuk pembangunan masyarakat desa atau nagari.
Jika kita cermati lebih dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa selain memberikan kedaulatan bagi desa atau nagari dalam mengelola tata kelola dan laksana pemerintahan Nagari.
Namun, sejatinya menuntut pemerintah Nagari untuk kreatif, mandiri, dan inovatif dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat nagari atau desa. Agar mampu mewujudkan ketahanan pendidikan, sosial, ekonomi masyarakat desa.
Untuk mewujudkan harapan besar tersebut tentu pola pembangunan yang selama ini berorientasi Output (Luaran) haruslah dirubah menjadi pola pembangunan berbentuk Outcome (dampak).
Dimana pada aspek ini pembangunan berbasis "Outcome" menekankan bahwa setiap pembangunan yang dilaksanakan bukan hanya pertangungjawabannya dalam bentuk anggaran yang dipakai dan bentuk fisiknya semata, namun juga memberika dampak luas bagi kejahteraan masyarakat dikemudian hari.
Karena dana-dana desa harus mampu meningkatkan taraf hidup dan berfikir masyarakat desa dalam menghadapi tantangan besar dimasa depan. Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan kapasitas berfikir kepala pemerintahan dan perangkat nagari yang mampu menembus ruang-ruang yang selama ini tidak tersentuh oleh pembangunan yang sudah dilaksanakan.
Karena membangun Indonesia dari pinggir bukanlah diukur dari realisasi dana desa yang digunakan namun pemerintahan nagari merasa sukses ketika sumberdaya masyarakat dan pemerintah desa berpatisipasi untuk merasakan pembangunan yang memiliki efek jangka panjang bagi anak cucu mereka.
Oleh sebab itu diperlukan kualitas dan kemandirian berfikir untuk pembangunan desa dan nagari dimasa depan.
Komitmen dan harapan besar bangsa ini dalam optimalisasi serta efektifitas tata laksana pemerintah desa haruslah mampu direspon oleh masyarakat desa dengan mendorong pola pembangunan berbasis "Outcame" yang mempertanyakan dampak strategis terhadap pembangunan yang sedang dilakukan.
Jangan hanya sebatas menghabiskan pagu anggaran tanpa memberikan value (nilai) terhadap kehidupan masyarakat setempat, dalam pola dan pendekatan pembangunan berbasis "Outcame" haruslah menjadi ciri pembangunan desa dimasa depan.
Misalnya; walaupun yang dibangun "jalan desa" namun pemerintah Nagari atau desa harus lah memiliki kajian jangka panjang terhadap jalan yang dibangun tersebut, seperti apa khas dari jalan desa tersebut agar menjadi sektor pertumbuhan ekonomi-ekonomi baru sepanjang jalan yang akan dibangun tersebut, atau ekosistem apa yang bisa menjadi daya tarik wisata agar jalan desa menjadi sentral baru sektor ekonomi. Inilah yang disebut otonomi daerah yang diamanatkan dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang desa.
Contoh lain pembangunan berbasis "Outcome" bisa diukur dari pembangunan mini trotoar jalan desa yang digagas nagari untuk mewujudkan pasar kuliner disepanjang jalan.
Pada hakikatnya memberikan dampak luas pada ekonomi masyarakat terutama dibidang kuliner, trotoar jalan tersebut bisa menumbuhkan sektor ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang bisa diperuntukan untuk pasar kuliner dimalam hari.
Inilah bentuk-bentuk pembangunan berbasis "outcame" agar masyarakat desa atau nagari benar-benar merasakan hadirnya Negara dan Nagari (desa) dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Karena memperkuat ketahanan pangan, pendidikan, sosial, ekonomi Indonesia dimulai dari desa/nagari.
Ketimpangan pembangunan yang selama ini dirasakan antara Jawa dan luar pulau Jawa, haruslah direspon oleh pemerintahan desa dengan kedaulatan pembangunan yang benar-benar dirasakan dampaknya (outcome).
Pemerintahan nagari haruslah mampu secara mandiri lepas dari masalah-masalah yang masyarakat dan mereka hadapi, misalnya: ketika masyarakat mereka memiliki angka pengangguran dan pendidikan yang rendah, dalam aspek kebijakan pemerintahan desa dan Nagari harus mampu merespon dengan kebijakan efektif yang mereka lahirkan. Atau ketika ada wilayah-wilayah yang masih terisolir atau disebut dengan 3 T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) masalah-masalah ini haruslah mampu mereka tekan dengan multiple effect pembangunan yang pemerintah desa atau nagari rumuskan.
Kedaulatan inilah yang sebenarnya diterjemahkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa dimana pemerintah desa selama ini hanya bisa berteriak-teriak terhadap kebutuhan mereka, namun hari ini mereka diberi otoritas untuk dan harus mampu menyusun kebutuhan dan strategi mereka dalam menyelesaikan masalah serta tantangan yang dihadapi.