Presiden Jokowi tepis stigma negatif Suku Baduy

id Ksp, pakaian adat baduy, baju adat baduy, pidato presiden, sidang tahunan mpr,Baju adat presiden

Presiden Jokowi tepis stigma negatif Suku Baduy

Tangkapan Layar - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat dari Suku Baduy di Sidang Tahunan MPR RI dan Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka peringatan HUT Ke-76 RI, serta Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). ANTARA/Indra Arief

Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden menilai Presiden RI Joko Widodo telah menepis stigma negatif terhadap Suku Baduy dengan mengenakan pakaian adat Suku Baduy dalam menghadiri sidang tahunan MPR 2021, di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

"Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan Suku Baduy," kata Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Tarigan dalam siaran pers KSP, di Jakarta, Senin.

KSP menganggap bahwa langka Presiden untuk menggunakan pakaian adat dan mengangkat kebudayaan Suku Baduy dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Abetnego mencermati, Presiden Jokowi dalam menyampaikan pidato kepresidenan saat sidang tahunan MPR 2021 pada Senin tampak mengenakan pakaian adat Suku Baduy berwarna hitam dengan lencana merah putih. Presiden juga mengenakan udeng kepala berwarna biru, alas kaki sandal berwarna hitam lengkap dengan tas rajut berwarna cokelat.

Pakaian adat ini disiapkan secara pribadi oleh Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa desain pakaian adat Baduy sangat sederhana dan sangat nyaman untuk dikenakan.

Abetnego menyampaikan sebutan Baduy sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.

Namun, penyebutan Suku Baduy cenderung mengarah pada makna peyoratif karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Para kolonial, kata dia, secara gegabah mengidentifikasi Suku Baduy layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.

Menurutnya, walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Baduy kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid mengatakan istilah Baduy dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang.

Hilman mengatakan istilah Baduy digunakan tidak dengan maksud merendahkan

"Saya pun kadang pakai istilah 'Baduy' karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan," ujar Hilman Farid.