Apa maksud dibalik pemolisian masyarakat?

id Jokowi,Perpres RAN PE, Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang M

Apa maksud dibalik pemolisian masyarakat?

Ilustrasi - Anggota TNI berkomitmen memberantas terorisme dan radikalisme di Indonesia. ANTARA/Edo Purmana

Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020—2021.

Dalam perpres ini diatur mengenai strategi pemolisian masyarakat dalam ikut mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Kata pemolisian masyarakat mungkin saja terdengar sedikit asing atau malah janggal bagi sebagian kalangan.

Lantas apa sebenarnya definisi pemolisian masyarakat? Apa pula maksud serta urgensi di balik upaya tersebut?

Pemolisian masyarakat sejatinya bukan hal baru. Hal ini sudah diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.

Dalam Peraturan Kapolri itu dijelaskan bahwa pemolisian masyarakat atau community policing, yang juga dikenal dengan polmas, adalah suatu kegiatan unfuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat di lingkungan.

Dalam Peraturan Kapolri 2015, sejatinya polmas bukan semata menyangkut masyarakat saja, melainkan juga kiat untuk mengikutsertakan pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam upaya penangkalan, pencegahan, serta penanggulangan ancaman dan gangguan kamtibmas secara kemitraan yang setara dengan Polri.

Cuma dalam perpres yang diteken Presiden Jokowi, polmas diarahkan lebih fokus pada pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Dalam perpres itu disebutkan bahwa akan dilakukan pelatihan dan sekaligus sosialisasi ihwal pemolisian masyarakat tersebut. Diharapkan muncul kesadaran masyarakat atas pentingnya polmas untuk pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Kalimat yang tertera dalam perpres tersebut jelas menyebutkan bahwa peran polmas hanya sebatas dalam pencegahan semata. Mengenai seperti apa bentuk pencegahan itu, tentu akan bergantung pada pelatihan yang dilakukan nantinya.

Dalam perpres dijelaskan bahwa Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan menjadi penanggung jawab dalam program pemolisian masyarakat ini.Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar menyampaikan lahirnya perpres tersebut merupakan inisiatif dan prakarsa BNPT sebagai salah satu upaya penanggulangan terorisme yang mengedepankan pendekatan lunak.

Secara umum, cara penanggulangan dilakukan dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.

Boy secara khusus mengharapkan kegiatan pemolisian masyarakat dapat mewujudkan kemitraan antara masyarakat dan polisi sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, supremasi hukum dan keadilan, kesetaraan gender, keamanan dan keselamatan, tata kelola pemerintah yang baik, partisipasi pemangku kepentingan yang majemuk, serta kebinekaan dan kearifan lokal.

Direktur Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang akrab disapa Yenny Wahid, yang merupakan putri mendiang presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), memandang perpres itu sebagai sebuah langkah maju.

Bagi Yenny, perpres memungkinkan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan ekstremisme atau radikalisme di Tanah Air.

Menurut Yenny, upaya mengatasi persoalan ekstremisme atau radikalisme tidak dapat dilakukan hanya melalui pendekatan keamanan saja.

Apa yang disampaikan Yenny memang benar bahwa pendekatan keamanan sering kali hanya dapat ditempuh ketika persoalan ekstremisme sudah muncul. Sementara itu, pencegahan perlu dilakukan sejak dini, dimulai dari lingkungan masyarakat itu sendiri.

Kurangnya Personel

Upaya pencegahan ekstremisme tidak dapat dilakukan hanya oleh aparat keamanan.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menekankan jumlah aparat kepolisian sebanyak 470.000 personel di seluruh Indonesia, sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta jiwa. Jika dihitung, satu polisi harus mengelola kurang lebih 500 orang.

Dari gambaran tersebut, jelas terlihat sulitnya membebankan upaya pencegahan hanya kepada aparat kepolisian.

Terlebih masyarakat adalah pihak yang paling mengetahui hal-hal yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Pencegahan harus dimulai dari sana.

Moeldoko menyampaikan sifat dari polmas adalah pemberdayaan.

Pelatihan tersebut tidak akan lepas dari upaya membangun kesadaran publik berkaitan dengan pencegahan ekstremisme sehingga masyarakat merasa terlibat di dalamnya.

Ia mengajak publik memahami dengan baik bahwa dalam situasi yang seperti saat ini keterlibatan seluruh masyarakat perlu disambut bersama. Hal serupa juga dilakukan di beberapa negara lain.

Ekstremisme Persoalan Semua

Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani menyambut baik penerbitan perpres tersebut. Christina memandang perpres itu menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi gerakan ekstremisme.

Christina menekankan bahwa persoalan ekstremisme bukan lagi hanya persoalan pemerintah, melainkan persoalan seluruh elemen bangsa.

Perkembangan ekstremisme saat ini, menurut dia, mengkhawatirkan karena penyebaran propaganda hingga perekrutan calon ekstremisme bisa mudah melalui pemanfaatan teknologi.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU 15/2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi payung pengaturan yang antara lain mewajibkan pemerintah melakukan pencegahan terorisme dengan langkah antisipasi secara terus-menerus melalui kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi.

Menurut pandangan Christina, perpres ini merupakan langkah pemerintah dalam kesiapsiagaan tersebut.

Christina menegaskan bahwa Komisi I DPR RI akan terus memantau dan memastikan kementerian atau lembaga yang menjadi mitra Komisi I siap melaksanakan komitmen pemerintah yang menjadi porsi masing-masing mitra dalam rencana aksi nasional ini.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menilai Indonesia membutuhkan strategi komprehensif untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu serta komitmen seluruh instansi pemerintah dan peran aktif masyarakat sebagai acuan dalam mencegah dan menanggulangi ancaman ekstremisme di Indonesia.

Oleh karena itu, perpres itu perlu diterbitkan.

Azis mengatakan bahwa ancaman ekstremisme juga telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.

Selain itu, menurut Azis, dapat menimbulkan korban yang bersifat massal atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Meskipun demikian, Azis meminta pemerintah untuk dapat menjabarkan secara perinci mengenai kegiatan-kegiatan yang termasuk kategori ekstremisme agar tidak menjadi salah tafsir dan menimbulkan stigmatisasi di tengah masyarakat.

Sosialisasi tentunya akan menjadi kunci utama suksesnya rencana aksi nasional ini, terutama yang berkaitan dengan pemolisian masyarakat.

Dengan sosialisasi yang benar, diharapkan tidak terjadi tindakan diskriminasi, persekusi, atau bahkan main hakim sendiri di level masyarakat dalam hal pencegahan ekstremisme.