Padang, (ANTARA) - Suasana siang itu, pada pertengahan 2008 di sebuah aula di Kota Padang nyaris pecah oleh tangis haru saat seorang anak mencium tangan kedua orang tuanya dengan posisi jongkok.
Saat itu di hadapan ratusan kader PKS di Kota Padang, sang anak memohon doa restu kepada apak dan amaknya karena mendapatkan amanah sebagai Calon Wakil Wali Kota Padang 2009-2014.
Di depan panggung Mardanis (Apak) dan Nurmi selaku Amak yang sudah beranjak tua duduk di kursi sofa. Sang anak mendatangi keduanya, berjongkok kemudian mencium tangan kedua sosok yang telah membesarkannya sedari kecil.
"Edi mohon doa apak dan amak untuk menjadi calon wakil wali kota," ucapnya lirih dan penuh harap.
Mata Mardanis pun berkaca-kaca, pria yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang becak dan buruh angkat di Pasar Tingkek (sekarang Pasar Bawah ) Bukittinggi itu terharu dan tak dapat menyembunyikan kebanggaannya.
Demikian juga amak hanya ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dari nafkah yang diperoleh suami bersyukur, putra pertama mereka yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Sumbar meminta restu untuk menjadi orang nomor dua di Kota Padang.
Takbir pun bersahutan di ruangan itu memberikan semangat dan meneguhkan tekad untuk bisa menjalankan amanah dengan baik.
Pria yang memohon restu tersebut tak lain adalah Buya Mahyeldi. Ia senantiasa memohon doa dan keredhaan kedua orang tuanya atas setiap pilihan yang diambil dalam hidupnya.
Tak lama berselang bersama Fauzi Bahar, Mahyeldi terpilih sebagai Wakil Wali Kota Padang 2010-2014, pada pilkada Padang 2014 ia pun terpilih menjadi orang nomor satu dan di pilkada 2019 ia kembali dipercaya warga kota.
Mahyeldi terlahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya seorang tukang becak dan membantu mengangkat barang di Pasar Atas, ibunya adalah seorang perempuan tangguh yang berhasil mendidik tujuh orang anaknya menjadi sarjana.
Ia pernah menjadi pengantar es dan kue ke warung-warung. Mahyeldi juga pernah mengajar di bimbingan belajar. Bahkan berjualan koran dan majalah juga pernah dilakoninya.
Saat baru menikah dengan Harneli Bahar berbagai usaha pun dilakukan Mahyeldi untuk memenuhi kehidupan rumah tangga dan biaya pendidikan mereka berdua karena memilih menikah saat masih berstatus mahasiswa.
Awal mula meniti rumah tangga karena belum punya kontrakan Mahyeldi dan Harneli pun tinggal di tempat kos masing-masing dan pasangan tersebut bertemu dua kali seminggu.
Pada Pemilu 2004 Mahyeldi terpilih sebagai anggota DPRD Sumbar bahkan ketika itu ia mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihan Padang.
Ia pun mendapatkan amanah sebagai Wakil Ketua DPRD Sumbar dan kendati sudah menjadi pejabat di tingkat provinsi ia tetap menjadi pribadi yang sederhana.
Sesekali ia pun berangkat ke kantor menggunakan angkutan kota dari rumahnya di Parupuk Tabing menuju DPRD Sumbar.
Demikian juga saat ia terpilih menjadi Wali Kota Padang pada 2014 Mahyeldi tak berubah. Ia tetap menjadi pribadi yang sederhana.
Sebagai dai Mahyeldi sejak mahasiswa terbiasa mengisi ceramah dan menjadi khatib jumat. Walaupun sudah menjadi orang nomor satu di Padang ia tetap melakoninya.
Bahkan saat berkunjung ke luar Padang pun Mahyeldi tetap berkenan memberikan ceramah dan mengisi khutbah.
Karenanya sarjana pertanian itu pun kerap mendapat julukan Pak Jangguik di masyarakat yang menjadi salah satu ciri khasnya sejak mahasiswa.
Bahkan saat diospek sebagai mahasiswa baru di Fakultas Pertanian Unand salah seorang senior menyuruhnya memotong jenggot, Mahyeldi tetap bersikukuh dan memegang teguh prinsipnya.
Salah satu program yang digagasnya setiap Ramadhan adalah singgah sahur dan bedah rumah. Singgah sahur sengaja dipilih rumah warga yang kondisinya tidak layak kemudian ia bersama jajaran tanpa sungkan bersantap sahur dengan empu rumah.
Baginya tak ada sekat sebagai orang nomor satu dengan warga karena ia meyakini jabatan adalah ladang pengabdian untuk melayani masyarakat.
Demikian juga dalam mendidik putra putrinya Mahyeldi selalu menanamkan kesederhanaan. Bahkan kendati buya mereka adalah pejabat sang anak tak sungkan untuk berjualan.
Suatu ketika saat mengikuti acara donor darah Mahyeldi terekam kamera tapak sepatunya yang dipakainya bolong. Ia pun tak menyadari rupanya sepatunya telah bolong tapaknya.
Foto tersebut pun viral karena wali kota dinilai memakai sepatu sampai habis karena saking jarangnya membeli sepatu.
Kini Mahyeldi tidak berubah, masih seperti yang dulu. Ia senantiasa ingat pesan sang apak agar bisa menjadi orang yang lurus, "luruih masuak, luruih pulang". (adv)
Penulis adalah juru bicara Mahyeldi-Audy Joinaldy