Kartini di tengah pusaran COVID-19

id kartini

Kartini di tengah  pusaran  COVID-19

Dr Silfia Hanani

Padang. (ANTARA) - 21 April 2020, merupakan hari yang berbeda dalam memperingati pergerakan Kartini di Indonesia, biasanya dihiasi dengan perempuan berkonde, berdiskusi, berlomba dan seterusnya. Namun kali ini tidak, untuk berdekatan saja tidak boleh apalagi bersama dengan berbagai gaya untuk memperingati hari bersejarah dalam pergerakan perempuan di Indonesia itu.

Kini hari peringatan pergerakan Kartini itu diluluhkan oleh terpaan bencana wabah pandemik COVID-19 yang sangat brutal merusak tatanan kehidupan manusia. Tidak saja di sini, di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Dunia mencekam dan mengalami perubahan yang sangat drastis dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya.

Hari kartini, berada di pusaran serba pembatasan, berbatas sosial, fisik, bahkan wilayah. Kini di Sumbar akan memasuki Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Interaksi dan koneksi zahir antar kita sesama dibatasi, kita dipaksa tidak menjadi lagi manusia global yang bebas berkelana berselancar tetapi menjadi manusia kedisinian dengan merasakan keterbatasan. Bukan keterbatasan itu, sebagai bentuk diskriminasi, tetapi sebagai banteng untuk memutus rantai pandemik COVID-19 yang brutal tersebut.

Kita butuh kesadaran dan perjuangan yang optimal untuk melawannya, kita berperang bukan melawan diskriminasi, bukan menghadang senjata dan bombardir, tetapi berjuang melawan serbuan virus global yang membuat dunia amburadul dan compang camping, bahkan negara sekaliber Amerika sekalipun dibuatnya kelabakan.

Lalu apa artinya Kartini di tengah-tengah musibah global ini? Artinya mengembalikan kesadaran kita pada pergerakan, tidak ada perjuangan tanpa pergerakan. Kita butuh pergerakan-pergerakan, hingga gelap hantaman wabah ini bisa kembali terbitnya terang, seperti harapan Kartini dalam habis gelap terbitlah terang.

Perempuan dalam kepungan COVID-19 ini, bisa ambil peran menjadi tiang penyangga yang kuat untuk memutus rantai pergerakan pandemik virus itu, karena perempuan memiliki peran strategis menumbuhkan kesadaran untuk di rumah saja dengan pendekatan basic to family, menguatkan kembali keluarga sebagai lembaga pendidikan, sosialisasi, membangun kemanusiaan, kesehatan dan seterusnya.

Selama ini peran itu hampir dirampas kekuatan-kekuatan global yang mendesain dunia dengan kekuatan-kekuatan teknologi yang kita belum siap dalam pemanfaatannya, sehingga kita kehilangan berbagai proses baik dalam membangun kemanusiaan. Bahkan, proses hidup sehat sekalipun kita lupa dan alfa, sehingga kini kita menyadari arti penting hidup sehat itu, dari rumah saja kita mulai kembali menyosialisasikan hidup sehat melalui cuci tangan yang bersih, pola makan dengan masakan dapur sendiri.

Kini kita butuh Kartini yang kuat dan tangguh, bukan Kartini yang lembek dan rapuh, tetapi mampu membangun kekuatan dari berbagai dimensi, seperti hal sudah dibuktikan oleh perempuan-perempuan kreatif dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan, misalnya di Minangkabau kita punya figur Siti Mangopoh, Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahmah El Yunisiah, dan seterusnya yang mampu membangun gerakan di tengah-tengah tekanan-tekanan dan kondisi yang tidak menguntungkan.

Maka kini di tengah serba berkemajuan ini, perempuan harus lebih inovatif kreatif dalam membangun gerakan, sehingga ancaman wabah ini cepat teratasi. Kini gerakan kekuatan itu harus tumbuh dan berkembang, perempuan harus menjadi ambil bagian terpenting. Runtuh dalam ketidakberdayaan, tetapi menjadi tiang penyangga yang bersama-sama menyejahterakan.

Lantas gerakan apa yang bisa dilakukan oleh perempuan dalam situasi sekarang ini, situasi pembatasan sosial berskala besar ini, diantaranya gerakan literasi keluarga. Selama ini kita kehilangan gerakan literasi itu sehingga kita menjadi orang yang tidak kreatif, tidak inovatif sehingga ketika muncul satu tantangan kita mampu menjadi “pencaci maki” dan kehilangan akal mempergunakan saran-sarana yang ada. Percayalah rendahnya sikap dan karakteristik kita karena rendahnya literasi itu yang kita bangun.

Kini contoh yang paling gampang kita lihat, mengapa susahnya masyarakat untuk mematuhi tindakan keselamatan karena selama ini kita tidak terbiasa membangun literasi itu, keluarga hanya punya teknologi hiburan bukan teknologi pendidikan. Maka untuk mengkreatifkan gerakan di rumah aja kita bangun kembali tradisi literasi itu.

Hal ini telah dibuktikan oleh lintasan sejarah, tokoh-tokoh pergerakan selalu hadir dari tradisi literasi itu, seperti tokoh-tokoh perempuan di Minangkabau yang telah disebutkan di atas. Termasuk Kartini itu sendiri, ia mampu membangun pergerakan karena tradisi literasi tersebut. Ia membaca diam-diam di tengah tekanan-tekanan, menulis penuh makna di tengah-tengah situasi yang mengancam dan seterusnya.

Maka di tengah-tengah kebrutalan ancaman pandemik COVID-19 ini, perempuan bisa menjadi agen literasi di tengah keluarganya, bisa menjadi pengguna media dengan sehat di tengah keluarganya. Sebab kita serba dirampas oleh ketidaksehatan ketidaksehatan itu dirapuhkan dan perburuk lagi oleh kemampuan literasi itu. Percayalah semakin tinggi tingkat literasi maka semakin tinggi tingkat kreativitas, inovatif dan kesadaran diri.

Maka dalam masa-masa di rumah aja ini, peran strategis itu kita jadi untuk pemutus sebaran virus ini, kita di rumah dengan berbagai aktivitas dan kreativitas. Memperkuat peran dan fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan, sosialisasi, peran peneguhan nilai-nilai dan seterusnya. Kita tidak ingin kondisi ini semakin parah oleh sikap kita yang tak memiliki kepekaan dan tidak memiliki kepatuhan. Tetapi memiliki kepekaan dan kepatuhan dengan membangun kreatifitas yang meneguhkan kemanusiaan kita, kekuatan kita dalam membentengi masalah ini.