Jangan Ada Stigma Sosial dan Diskriminasi Pada Penderita COVID-19 dan Tenaga Medis

id covid

Jangan Ada Stigma Sosial dan Diskriminasi Pada Penderita COVID-19 dan Tenaga Medis

dr. Hardisman, MHID, PhD

Padang, (ANTARA) - Di tengah wabah global atau pandemi penyakit virus corona (COVID-19) yang tengah melanda, kita dikejutkan dengan stigma sosial yang sangat memilukan bagi penderita penyakit ini.

Bahkan stigma masyarakat juga melekat pada dokter, perawat dan pekerja rumah sakit yang berperan besar menghadapi wabah ini.

Adanya masyarakat dan berbagai organisasi yang tergerak hatinya dan untuk menolong Rumah Sakit dan tenaga medis dalam memenuhi kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) dan lainnya, menjadi hilang dan sirna, karena lebih banyaknya diskriminasi dan stigmasisasi.

Stigma Sosial yang Memilukan

Sungguh sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Ketika wabah ini berlangsung, dokter dan perawat yang dianggap sebagai pejuang yang bertempur di garis depan, yang semestinya mendapat penghargaan yang layak. Namun kadang kala justru yang terjadi sebaliknya.

Berbagai cerita dari para sejawat tenaga medis di Ibu Kota dan beberapa kota besar lainnnya. Mereka tidak diizinkan lagi tinggal di komplek yang sama oleh warga karena dianggap dapat membawa virus yang akan menularkan penyakit. Ada pula, mereka menyewa rumah, dengan sepihak pemilik memutuskan memutus kontrak penyewaan dan mengusir perawat tersebut agar tidak lagi tinggal di rumah mereka atau satu lingkungan dengannya.

Kisah yang memilukan juga terjadi di Semarang saat salah seorang perawat yang bekerja di RSUP Kariadi Semarang meninggal dunia.

Jenazahnya ditolak oleh masyarakat untuk dimakamkan di pemakaman umum. Bahkan secara umum, penolakan penguburan jenazah terhadap pasien COVID-19 juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kota Padang baru-baru ini.

Stigma dan diskriminasi sosial terhadap keluarga penderita juga banyak terjadi. Ada usaha dan toko mereka yang harus tutup karena tidak ada lagi pembeli yang mau datang karena ada anggota keluarganya yang menderita ataupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Masyarakat sangat ketakutan meskipun anggota keluarganya diisolasi di tempat lain ataupun sudah dirawat di Rumah Sakit.

Dampak Terhadap Penularan

Adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat terhadap penderita atau yang diduga menderita menjadikan pencegahan penularan lebih lanjut semakin sulit. Orang akan lebih memilih lebih baik tidak dipantau dan diperiksa asalkan jangan didiskriminasi.

Masyarakat yang sebenarnya Pelaku Pejalan dari Daerah Terjangkit (PPDT) atau mereka yang sudah dapat digolongkan pada Orang Tanpa Gejala (OTG) karena sudah ada kontak erat dengan penderita sebelumnya, tidak mau melaporkan diri ke tenaga kesehatan. Mereka takut dipantau dan tidak mau diperiksa lebih lanjut. Mereka justru mengkhawatirkan dampak buruk di masyarakat seandainya orang lain tau bahwa mereka sudah berkontak dengan pasien lain sebelumnya.

Menutup informasi karena tidak mau didiskriminasi, memunculkan sikap sebaliknya. Mereka yang sebenarnya dapat digolongkan pada OTG dan mesti melakukan isolasi diri, namun tetap akan berkumpul dan bergaul di masyarakat sebagaimana biasanya. Akibatnya, risiko kemungkinan penyebaran semakin tidak dapat diduga.

Inilah yang terjadi saat ini, kasus-kasus yang positif dan yang sudah ada gejala di Indonesia tidak lagi dapat diketahui dari mana ia terpaparnya.

Oleh sebab itu, stigma terhadap penderita atau mereka yang diduga menderita penyakit ini harus dihilangkan. Stigma justru akan menyebabkan penyebaran penyakit di masyarakat semakin tidak terkendali.

Mesti Bagaimana

Kewaspadaan dan pencegahan dengan menghindari kontak langsung dengan penderita memang harus dilakukan. Akan tetapi stigmasisasi berlebihan yang menunjukkan tindakan kepanikan harus dihindari. Tindakan kewaspadaan dan pencegahan harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan anjuran keilmuan bidang kedokteran yang terpercaya.

Dalam kajian Ilmu Kedokteran dan Biologi sudah jelas bahwa virus SARS-CoV2 sebagai penyebab Covid-19 adalah virus hanya mempunyai materi genetik RNA. Virus ini hanya bisa aktif (hidup) dalam sel lain sebagai inangnya dan selama sel itu aktif.

Virus SARS-CoV2 terutama hidup dalam sel-sel mukosa atau selaput lendir saluran pernafasan. Ia hanya dapat menular bila seseorang bersin, batuk, berbicara yang mengeluarkan droplet atau percikan ludah yang membawa virus tersebut di dalamnya. Inilah yang menjadi cara penularannya, sehingga menjaga jarak dan selalu memakai masker akan mengurangi risiko terpapar.

Hanya selama droplet disemburkan itulah ia ada di udara, setelah droplet jatuh virus tersebut kemudian tidak dapat berterbangan. Jika droplet tersebut jatuh ke tanah atau benda-benda lain, maka dalam waktu tertentu ia akan tidak aktif (mati) bersamaan dengan keringnya droplet pembawanya. Sehingga mengucilkan keluarga penderita dari lingkungan tidaklah tepat.

Penelitian Dr G Kampf (Maret 2020) yang melaporkan bahwa virus ini dapat bertahan di berbagai permukaan benda beberapa jam hingga 4 hari tidak dapat menjadi alasan untuk menstigma penderita. Penelitian ini adalah untuk menjadi kewaspadaan pencegahan bahwa perlu rutin melakukan cuci tangan terutama setelah memegang berbagai benda di fasilitas umum saat wabah ini. Serta perlunya menghindari sering memegang wajah saat tangan tidak bersih.

Berdasarkan hal ini, menstigma dan menjauhi secara sosial penderita dan keluarga adalah tindakan yang tidak pada tempatnya. Stigma akan memunculkan gejolak dan masalah sosial baru dengan hilangnya keharmonisan di masyarakat.

Begitu juga terhadap tenaga medis yang bekerja menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit. Ada prosedur yang ketat terhadap pakaian dan APD yang mereka gunakan untuk penanganan pasien. Bahkan sebelum pulang pun mereka sudah mandi bersih dan mengganti pakaian untuk ke rumahnya. Sehingga sangat kecil kemungkinan ada virus yang menempel pada mereka yang di bawah ke luar Rumah Sakit.

Sudah jauh dari yang difikirkan oleh masyarakat, segala bentuk tindakan pencegahan dilakukan tenaga medis. Mereka juga punya keluarga di rumahnya, tindakan pencegahan mutlak mereka lakukan.

Sekiranya pun ada virus menempel di pakaiannya, sebagimana sifat virus tersebut, ia tidak akan berterbangan dan sampai pada tetangga sekitar.

Begitu juga halnya pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 yang sudah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan bahan dan cara membungkus menutup mayat sedemikian rupa, tidak ada kemungkinan virus ditularkan lagi darinya pada orang lain.

Bahkan, sebagaimana pakar mikrobiologi dan kedokteran forensik menyebutkan, bahwa setelah sel-sel dalam tubuh jenazah mati semua virus tersebut juga mati. Sehingga tanah pemakaman dan lingkungan dimana pasien dikuburkan tidak akan membahayakan.

Penulis merupakan Dosen Fakultas Kedokteran UNAND/ International Fellow in Zoonotic Diseases & One-Health Policy